22 Tahun kemudian, September 2019.
Beberapa hari sebelum demo besar mahasiswa tahun 2019, seluruh acara media di pagi hari menayangkan berita mengenai hal tersebut. Seorang lelaki paruh baya duduk di kursi sofa ruang tengah rumahnya, sedang menonton berita itu. Ia adalah Ansal Rangniyang tua. Ansal mengunyah sarapan bubur kacang hijaunya dengan perlahan.
Kemudian dari balik daun pintu kamar yang berwarna coklat dekat sofa di ruang tengah, muncul seorang perempuan cantik berusia dua puluh satu tahun ini dengan mata sipit dan aura nan anggunnya, yang sebelumnya hanya terlihat foto pertumbuhannya di segala sudut rumah tersebut. Ia langsung duduk di sofa, tepat di samping Ansal. Rambut hitam panjangnya sudah terkuncir rapih, pakaian dan tasnya pun sudah siap Ia tenteng untuk berangkat ke kampus. Perempuan manis itu bernama Sarah, Anak sematawayang Ansal.
Sarah dengan cepat mengambil semangkuk kecil bubur kacang hijau yang sudah sedia di atas meja depan matanya. Hanya empat-lima kali suap, bubur kacang hijau itu sudah lenyap ditelan bumi, masuk ke dalam perut Sarah. Ia buru-buru tidak ingin terlambat masuk kelas. Ansal memperhatikannya dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Assalamualaikum Ayah Sarah berangkat dulu ya!” pamit Sarah sambil menyalim tangan Ayahnya. Ansal menepuk-nepuk pelan kepala Sarah dengan penuh kasih sayang. Ritual itu selalu dilakukannya ketika Sarah hendak berangkat, ia bermaksud untuk mendoakan putri tercintanya agar dapat menyerap semua ilmu di kelas dengan mudah ke dalam kepalanya. Sarah dan Ansal saling melepas senyum mereka satu sama lain sebelum Sarah pergi berangkat meninggalkan rumah. Setelah selesai juga menghabiskan sarapannya, Ansal berdiri mematikan televisinya dan pergi meninggalkan rumahnya menuju toko materialnya.
…