Dafid dan Ansal beserta keluarganya masih berada di ruang gudang parkiran basement kampus. Mereka berencana untuk pergi ke rumah sakit terdekat setelah ketuban Arida pecah secara mendadak. Ansal membantu Arida berdiri. Tubuh Arida sepenuhnya bertopang pada tubuh Ansal.
“Huft, oke. Tatap mata Mas. Semuanya bakal baik-baik aja,”-Aqsal juga terbangun-“di sini ada Mas, Aqsal, sama Dafid. Kita bakal nganter kamu ke rumah sakit paling dekat!”
“Rumah sakit paling dekat itu dekat pos polisi yang di bakar itu juga Pak,” sambung Dafid.
“Bagus kalau begitu jaraknya kurang lebih cuma dua kilometeran!”
Ansal mencoba berpikir positif dan menanamkan dalam benaknya bahwa jarak tersebut tidak terlalu jauh meskipun faktanya bertolak belakang.
Aqsal ikut menimbrung, “Tapi kita lewat jalan mana Om? Semuanya kacau di atas. Terus Kak Arida pasti gak bisa jalan sejauh itu apalagi berlari?”
“Di belakang gedung ini ada gudang. Di sana ada semacam troli barang yang bisa kita pakai buat angkut Istri Bapak dan kita tutupi pakai semacam terpal atau sebagainya,” ucap Dafid memberi solusi tercepatnya.
“Oke ide bagus Dafid! Kamu langsung tunjukin jalannya!”
“ADUUUUHHHH!!!!!!!” teriak lagi Arida menahan sakitnya sementara mereka semua mulai keluar dari parkiran basement kampus menuju gudang belakang gedung.
Ansal, Dafid, Arida, dan Aqsal berjalan di jalan besar belakang gedung yang masih terjadi keributan di segala sisinya. Orang-orang berlarian tidak terarah, terlihat juga suatu perkelahian, dan kekacauan-kekacauan lainnya. Mereka dengan cepat mengendap-endap berjalan masuk ke gang belakang yang mana merupakan jalan menuju gudang belakang gedung tersebut.
Entah suatu kebetulan belaka, Elgi salah satu anggota Epi sedang berada dalam mobil curiannya yang terparkir di depan gang tersebut. Akhirnya ia menemukan batang hidung Ansal dan keluarganya. Sejak Ansal berhasil kabur dari rumahnya, Epi dan kawan-kawannya berpencar terus mencari dan mengejar keberadaan Ansal. Elgi langsung menghubungi Epi.
“Halo Pi! Target terlihat, dia ada di dekat area kampus lengkap sama keluarganya!”
Epi menjawab cepat, “Oke kerja bagus! Kita semua langsung menuju ke sana!”
Ditutupnya panggilan tersebut dengan sigap juga. Elgi langsung turun dari mobilnya memasuki gang tersebut dengan waspada dan sembunyi-sembunyi. Di belakang mobil Elgi, terdapat juga suatu mobil pick-up yang di dalamnya terlihat bayangan dari pengemudinya, juga memperhatikan Ansal sekeluarga yang tadi telah masuk ke gang tersebut dan Elgi yang baru saja masuk juga.
Setelah sampai di gudang belakang gedung, Dafid cekatan mencari troli barang dan juga beberapa terpal kecil sedangkan Ansal dan Aqsal membantu menemani Arida yang terus mengerang kesakitan.
Setelah troli dan terpal telah siap, merekapun lekas menaruh Arida senyaman mungkin di atas troli tersebut dan menutupnya dengan suatu terpal yang sudah dibolongi untuk Arida bernapas.
Semuanya sudah bersiap keluar dari pintu belakang gudang tersebut. Namun, terdengar suara-suara langkah kaki yang berjalan dengan tegas dari arah luar gudang. Suara itu mengeluarkan bunyi gesekan antara alas sandal dengan bahan bangunan kerikil dan pasir di tanah, membuat Dafid dan Ansal terhenti sejenak.
Ansal mengintip melalui lubang ke arah depan gudang. Ia melihat empat orang dengan pakaian yang sama juga dengan penutup kepala kain berwarna hitam yang sama, yang ia lihat di rumahnya sebelumnya muncul kembali. Epi dan gerombolannya sudah siap memegang senjata-senjata tajam mereka masing-masing. Kedua bola mata Ansal membelalak.
Ansal berbalik ke arah Dafid dan mengatakan sesuatu sambil memegang kedua pundak Dafid dengan erat, “Dafid, kamu bawa Istriku dan Aqsal sampai ke rumah sakit. Aku titipkan mereka sama kamu Vid. Aku percaya dan yakin sama kamu pasti kamu bakal sampai di sana!” Ansal tersenyum percaya diri.
