Akhir Maret 1998.
Terlihat suatu gedung kampus besar di tengah Kota Jakarta pagi hari, yang belakangan ini di sekitarnya selalu ramai terjadi bentrokan antara demonstran dari kalangan rakyat maupun mahasiswa dengan para aparat yang semakin hari semakin bertindak represif.
Hari ini bentrokan itupun terjadi lagi. Namun, suara bising dari bentrokan itu tidak menurunkan sedikitpun semangat dari seorang dosen lelaki yang sedang mengajar mata kuliah ilmu politik tingkat lanjut di suatu kelas dalam gedung tersebut.
“Dengan begitu penjelasan saya yang tadi sudah cukup jelas. Ada yang ingin bertanya?” tanya dosen tersebut. Semua mahasiswa yang sudah berada di tingkat akhir diam tidak menjawab.
Salah satu mahasiswa bernama Dafid sedang menunduk menulis sesuatu di sobekan kertas kecilnya. Rambut Dafid yang hitam memiliki jambul sedang di depannya yang tetap tersisir rapih ke belakang, tidak ikut turun walaupun kepalanya benar-benar menunduk penuh.
Wajahnya campuran Indonesia-Arab dengan ciri khas hidung besar lebar dan mancung. Meskipun ia memiliki hidung yang mancung namun sering kali posisi kacamatanya kendor menuruni batang hidungnya. Dafid membenarkan kacamatanya lagi ke posisi semula, mendorong batang kacamata di tengah-tengah kacamatanya memakai jari telunjuknya lalu mulai menulis sesuatu di sobekan kertasnya tadi dengan tangannya yang sedikit gemetar.
“Dafid?” tanya lagi dosen tadi melihat curiga ke arah Dafid. Dafid tersentak.
“Oiya Pak!?” jawab Dafid sambil menyembunyikan seonggok kertas yang baru saja ingin ia tulis sesuatu di bawah mejanya.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?”
“Mmm cukup pak tidak ada!”
Dosen itu hanya mengangguk, “Tumben, biasanya kamu selalu bertanya setiap sehabis saya menjelaskan.”
Dafid juga terkenal pintar dan selalu kritis terhadap segala halnya. Namun, kali ini ia tidak bertanya karena pikirannya sedang memikirkan sesuatu yang lebih penting lagi dari sekedar pelajaran mata kuliahnya di kampus.
“Mmmm,”- Dafid yang juga setengah licik mengeles dengan jawaban lihainya- “Iya Pak pertanyaannya saya tampung sendiri dulu saat ini supaya Bapak nanti sekalian jawabnya.”
“Oke-oke! Saya kira gara-gara masalah yang kemarin itu kamu jadi gak fokus belajar. Yasudah, kalian semua sekarang buka halaman 203, coba kerjakan ….”
Suara dosen perlahan menghilang begitu saja dari telinga Dafid. Ia kembali fokus lagi pada secarik kertasnya tadi dan lanjut menulis sesuatu dengan pulpennya yang lumayan tertekan mendalam ke arah kertas.
Kemudian Dafid menengok cepat ke arah pintu kelas, matanya melotot juga ke jendela kelas. Sebutir keringat mengalir turun dari rambutnya, berjalan ke bawah melalui pelipis matanya lalu pipinya. Dafid melirik ke arah Dama, temannya yang berasal dari Pulau Sumatera tepatnya dari Aceh, berkulit putih dan berdagu tajam, duduk tidak jauh di arah jam satu di depannya.
Dafid menunggu Dama untuk menengok ke arahnya. Beberapa saat kemudian berkat chemistry yang kuat di antara mereka berdua, membuat Dama akhirnya menengok juga ke arah Dafid. Mereka pun melakukan kontak mata. Dafid meremas kertas kecilnya tadi hingga menjadi suatu bola kertas. Ia menyentilnya dengan akurat layaknya kelereng ke arah meja Dama. Kertas itu jatuh tepat di bawah kursi Dama. Tidak ada seorangpun yang melihat dan Dama langsung pura-pura menggaruk kakinya sembari mengambil kertas dari Dafid itu.
Dama menengok ke kanan dan ke kiri mengecek keadaan sekitanya sebelum membuka kertas tersebut. Setelah ia rasa aman, barulah Dama berani membuka kertas tersebut diam-diam.
“Arah jam lima!”
Setelah membaca pesan singkat itu, Dama menelan ludahnya perlahan dan melirik tipis ke samping kanan belakangnya. Terlihat sesosok lelaki di luar pintu kelas yang berbadan lumayan besar sedang mengamati sembunyi-sembunyi ke dalam kelas. Dama mengalihkan pandangannya lagi ke arah Dafid kemudian mereka saling bertatapan dengan cepat lagi dan mengangguk bersamaan.
Beberapa waktu kemudian, kelaspun selesai. Dafid dan Dama spontan mengecek kembali ke arah pintu kelas. Namun, sosok lelaki yang sedang memantau ke dalam kelas tadi sudah menghilang tidak terlihat.
…
Jam makan siang telah tiba, Dafid dan Dama pergi menuju kantin dan memesan makanan kesukaan mereka, soto ayam Ibu Encus yang pada Tahun 98 saat itu masih seharga lima ratus perak saja. Sayang karena terjadinya inflasi, soto ayam kesukaan mereka kini naik melampau jauh menjadi seribu rupiah. Mereka berdua sepakat memesan soto ayam satu porsi saja dan membaginya menjadi dua. Sehingga masing-masing dari mereka membayar lima ratus perak saj untuk setengah porsi soto Ayam.
Dafid menyendok soto ayam hangatnya sambil mengatakan sesuatu dengan volume sangat-sangat kecil pada Dama meskipun keadaan kantin saat itu benar-benar ramai.
“Lu perhatiinkan tadi ada orang yang berdiri ngintip-ngintip ke dalam kelas kita?”