Sayup-sayup terlihat kedua mata Aqsal yang masih tengah tertidur nyenyak. Ia lalu terbangun setengah sadar dan seperti mendengar suara percakapan antara Ansal dengan Kakaknya Arida.
“Orang-orang biadab itu udah mulai bergerak Arida! Teganya mereka ngelakuin hal itu ke perempuan malang tadi! Mereka mengincar-”
Suara Ansal dan Arida hanya terdengar beberapa kata saja di telinga Aqsal yang masih setengah tertidur.
“GILA GILA GILA!” teriak Ansal melanjutkan.
“Ya terus bagaimana lagi Mas? Kemarin aku sudah bilang lebih baik kita keluar sebelum waktunya terlambat! Sekarang nasi sudah menjadi bubur!”
“Sore nanti mereka pasti sudah sampai di area sini. Aku harus nyiapin rencana-“
Aqsal yang masih terkantuk lalu mendengar suara Ansal yang perlahan mengecil seiringan juga dengan kesadarannya yang perlahan menghilang, Aqsal kembali tertidur.
Beberapa jam kemudian Aqsal membuka matanya dan kali ini terbangun penuh dari tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Ia terbangun karena mendengar suara derap kaki yang beriringan kompak dari luar rumah. Suara itu lama kelamaan semakin nyaring bunyinya.
Aqsal mengucek matanya sekaligus membersihkan kotoran putih kecil yang tertempel keras di kedua sudut bola matanya. Ia kemudian penasaran melihat ke jendela, ke arah tempat Epi tadi berdiri mengamatinya sebelum ia tertidur. Aqsal tidak mendapati Epi lagi di sana.
Lalu mendadak segerombolan Tentara Negara Indonesia yang lengkap dengan persenjataannya datang berbaris rapih di depan jalanan ruko. Aqsal yang saat itu masih SMA tidak terlalu tahu menahu mengenai kondisi negaranya sendiri yang sudah di ujung revolusi.
Satu-satunya pendapat pikiran yang datang di benak Aqsal ialah takjub dan keren melihat sekumpulan laskar loreng-loreng yang gagah dan pemberani bisa datang sampai ke depan jalanan rukonya. Pemandang dan situasi itu jarang sekali ia lihat dan baru kali ini. Aqsal kemudian beranjak keluar dari kamarnya.
Aqsal melihat di meja dapur Arida sedang duduk termenung mendekap gelas dengan isi yang kosong.
“Kak? Di luar kok banyak tentara?” tanya Aqsal.
“Tenang aja Dek, Insya Allah nggak terjadi apa-apa,” tutur Arida dengan senyumnya berusaha menenangkan Adiknya yang memasang ekspresi penasaran bercampur sedikit panik ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.
“Kak Ansal kemana?” tanya lagi Aqsal.
“Mmm lagi benerin sesuatu di loteng atas.”
Aqsal kemudian berjalan kembali ke kamarnya, berniat untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya yang dari seminggu lalu belum sempat ia kerjakan. Padahal besok pekerjaan rumah tersebut sudah harus dikumpulkan.
Aqsal membuka tasnya dan mengambil salah satu buku tugas yang di sampulnya bertuliskan mata pelajaran matematika dengan nama Meita, Aqsal meminjam buku Meita. Ia bilang pada Meita saat di sekolah ingin melihat jawaban pekerjaan rumah tersebut dan juga mempelajarinya bukan sekedar menyontek belaka. Setelah bujuk rayu Aqsal pada Meita yang cukup panjang, akhirnya Meita berbaik hati meminjamkannya.
Aqsal mengerjakan pekerjaan rumahnya sambil mengamati tentara-tentara yang masih berbaris di bawah. Beberapa lama berselang, para tentara itu lalu bergerak lagi meninggalkan jalanan ruko. Aqsal mengernyitkan dahi juga bibirnya pun cemberut karena sudah tidak bisa lagi melihat tentara-tentara keren tersebut.
Mendekati waktu magrib pukul enam sore, Aqsal masih disibukkan dengan pekerjaan rumahnya dan lanjut belajar untuk mempersiapkan ujian akhir sekolah yang sudah dekat. Sementara Arida hanya duduk melamun di atas kursi goyang empuknya. Ia memperhatikan ke arah luar jendela kamarnya juga sembari mengelus-elus perut besarnya untuk menenangkan bayinya yang sesekali menendang-nendang di dalam perut.
Sedangkan Ansal yang masih berada di bagian atap rumah semenjak sore, belum juga turun. Ansal sebenarnya sedang membuat jalan keluar untuk kabur melewati loteng rumah kalau-kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di ruko mereka. Sedikit lagi Ansal berhasil membobol atapnya sendiri dan membuat jalan kabur tersebut, lewat loteng rumahnya sendiri.
Waktu magrib pun sudah terlewat, saat itu pukul setengah tujuh malam. Arida tidak sengaja tertidur di atas kursi goyangnya sangking lelahnya karena malam-malam belakangan ini tidurnya sama sekali tidak nyenyak.
Kondisi jalanan ruko dan sekitarnya serta rumah Ansal masih sangat gelap sejak hari kemarin karena PLN membuat keputusan untuk memutuskan jaringan listrik sementara akibat kondisi yang sedang kacau balau. Kemudian terlihat suatu kilap cahaya oranye jatuh tepat di wajah Arida, melewati jendela kamarnya. Arida yang masih tertidur merasa silau meskipun kedua bola matanya masih tertutup. Arida akhirnya membuka matanya dan terbangun dari tidur singkatnya akibat kilau cahaya tersebut.
Ternyata sumber cahaya itu adalah dari ratusan orang yang membawa obor, lentera, dan lampu minyak datang mendekat ke komplek ruko Ansal. Beberapa lainnya membawa linggis besi panjang, balok kayu besar, bahkan sampai mengotong jerigen-jerigen yang tampaknya berisi bensin.
Kesadaran Arida langsung terkumpul seketika. Dirinya kalut kemudian hendak berdiri dan langsung pergi berlari memberitahu Suami dan juga Adiknya tetapi tubuhnya tidak merespon pikirannya itu. Tubuh Arida hanya terpaku diam, sangking takutnya melihat penampakan ratusan massa sedang berjalan ke arah komplek mereka dengan bengis. Rahang bawah Arida bergemetar kuat, matanya seakan tidak percaya apa yang ia lihat di depannya itu. Untungnya setelah beberapa saat, Arida dapat menggerakkan badannya dan berlari keluar dari kamarnya.
Ansal yang juga hampir selesai membobol loteng rumahnya kemudian mendengar adanya kehebohan dari luar rumahnya. Ia lalu mengintip melalui celah ke arah luar dan mendapati seluruh massa sudah memadati jalanan ruko. Ansal dengan cepat turun ke lantai dua.