Flashback Tahun 1990.
Kilau mentari berwarna kemerahan menerpa kulit Epi muda yang sedang mengangkut barang-barang material berupa cat dan triplek dibantu dengan Ansal muda, yang saat itu baru menyentuh usia dua puluh. Masa muda mereka berdua penuh dengan kerja keras, membanting tulang dan menguras seluruh keringat yang ada di tubuh mereka untuk melayani pelanggan toko JAYA MAKMUR yang sedang ramai-ramainya.
Seiring dengan Epi dan Ansal yang selalu bekerja sama saling menjadi tandem satu sama lain dan akhirnya menjadi duo andalan di toko JAYA MAKMUR, mereka pun mulai mengenal satu sama lain. Di mata Ansal, Epi sudah ia anggap sebagai Kakaknya sendiri. Tiap kali Ansal dirundung preman pasar sekitar, Epi selalu memasang badan di depannya, melindunginya. Sebaliknya, Ansal juga menjadi penolong Epi dikala Epi sering kali menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang cuma-cuma seperti minum-minum ataupun berjudi. Ansal menolongnya keluar dari kegiatan yang memakan jiwa Epi itu. Ia ikhlas meminjamkan uang dan gajinya pada Epi walaupun terkadang Epi hanya bisa mengganti setengahnya saja.
Beberapa waktu berlalu. Seperti halnya hubungan anak-anak manusia kebanyakan, antara Ansal dan Epi pun mulai tercipta benih-benih persaingan dan gesekan dalam hal pekerjaan maupun percintaan. Ya, diam-diam ternyata Epi memiliki rasa kepada Arida. Epi juga merasa kedatangan Ansal telah menggeser dirinya secara perlahan sebagai anak buah teladan Bapak Jaya. Lalu kemudian pada suatu malam ketika toko akan segera tutup, Epi tak sengaja mencuri dengar percakapan antara Arida yang saat itu masih remaja dengan Bapak Jaya. Saat itu Ansal baru saja memberikan suatu hadiah pada Arida yang baru saja berulang tahun hari kemarin.
“Dikasih apa tadi sama Ansal?” tanya Bapak Jaya.
“Ehhh nggak Pah tadi Ansal cuma nitip barang sama Arida,” jawab Arida malu-malu.
“Nitip atau dikasih? Hehehe,”-ledek Bapak Jaya pada Anak perempuannya itu lalu lanjut bertanya-“kok muka kamu tiba-tiba merah begitu? Kamu ada rasa ya sama Ansal?” Epi terus sembunyi memperhatikan sementara Ansal tidak berada di sekitar situ.
“AHHH NGGAK PAH!” tukas Arida menolak tuduhan Ayahnya itu walaupun sebenarnya adalah fakta.
“Udah jujur aja! Nanti Papa bilangin kok ke Ansal!” canda lagi Bapak Jaya pada Arida.
Setelah mendengar percakapan itu, hati Epi semakin runyam. Arida sepertinya lebih menyukai Ansal ketimbang dirinya. Sama halnya dengan Bapak Jaya yang lebih meng-anak emas-kan Ansal dalam pekerjaan dan juga sepertinya setuju mencocokkan Arida dengan Ansal. Kepala Epi terus terusik dan kalang kabut memikirkan mengapa tidak ada satupun skenario yang ada di benaknya berjalan sesuai dengan keinginannya. Seakan seluruh dunia sedang bekerjasama untuk melawan dirinya.
Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun terlewati. Asmara antara Ansal dan Arida yang tersembunyi, tersirat satu sama lain, dan tidak terlihat nampak di depan kerap kali menghiasi kegiatan sehari-hari di toko JAYA MAKMUR, yang membuat Epi semakin berlarut-larut juga dalam kesedihannya. Tak perlu lama-lama, Ansal dan Arida yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk berjodoh, ketika umur dan mental mereka sama-sama sudah siap, tibalah hari dimana Ansal mengukuhkan niatnya untuk menjadikan Arida sebagai belahan jiwanya.
Bapak Jaya yang dari awal sudah merestui hubungan mereka itu juga tidak berpikir lama-lama. Hari paling bahagia dalam hidup Ansal pun terjadi saat ia mengikat janji suci dengan Arida. Hari itu juga adalah hari yang paling merana dalam hidup Epi. Singkat cerita Epi juga lalu memutuskan untuk cepat-cepat menikah, menjadikan pernikahannya itu sebagai pelarian belaka dari kisah cintanya yang sudah pupus dan tidak pernah terjalin kepada Arida.
Pada suatu waktu Bapak Jaya meninggal dunia, Ansalpun menjadi pewaris hitam di atas putih sekaligus pemilik tunggal toko JAYA MAKMUR. Epi yang masih bekerja di toko memutuskan untuk menjauh dari Ansal dan tidak bekerja lagi bersamanya daripada sehari-hari ia harus makan hati, melihat Ansal sudah memegang kendali penuh terhadap toko dan memperistri wanita yang dicintainya. Ditambah lagi pernikahan Epi benar-benar hambar meskipun ia sudah memiliki momongan.
Epi kembali terjerumus pada kebiasaan lamanya, minum-minum dan berjudi. Epi yang juga sudah tidak memiliki pekerjaan akhirnya terpaksa berbuat tindakan kriminal, menghalalkan segala cara, merampok untuk mendapatkan uang demi menutupi hutang judinya. Padahal Ansal pernah beberapa kali menjumpai Epi dan ingin mengajaknya kembali bekerja di toko untuk memperbaiki hidup Epi. Ansal tidak pernah berubah sejak dulu kala dan akan selalu datang dengan tangan terbuka menjadi penolong Epi.