“Tapi Pak!” keluh Dafid.
“Gak ada waktu lagi. Kita gak bakal mungkin bisa kabur ngimbangin kejaran mereka dengan kondisi seperti ini. Biarin saya yang ngehadang mereka. Mereka udah mau masuk ke sini!”
“Aqsal, kamu belajar yang rajin ya! Supaya di masa depan Indonesia gak mengalami kejadian seperti ini lagi! Masa depan Indonesia ada di tangan anak muda seperti kalian berdua!” Ansal tersenyum tulus pada Aqsal. Aqsal menahan air matanya sebisa mungkin karena sebagai lelaki ia memiliki prinsip tidak boleh menjatuhkan setetes air mata sedikitpun.
Ansal melanjutkan pada Aqsal, “Jaga Kakakmu baik-baik ya!”
Ansal lalu berpindah pada Arida yang sudah lemas terbaring setengah duduk di atas troli. “Mah. Mamah duluan ke rumah sakitnya bareng Dafid sama Aqsal. Nanti Ayah nyusul ya. Mamah dan Anak Kita nanti adalah wanita terkuat di dunia ini bisa melewati kelamnya malam ini dengan hati yang kuat!”
Arida tidak mengerti betul apa yang dimaksud Ansal. Yang ia tahu hanyalah dirinya yang lemas betul menahan kesakitan luar biasa dari proses sebelum melahirkan Anaknya tersebut. Ansal mencium Istrinya untuk yang terakhir kalinya.
Dafid menguatkan dirinya, mengangguk percaya diri pada Ansal, lalu memberikan peci beludru hitamnya dengan logo kecil lambang pancasila pada Ansal.
“Insya Allah saya akan mengantar keluarga Bapak dengan selamat. Untuk itu izinkan saya titipkan juga peci pancasila saya pada Bapak. Ini untuk mengingatkan kepada orang lain bahwa sejatinya kita masih sama-sama sebangsa saudara setanah air!”
Dafid memegang tangan Ansal dan menaruh pecinya di tangan kanan Ansal kemudian melipat tangan kanan Ansal ke perut Ansal yang sudah memegangi peci Dafid tersebut.
Setelahnya, Dafid dan Aqsal langsung menuju pintu belakang gudang tersebut dan mendorong troli yang sudah tertutupi terpal yang di dalamnya terdapat Arida. Ansal memperhatikan Dafid dan keluarga kecilnya berlari menjauh meninggalkannya sembari mengenakan peci berlogo lambang negara Indonesia.
Pintu belakang gudang tertutup, bersamaan dengan pintu depan gudang yang terbuka. Ansal tersenyum mengikhlaskan keluarganya yang kabur demi anak mereka tersebut. Ansal membalikkan badannya dengan gagah ke arah empat orang dengan penutup kepala hitam yang baru saja mendobrak masuk ke dalam gudang tersebut.
…
2019.
Ansal tua berjalan cepat mendekati area di mana ia terakhir kali mengingat Sarah melalui tayangan televisi. Jembatan layang yang berada di belakang Sarah saat di tayangan berita sekarang sudah berada di depan matanya. Ansal meluaskan pandangannya hingga jauh ke ujung, memutar lehernya ke segala arah, dan menengokkan kepalanya ke berbagai sudut pandang.
Yang ada hanyalah bekas-bekas bentrokan demonstran mahasiswa dengan para aparat berupa rongsokan yang terbakar maupun besi-besi yang berserakan. Ansal terus mengitari area itu walaupun terdengar beberapa kali letusan senjata dari arah yang sangat dekat dengannya. Ansal terus mengukuhkan hatinya dan tidak akan menyerah sampai ia menemukan gadis kecilnya.
Suatu ketika Ansal sampai di jalanan yang sampingnya terdapat selokan besar tanpa air. Jalanan itu gelap dan sudah sepi terlihat tidak ada siapapun. Ansal yang sudah letih duduk di trotoar jalanan tepat di samping selokan, sudah tergambarkan ekspresi keputusasaan dari wajah Ansal akan nasib Sarah. Ansal berdoa dalam hatinya kepada Tuhan untuk memberikannya suatu keajaiban supaya ia bisa mengetahui keberadaan Sarah.
Hati Ansal lalu tergerak untuk mengambil handphonenya kembali dan mencoba untuk menelepon Sarah lagi untuk yang kesekian kalinya.