Dafid dan Arida masih bergelut melewati gelapnya gang dekat rumah sakit di malam kerusuhan 13 Mei 1998. Dafid berlari sekuat tenaga memapah Arida di sampingnya, meninggalkan semua orang di belakang. Dama yang menghilang, Aqsal yang terjatuh, Ansal dan Ucok yang mengorbankan diri, mereka semua sudah tidak lagi bersamanya. Ia hanya seorang diri berjuang.
Dafid hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa kepada mereka semua hingga kelak mereka nanti akan bertemu bersama kembali sebagai orang-orang yang berhasil keluar dari malam-malam kejam ini. Muncul dalam imajinasi Dafid, semua orang dapat mengobrol kembali di meja bundar besar yang di atasnya tersajikan makanan masakan Arida yang lezat.
Dafid mengenalkan Dama pada Keluarga Ansal. Ansal sedang menimang-nimang bayi perempuannya yang baru saja lahir. Ucok dan Aqsal lalu mengajak bercanda bayi tersebut. Semuanya tertawa bahagia di makan malam yang hangat tersebut.
Khayalan Dafid memudar perlahan setelah ia melihat di depannya terdapat tiga prajurit berseragam loreng lengkap dengan senjata mereka masing-masing. Dafid tidak menduga, batinnya langsung dipenuhi rasa syukur akhirnya ia dipertemukan oleh para prajurit pemberani yang pasti akan melindungi dan membawa dirinya serta Arida yang sedang hamil sampai ke rumah sakit di depan yang sudah sangat dekat.
“PAKKK TOLONG WANITA INI SEDANG HAMIL DAN AKAN SEGERA MELAHIRKAN!” ucap Dafid lantang.
Ketiga oknum prajurit itu awalnya bertatapan satu sama lain, kemudian mereka membisikkan sesuatu. Seperti yang ada di dalam pikiran Dafid tadi, ketiga oknum prajurit itu membantu menuntun Dafid dan Arida berjalan di gang gelap itu menuju rumah sakit.
Namun, ketika sampai di pertigaan gang, Dafid melihat dengan mata kepalanya sendiri, arah kiri hanyalah jalan buntu dan terdapat bak sampah besar di ujungnya. Sedangkan arah kanan adalah jalan menuju rumah sakit. Ketiga oknum prajurit itu berbincang sekali lagi, menyuruh Dafid dan Arida untuk tetap di tempat mereka, lalu menjauh. Mereka sepertinya kembali membicarakan sesuatu.
Mereka sesekali melihat ke arah Dafid yang masih memakai almamaternya. Ketiga oknum Prajurit itu sepakat menebak Dafid pastinya adalah seorang mahasiswa. Dafid mendengar dari telinganya sepatah kata yang keluar dari percakapan mereka, “Perintah atasan!”.
Setelah pembicaraan mereka selesai, ketiga oknum prajurit itu mengangguk bersamaan dan kembali mendekat ke arah Dafid. Salah seorang dari mereka mengambil Arida dari Dafid dan memapah Arida, berjalan ke arah kanan gang. Sebaliknya dua orang sisanya menarik Dafid ke arah kiri gang.
Dafid heran setengah mati. Ia melihat Arida yang mulai tak sadarkan diri berjalan ke arah kanan menjauh darinya bersama salah seorang prajurit. Seketika saat itu juga Dafid baru mengerti maksud dua orang prajurit lainnya yang membawanya ke arah kiri jalanan gang.
Dafid dengan tatapan kosong menunduk ke arah tanah, melihat langkah kedua kakinya dengan perasaan yang hampa, mengetahui nasibnya sepertinya akan sama dengan sahabatnya Dama. Hilang dan lenyap dari permukaan Bumi.
Arida tidak sadar telah berpisah dengan Dafid. Lalu dari dalam kegelapan bagian arah kiri gang, suara Dafid sunyi, sudah tidak terdengar lagi, termakan oleh gelapnya bayang hitam yang berada di gang tersebut.
Prajurit yang membawa Arida sudah jauh berada di depan meninggalkan kedua teman prajuritnya bersama Daffid. Ia sudah berada di dekat ujung gang tersebut. Hanya tinggal berjalan keluar dari gang itu, bagian depan rumah sakit sudah langsung terpampang jelas. Lagi dan lagi beberapa massa kerusuhan terlihat sedang mengacau kembali di mulut gang.
Prajurit yang bersama Arida melihat hal itu. Ia lalu berpikir tidak bisa melawan para massa kerusuhan itu jika ia harus melindungi Arida di saat yang bersamaan. Prajurit itu pun memutuskan untuk menaruh Arida dahulu di suatu bagian gang yang menjorok ke arah dalam.
“Sebentar Bu. Ibu tunggu di sini, di depan terdapat massa kerusuhan lagi. Saya akan kembali menjemput Ibu setelah membereskan massa kerusuhan tersebut,” jelas prajurit.
Arida duduk dan prajurit itu langsung meninggalkan Arida dahulu untuk berurusan dengan massa kerusuhan yang dilihatnya tadi. Di bagian gang yang menjorok ke dalam, Arida dapat melihat dari balik jeruji kawat di sampingnya, gedung rumah sakit tempat anaknya akan lahir ke dunia ini. Arida berusaha kuat mengumpulkan kesadarannya.
“Sebentar lagi ya sayang! Kamu bakal melihat seluruh keindahan yang ada di dunia ini. Sabar, sebentar lagi,” ucap Arida lembut sembari mengelus-elus perut besarnya. Arida duduk diam menunggu prajurit tadi datang kembali. Hanya terdengar suara tembakan, suara ledakan, suara jeritan dari sunyinya dan gelapnya gang sempit itu.
Arida tersenyum pada kandungannya. Terlihat sosok lelaki berjalan mengendap-endap di gang sempit yang sama dengan Arida.
…
Kembali di Tahun 2019, terlihat tangan kanan dari sosok Anggota DPR yang masih terangkat tinggi-tinggi. Tangan itu awalnya terbuka lebar, kemudian tertutup mengatup menjadi mengepal kencang diikuti suara sosok Anggota DPR tersebut, “STOOOOOOOPPPPPPPP!!!!!!!!”
Para oknum aparat baru sadar terdapat mobil yang singgah. Meraka melihat ke plat mobil yang berwarna merah dengan nomor plat mengkodekan bahwa orang yang menaiki mobil itu adalah pejabat penting pemerintahan.
Mereka semua lantas menghentikan kuda-kuda mereka yang sudah siap untuk memukul Ansal tua lagi dan langsung memberikan hormat pada sesosok Anggota DPR yang mereka kenali itu.
“SIAP BAPAK ANGGOTA DPR!!!”
Sosok Anggota DPR itu mendekat ke arah para oknum aparat dan Ansal.