Akan tetapi semuanya sudah berbeda dan tidak sama seperti sedia kala. Kali itu, Epi menolak tawaran Ansal. Dalam lubuk hati Ansal yang paling dalam, ia kecewa karena sudah terlalu berharap pada dirinya sendiri untuk bisa menjadi penolong Epi. Epi akhirnya tertangkap setelah beberapa kali lolos dari kejaran polisi. Ganjaranpun ia dapatkan dan Epi masuk penjara selama beberapa tahun.
Mimpi buruk Epi berlanjut di dalam penjara. Wajahnya seringkali dipukuli oleh narapidana lain hingga lebam membiru. Tengkorak kepalanya pun berulang kali dihantam, diadukan dengan tembok semen di dalam penjara hingga kepala Epi tidak kunjung berhenti mengucurkan darah merah kental. Tidak ada yang namanya tidur di dalam penjara brutal itu, yang ada hanyalah kesengsaraan tanpa ujung. Malam-malam harinya, Epi selalu dihantui segala macam peristiwa yang ia alami sehari-hari di dalam penjara sampai merusak mentalnya.
Di atas tempat tidur sel penjaranya yang kecil, kumuh, dan gelap, tubuh Epi bergerak kejang-kejang perlahan dan lama-lama gerakan itupun menjadi lebih agresif, membuat tubuh Epi bergoyang berulang kali dengan gerakan yang sembarang di saat ia masih tidak sadar. Epi meronta-ronta dalam tidurnya, semakin kencang, dan semakin kuat. Hingga ia mendengar suatu suara yang meneriaki namanya.
“EPIIII!!!!!”
“EPIIIIIIIIIII!!!!!!!!!!!”
… Januari 1998
Spontan Epi dengan wajah dan tubuhnya yang terlihat lebih tua terbangun dari tidur di atas becak merahnya. Salah satu teman becaknya membangunkannya.
“Kenapa lu goyang-goyang gitu!? Mimpi buruk? Mimpi buruk kok siang-siang ahahaha!” tawa teman becaknya itu.
Epi pelan-pelan mengumpulkan kesadarannya dan membenahi posisi duduknya di atas becak. Terlihat lagi suasana di sebrang jalan toko JAYA MAKMUR, tempat Epi biasa mangkal dan memarkir becaknya. Epi baru saja bangun dari tidur dan mimpi buruknya serta kembali ke realitasnya, Bulan Januari tahun 98’. Mungkin kondisi negara yang saat itu sangat rumit, disusul dengan inflasi, dan ekonomi yang benar-benar ambruk membuat sugesti ke alam bawah sadar Epi dan membuatnya bermimpi buruk memimpikan masa lalu masa lalunya yang kelam di dalam penjara itu.
Terlebih lagi Epi juga belum sama sekali mendapatkan penumpang dari pagi. Perutnya masih kosong hanya terisi angin, mulutnya berulang kali terus mengecap-ngecap terasa asam karena rokoknya sudah habis. Lalu Epi melihat ke arah toko JAYA MAKMUR. Di sebrang jalan di dalam toko JAYA MAKMUR, terlihat suatu kebahagiaan kecil di sudut toko tersebut. Ansal dan Arida sedang tertawa bersama tanpa beban dan benar-benar tidak merasa susah sedikitpun meskipun seluruh suasana yang menyelimuti semua masyarakat saat itu hanyalah kesusahan dan penderitaan saja.
Epi menatapi teman lamanya itu dari kajauhan. Sedangkan Ansal, Ansal sudah benar-benar tidak memperhatikan lagi bahwa sebenarnya Epi terkadang sering memarkir becaknya di depan tokonya, sering mengamati Ansal tanpa Ansal menyadarinya. Epi terus memandangi Ansal dengan tatapan penuh rasa penyesalan. Ansal kemudian mendekatkan telinganya ke arah perut Arida yang sudah mulai membesar. Ansal tersenyum, begitu juga Arida. Merekapun kembali tertawa bersama seakan dunia milik mereka berdua.
Epi masih terus memantau Ansal tanpa berkedip sedikitpun. Tatapannya yang awalnya kosong kemudian berangsur-angsur berubah menjadi sangat mengerikan, seperti hewan buas yang kelaparan akan menerkam mangsanya. Epi iri setelah ia melihat Ansal dan Arida yang bahagia dengan pernikahan dan kandungan mereka. Rasa panas di hati Epi mendadak datang hinggap ke ulu hatinya. Rasa iri becampur dengki diikuti amarahnya yang menyalahkan pada hidup mengapa nasibnya begitu memilukan seperti ini.
Turun keringat dari pipi Epi, Epi mengelap keringat itu dengan gusar. Perut Epi kemudian membunyikan suaranya kencang lagi untuk meminta jatah makanan. Ia juga kembali mengingat Istri dan Anaknya di rumah. Epi memutuskan untuk menggoes becaknya, mencari penumpang, demi sekais rezeki untuk keluarganya di rumah. Becak merah Epi keluar dari tempat mangkalnya.
Di jalan dekat pasar, Epi melihat seorang Ibu paruh baya berjalan pelan. Ibu itu menenteng barang belanjaannya dari pasar dalam suatu kantung plastik hitam yang berupa sayur mayur dan beberapa lauk ringan seperti tahu tempe, yang sepertinya akan disajikan pada keluarganya di rumah. Dengan goesan yang semangat walaupun sedang dalam keadaan lapar, Epi mendakati Ibu tersebut dan menawarkan jasanya.