Aqsal yang kehilangan kesadaran karena sebelumnya wajahnya terhantam oleh bola akhirnya terbangun. Kedua bola mata Aqsal terbuka perlahan melihat langit-langit ruang UKS sekolah, ia dalam posisi masih terbaring. Aqsal melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba mengumpulkan kesadarannya, lalu bangun duduk.
Kemudian Aqsal menolehkan pandangannya ke arah jam dinding di ruang UKS yang menunjukkan pukul setengah dua, setengah jam lagi menuju waktu bel pulang dibunyikan.
Dalam hati Aqsal berbisik, “Mendingan gue tidur lagi ah, tanggung dikit lagi pulang.”
Aqsal pun merebahkan badannya kembali, mencari-cari posisi yang enak untuk melanjutkan tidurnya tadi. Aqsal menghadapkan tubuhnya ke arah kanan membelakangi pintu ruang UKS dan melemaskan seluruh badannya. Sepertinya ia sudah menemukan posisi nyamannya. Aqsal mulai memejamkan mata kembali.
Di saat yang bersamaan Meita yang ternyata merupakan anggota ekskul PMR memasuki ruang UKS juga.
“Jangan tidur lagi lu!” seru Meita langsung pada Aqsal.
Mendengar suara itu, Aqsal pura-pura tertidur. Ia tidak membalikkan badannya dan menggerakkannya sedikitpun. Hanya bola matanya saja yang bergeser mentok ke arah kiri karena mendengar suara Meita barusan.
Meita berjalan dan sampai tepat di belakang Aqsal. Ia tahu Aqsal hanya pura-pura tidur.
“Nih gue bawain teh hangat. Bangun dulu!” suruh Meita.
Aqsal menengok perlahan dan terpaksa bangun sambil tersenyum cengengesan.
“Ehehehe lagian bentar lagi juga pulang Mei!” protes Aqsal.
“Tadi Ibu Guru bilang kalau tehnya sudah sabis langsung ke kelas! Dah ya gue mau balik ke kelas takut ketinggalan catatan.”
“Kalau habisnya setengah jam lagi bagaimana?”
Meita memasang ekspresi malas untuk menjawab pertanyaan Aqsal dan berjalan keluar saja. Aqsal mulai menyeruput teh panas yang diberikan Meita.
“Aduhhh aduhhh kok panas banget, ahhhh!”
…
“TENG! TENGGG! TENGGGGGG!” bunyi lonceng besi yang berada di halaman sekolah digetuk kencang oleh satpam sebanyak tiga kali dan terdengar merambat ke seluruh penjuru sekolah tanda jam pulang sudah tiba. Deru langkah kaki para murid yang berlari menyusul bunyi bel tersebut. Para murid bersemangat untuk kembali ke rumah mereka, begitu juga dengan Aqsal.
Aqsal berjalan sigap menuju gerbang sekolah mencoba mengejar Meita yang lebih dahulu keluar dari kelas. Jalan pulang mereka berdua searah hingga sampai perempatan besar di depan ujung jalan sekolah.
Aqsal pun sampai di samping Meita dan mencoba menyamakan ritme jalannya dengan gadis di sampingnya itu serta langsung membuka percakapan.
“Eh buru-buru banget lu Mei keluar kelas! Belakangan ini tumben lu selalu ada di barisan paling depan murid pulang.”
Meita melirik sekilas ke Acang dan melemparkan pandangannya lagi ke arah depan dengan cepat.
“Lah gue kira lu masih ada di ruang UKS,” balas Meita berlagak cuek.
“Ngapain gue lama-lama di ruang UKS …,” jawab Aqsal.
“Siapa tahu mau nginep,” ucap Meita sedikit melucu.
“Ahaha masa nginep,” tawa Aqsal mendengar guyonan Meita yang padahal tidak terlalu lucu itu lalu lanjut menyambung, “biasanya lu tuh yang nyelesaiin PR dulu di kelas sampai sekolah sepi. Padahalkan PR itu PE-KER-JA-AN-RU-MAH! Malah dikerjain di sekolah!”
“Kalau bisa dikerjain langsung kenapa enggak? Emangnya gue di rumah gak ada kerjaan lain apa?! Gue harus bantu Ibu gue di toko kuenya, mijitin Ayah gue yang capek habis pulang kerja, terus ngajarin adek gue juga!” cerocos Meita yang tiba-tiba mengomel pada Aqsal.
“Eeee heheh ii-iyaa bener sih. Maaf deh masa gitu doang langsung marah.”
Meita diam tidak menjawab. Aqsal berusaha menebak-nebak sepertinya mood Meita hari ini sedang tidak baik. Tebakan Aqsal sebenarnya ada betulnya karena beberapa hari yang lalu Ayah Meita di PHK dari tempat kerjanya.
Sehingga Meitapun akhir-akhir ini terpaksa pulang secepat mungkin untuk membantu Ayahnya yang sekarang hanya bisa keliling menjual kue-kue pastel, lapis, dan semacamnya dari toko Ibunya. Setiap sorenya Meita dan Ayahnya berboncengan menggunakan motor, pergi ke tempat-tempat sekitar lingkungannya yang ramai, dan menjajakannya ke tetangga sekitar. Meskipun terkadang hasilnya tidak seberapa karena memang kondisi ekonomi yang lainnyapun sama sulitnya. Semua orang sedang membatasi pengeluaran mereka apalagi untuk sekedar membeli kue yang sejatinya bukanlah makanan pokok yang membuat kenyang.
Tak terasa Aqsal dan Meita yang saling diam sudah sampai di perempatan besar yang akan memisahkan arah pulang mereka. Meita yang merasa tidak enak telah membentak Aqsal lalu menghentikan urusan diam-mendiam antara dirinya dengan Aqsal sebelum mereka benar-benar berpisah.
“Mmm yaudah hati-hati lu sampai rumah! Kalau masih oleng kasih minyak kayu putih aja di sekitar pelipis,” saran Meita mengingat sebelumnya Aqsal tergebok oleh bola dari tendangan Doni.
“Iya thanks lagi teh hangatnya!” balas Aqsal memberikan senyuman tergagahnya pada Meita.
Meita berjalan ke arah kiri, menjauh dari Aqsal tanpa menoleh sedikitpun sedangkan Aqsal tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan Meita yang semakin menjauh.
Aqsal bertaruh pada dirinya sendiri kalau Meita pasti akan menengok ke arahnya lagi. Meita terus berjalan selangkah demi selangkah, mengecil dari pandangan Aqsal.
Aqsal masih menunggu berharap kalau Meita akan menengok sekilas ke belakang, melirik ke dirinya. Dan …, sampai di ujung jalan yang lumayan sudah jauh dari posisi Aqsal berdiri, Meita tidak sama sekali menoleh ke arah Aqsal. Meita pun menghilang dari pandangan Aqsal tertutupi rumah-rumah serta pohon-pohon di pinggir jalan.
“HHMMMM!!” Aqsal kecewa dan berjalan lemas ke arah yang berlawanan dari arah Meita berjalan tadi.