18 September 2019. H-1 sebelum demo besar mahasiswa.
Terdengar suara seorang dosen laki-laki yang terbawa oleh angin, keluar dari salah satu kelas di gedung kampus yang jendelanya terbuka. Suara itu terus menggema di sekitar area gedung yang suasananya sangat asri, sejuk, dan dipenuhi pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang berjatuhan satu persatu tertiup angin lumayan kencang.
“Jadi sepertinya kita cukupi dulu untuk kelas kali ini ya semuanya!” ucap lemah dosen lelaki yang sudah cukup tua setelah capek mengajar mata kuliah pelajaran sosiologi tingkat lanjut pada mahasiswa-mahasiswa tingkat akhirnya.
Semua mahasiswa mulai mengepak barang-barang mereka ke dalam tasnya masing-masing, begitu juga Sarah yang duduk di barisan paling depan. Ia memasukkan semua buku, laptop, dan segala peralatan kuliahnya sembari menguatkan kunciran rambutnya yang sudah mulai kendor. Setelahnya, Sarah hendak keluar, tetapi bapak dosen tua lanjut berbicara, “Oiya Kalian semua jangan lupa ya besok seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kelas ditiadakan! Lebih baik kalian demo sana pemerintah, turun ke jalan! Karena memang itu fungsi mahasiswa seperti kalian semua ini!”
Sarah melanjutkan berjalan keluar kelas berbarengan dengan ketiga teman perempuannya yang lain, mereka menuju kantin untuk makan siang. Ketika mereka memasuki area kantin kampus, terlihat suasananya yang memang selalu sangat ramai pada jam-jam makan siang seperti ini. Mereka langsung berburu bangku kosong kantin.
Selly dengan tubuhnya yang cukup tinggi dan lehernya yang lumayan panjang, ditambah lagi dengan kepalanya yang sedang mendongak, akhirnya menemukan bangku kantin yang kosong lebih dahulu dari teman-temannya yang lain untuk mereka tempati.
“Itu di sana yuk!”
Mereka berlari menuju bangku kantin kosong itu dan kemudian duduk bersamaan.
“Gue mesen duluan ya! Udah lapar banget!” ujar Michelle yang bertubuh paling besar di antara temannya yang lain. Ia sudah tidak kuat menahan laparnya dan berlari menuju warung ayam geprek.
“Gue juga ya! Kayaknya mau sate!” sambung Selly meninggalkan begitu saja Sarah dan Ayu di meja kantin tanpa berunding dahulu siapa yang ingin menjaga meja mereka itu.
“Hadeeehhh gue udah lapar juga banget lagi! Lu mau makan apa Sar?” tanya Ayu, gadis jawa hitam manis dengan kerudungnya yang berwarna hitam juga, merantau ke Jakarta seorang diri. Hanya Ayu satu-satunya dari mereka yang menyewa kamar kosan. Sarah, Selly, dan Michelle lebih memilih untuk pulang pergi saja karena jarak rumah mereka bertiga yang bisa dibilang tanggung untuk menyewa kamar kos dekat kampus. Walhasil, kamar kos Ayupun selalu ditumpangi teman-temanya itu saat tidak ada kelas ataupun saat jam kosong untuk menunggu jam kelas selanjutnya.
“Mmm nasi goreng aja!” ucap Sarah.
“Oke gue juga! Tunggu ya!”
Ayu pergi meninggalkan Sarah seorang diri di meja kantin. Paras Sarah yang manis dan cantik membuat pria-pria yang berlalu lalang dekat meja kantinnya mencuri lirik padanya. Sarah sedikit terganggu dan hanya menopangkan tangannya di dagu saja lalu membuang jauh-jauh pandangannya menuju sudut kantin, tempat di mana beberapa mahasiswa sedang melakukan kegiatan untuk mengingatkan mahasiswa lainnya mengenai demo esok hari.
Sarah mengenali beberapa di antara muka dari mahasiswa itu yang merupakan Adik tingkatnya. Banner, poster, dan spanduk berisi tulisan-tulisan seperti “Tolak RUU PKS!”, “Reformasi di korupsi!” dan lain sebagainya memenuhi pojok kantin siang itu.
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang!”
“Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan!”
“Dituduh subversif dan mengganggu keamanan!”
“Maka hanya ada satu kata, lawan!”
Seru seorang mahasiswa laki-laki yang telah mengeluarkan seluruh pita suaranya untuk membacakan puisi peringatan milik Widji Thukul, disambung dengan beberapa kata lagi.
“Ingatkan kami teman-teman semuanya! Ingatkan rakyat! Ingatkan masyarakat! Begitu juga teman-teman mahasiswa! Besok! 19 September! Mari kita berjuang bersama-sama melawan kesewenang-wenangan yang telah dilakukan para wakil rakyat kita! Para koruptor reformasi!”
“WOOOYYY serius amat!” teriak Selly mengagetkan Sarah yang melamun karena melihat orasi dari salah satu mahasiswa laki-laki tadi. Selly duduk tanpa membawa satenya.
“Sate lu mana?”
“Entar di bawain sama abangnya!”
“Owh.” Balas Sarah dengan singkat.
Sarah memutarkan lehernya kembali melihat pojok kantin. Sekarang mahasiswa-mahasiswa itu sedang membagikan gantungan kecil berlogo pancasila, bendera negara Indonesia, maupun hal-hal yang berbau nasionalis pada mahasiswa-mahasiswa lain yang lewat sembari terus mengajak mereka untuk berdemo esok hari ataupun hanya sekedar mendukung dalam bentuk apapun.
Michellle melewati grup mahasiswa itu dan ikut mengambil gantungan kecil tersebut Ia menuju ke arah teman-temannya lagi.
“Hmmm lumayan bisa buat gantungan kunci, buat flashdisk, kalo gak pajangan apa kek,” ucap Michelle menunjukkan gantungan berlogo bendera merah putih yang ia dapat.
“Dasar oportunis! Cuma ngambil satu pula!” celetuk Selly.
“Lu pada ikut gak besok demonya?” tanya Sarah.
“Gue kayaknya enggak. Ngapain sih ikut demo lagian juga gak bakal di denger sama anggota DPR. Kan demonya di depan pagar DPRnya tuh! Jarak pagar sama gedung DPR-MPRnya aja jauh gila! Gimana mau dengar!” gerutu Michelle.