Setelah malam panjang pencarian Sarah di malam demo Tahun 2019, akhirnya Sarah pun telah kembali ke dalam pelukan Ayahanda tercintanya. Sarah ditemani ketiga teman baiknya untuk mengurus beberapa dokumen dan mengambil barang-barang pribadinya di salah satu ruangan dalam kantor polisi, setelah dirinya dimasukkan ke dalam sel sementara oleh pihak kepolisian.
Proses pengurusan itu menjadi lebih cepat berkat bantuan dari Dafid yang memanfaatkan jabatannya sebagai Anggota DPR. Sembari menunggu, Sarah menjelaskan pada teman-temannya mengapa dirinya bisa ditangkap.
“Jadi gara-gara gue ngeberontak melawan aparat di demo siang tadi, tiba-tiba gue langsung dibawa aparat sama beberapa mahasiswa lainnya. Gue gak sempet ngambil tas gue yang jatuh kelempar di saat bentrokan itu terjadi!” cerita Sarah dengan sedih.
“Lu tau gak sih seberapa khawatir kita semua sama lu!” ucap Selly dengan tegas.
“Iya maaf. Pas udah di sini juga kita-kita yang ditangkap benar-benar cuma dimasukkin ke dalam sel dan dipersulit buat ngelakuin kontak ke luar,” jelas Sarah lagi.
“Lu gak usah minta maaf Sar! Seharusnya gue yang minta maaf sama lu bisa-bisanya gue ngebiarin lu berjuang sendirian di demo ini!” ucap Ayu dengan terang-terangan. Sarah hanya cemberut mendengar keluhan hati teman-temannya itu.
“Udah-udah yang penting lu selamat Sar,”-sambung Michelle yang lalu merangkul ketiga temannya dengan tubuh gemuknya yang besar-“yang penting kita berempat masih bisa pelukan kayak gini heheheh.”
Mereka berempat saling tersenyum dalam pelukan hangat tersebut.
Sementara itu di salah satu suatu bangku taman depan kantor polisi, Ansal tua dan Dafid yang telah menjadi Anggota DPR yang sukses saling duduk bercengkerama, bercerita kembali mengenai malam kelam tiga belas Mei Tahun 1998. Malam di mana mereka bersama-sama berjuang hidup dan mati. Dafid tidak kuasa menatap mata Ansal setelah mengetahui ternyata Arida dan kandungannya telah tewas juga di malam itu.
“Maaf kalau bukan karena prajurit itu, mungkin Arida,“ ucap Dafid yang lalu terpotong dengan tangisannya yang keluar begitu saja.
“Maaf Pak! Sa-Saya ….” Dafid mencoba melanjutkan namun tidak kuat menahan kesedihannya.
Ansal tua mendekatkan wajahnya ke wajah Dafid, berusaha membuat Dafid menatapnya juga.
“Dafid, melihat kamu hidup menjadi Anggota DPR yang sukses, melihat kamu yang sekarang sudah berada di depan mata saya, sudah membuat saya bersyukur atas semua yang terjadi di malam itu,” tutur Ansal dengan amat lembut membuat tangisan Dafid perlahan berhenti.
Dafid memberanikan diri menatap mata Ansal dan lanjut berkata, “Sepanjang hidup saya, setelah kejadian di malam kerusuhan itu, saya bertanya-tanya mengapa Tuhan lebih memilih saya sebagai orang yang selamat di malam itu Pak. Hingga suatu waktu kesempatan untuk menjadi Anggota DPR ini membuat saya menyadarinya. Mungkin alasan saya masih hidup adalah untuk membantu mencari keadilan bagi orang-orang yang merasakan penderitaan di malam itu Pak. Saya masih terus mencari keberadaan sahabat saya Dama yang hilang.”
Dafid berhenti sejenak membuang pandangannya jauh ke arah depan kemudian melanjutkan, “Tapi semua itu menjadi tidak berarti setelah mengetahui penderitaan yang Bapak alami ini karena meninggalnya Istri Bapak, Aqsal, Ucok, semua akibat saya.”
“Tidak-tidak Dafid, tidak seperti itu. Penderitaan yang kamu maksud itu memang pernah mendatangi saya di hari-hari sesudah malam kerusuhan itu. Namun, jika kamu berpikir penderitaan itu telah hidup bersama saya sejak dari malam kerusuhan itu hingga sekarang, kamu salah besar,” jelas Ansal yang tersenyum lagi kepada Dafid dengan tenang.
Ansal kemudian menengokkan lehernya ke arah dalam kantor polisi untuk mengecek apakah Sarah dan teman-temannya sudah selesai mengurusi segala halnya di dalam.
Dafid ikut menengok ke dalam dan lalu berkata, “Sarah?”
…
Sang tali waktu kembali mengulur menuju dua puluh tahun yang lalu. Keesokan harinya setelah malam tragedi mengerikan yang terjadi pada Ansal muda, ia pun akhirnya terbangun di rumah sakit. Ia bangun dari kasur dan langsung lari keluar dari kamar rawatnya.
Ansal mendapati rumah sakit itu adalah rumah sakit yang sama dengan tujuan awalnya membawa Arida untuk melahirkan. Ia mengelilingi seluruh rumah sakit tersebut, mencari Arida dan Anaknya.
Ansal menanyakan pada seluruh dokter dan suster di rumah sakit, dengan tangannya yang sambil membuat bulatan besar di depan perutnya, memperagakan bentuk tubuh hamil pada semua orang. Ia bermaksud menanyakan apakah terdapat perempuan hamil yang melahirkan yang ada di rumah sakit itu.
Setelah berusaha lumayan lama, akhirnya Ansal muda bertemu dengan salah satu dokter. Ia mendapat jawaban dari dokter itu yang langsung memasang muka sedih tidak tega pada Ansal. Dokter itu membawa Ansal menuju suatu ruangan.
Sampai di ruangan, Ansal muda melihat sekujur tubuh di atas kasur yang kaku tertutupi selimut putih bersih. Ansal berjalan pelan mendekati tubuh kaku ditemani dengan dokter tadi. Mulai terlihat keputusasaan yang mencuat dari wajah Ansal. Dokter tadi mengangguk pelan pada Ansal, bermaksud menanyakannya apakah ia siap untuk melihat wajah dari mayat tersebut.
Lalu otak Ansal sudah memberikan perintah kepada tubuhnya untuk menjawab pertanyaan dokter tadi dengan anggukkan balasan. Namun, entah kenapa tubuh Ansal tertahan. Bibir Ansal gemetar tidak karuan. Ia tidak sanggup merasakan kehampaan yang sudah menunggunya pada tali waktu kehidupannya di depan.
Akan tetapi tali waktu tetap membentang ke arah depan, tidak kenal siapa yang harus dibuatnya merasakan kesengsaraan, kehampaan, dan penderitaan-penderitaan lainnya. Ansal tahu hal itu adalah suatu yang tidak bisa dihindari lagi. Ia menguatkan hatinya dan mulai membuka bagian atas selimut putih di depannya. Ansal melihat wajah Arida yang sudah meninggal tersenyum manis dengan ikhlas.
Ansal muda menangis sejadi-jadinya, tidak percaya dengan apa yang dilihat malalui mata kepalanya sendiri. Ia berjalan keluar dari ruang tersebut.
Dengan perasaan penuh depresi, Ansal muda duduk di lorong rumah sakit, menjambak rambutnya sendiri dengan amat keras, masih dengan tangisannya juga.