Ada surga di Ma'had

fitrihaida
Chapter #1

Membenci Kemiskinan

Percayakah kamu bahwa bangku SMA adalah zona nyaman terakhir? Setelah menerima surat lulus apa yang akan kamu lakukan, bekerja? Menikah? Atau kuliah? Intinya apapun keputusanmu kau tak akan terlepas dari beban. Sejatinya manusia tak pernah tak tersentuh oleh masalah. Ahh! Terlahir bagaimanakah masalah ini? Mengapa kehadirannya mambawa derita?

Sebulan lalu kali terakhir aku berpijak di sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu kebanggaan sebagai seorang siswa. Saat itu pengumuman atas kelulusan mengikuti ujian akhir nasional disampaikan oleh kepala sekolah, menyatakan bahwa kami semua anak didiknya berhasil melewati ujian dengan nilai memuaskan. Hanya karena satu kabar itu saja, euforia kemenangan lengsung menggema lapangan. Barisan yang semula tertata rapi mendadak kacau, semua bersorak senang, tersenyum, tertawa, dan sebagian tengah menangis haru sambil berpelukan. Sebuah celah gerbang menuju pendidikan lebih tinggi lagi baru saja dibuka.

Saat itu aku merasa Tuhan mengilhamiku kemampuan melihat pelangi di wajah manusia. Akan tetapi, kenapa pelangi itu tak hinggap di wajahku? Aku tertunduk sedih, menggenggam amplot putih berisikan selembar kertas yang tak kutahu bagaimana cara menggunakannya. Rasa sesal, kecewa senantiasa menyelimuti dadaku. Aku mencintai pelajaran, menyukai buku-buku, begitu tergila-gila dengan pendidikan, tapi Tuhan menegaskanku berhenti di sini. Di bangku SMA ini.

Keadaan perekonomian keluargaku sangat tidak mengizinkanku untuk kuliah. Bapak hanya seorang nelayan kecil, dengan mata pencarian tersebut ia harus menghidupi tiga orang anaknya dan mamak hanya tukang cuci.

Kehidupan sederhana tak seindah kisah novel atau kisah film hasil rekayasa sustradara. Kehidupan yang kami jalani mutlak skenario dari Sang Maha Esa, dan tak jarang terasa sangat menyedihkan.

Aku berjalan menyusuri kota pesisir yang diselimuti oleh awan hitam. Beberpa detik berikutnya tubuhku dihantam oleh rintik hujan yang tiba-tiba jatuh lebat seakan ikut menyiksa batinku. Kedua kakiku berhenti melangkah di hadapan gang sempit. Pikiranku kacau balau, aku tak ingin pulang, tapi tak ada tempatku kembali selain ke rumah bobrok yang hampir runtuh itu. Bau amis pinggiran laut menusuk hidungku, sampah bertebaran di kolong-kolong rumah orang.

Rumahku berada diujung sana hampir menapaki tengah laut, selama berjalan aku berharap badai datang membawaku ke dasar laut menjadikanku santapan mamalia laut, atau jin laut menarik kakiku, menenggelamkanku. Pemikiran gila mememang! Aku sudah berputus asa, letih dengan kemiskinan ini.

Kulihat mamak baru saja membaringkan tubuhnya dengan posisi menyamping dengan kedua telapak tangan ia jadikan pengganti bantal di lantai papan tanpa beralaskan karpet atau pun tikar. Ia tertegun melihat kedatanganku yang tidak diiringi ucapan salam. Kemudian pipinya mengembang, senyum menghiasi wajahnya yang ditumbuhi keriput halus.

“Masuk dan cepat bersihkan badan!”

Aku tetap bergeming di tempatku, mengabaikan titah mamak. Kulihat lamat-lamat wajah kusam yang selalu tersenyum dengan pekerjaannya tanpa pernah mengeluh. Melihatku tak jua bergerak mamak langsung bangkit.

“Bagaimana hasilnya Tris? Kau lulus, kan?”

Aku tersenyum getir, merogoh tas ransel, mengeluarkan amplot putih yang sudah lembab akibat terkena hujan dan kuberikan kepada mamak dengan tangan bergetar bukan karena menggigil akibat guyuran hujan melainkan perasaan rapuh yang melemahkan tubuhku.

Lihat selengkapnya