Bunyi kunyahan dari sejumlah orang di ruang tengah terdengar sampai ke kamarku yang hanya dibatasi oleh dinding tripleks. Dua jam lalu aku sudah terjaga namun tak berani keluar kamar, takut menghadapi bapak yang mungkin masih marah.
“Suruh anakmu itu makan kalau tidak mau mati kelaparan.”
Kudengar suara berat bapak memerintah mamak. Tajam sekali perkataannya, jika memang membenciku kenapa bapak masih memperhatikan pola makanku. Aku sangat benci perlakuan kasarnya, benci perkataan ketusnya yang tak pernah menenggang perasaan orang.
“Diam kau!” gumamku memerintah perutku yang mengeluarkan bunyi mengesalkan. Kuakui pagi ini aku sangat lapar sekali apalagi semalam aku tidak makan, tapi gengsi ini sangat besar untuk keluar bergabung makan dengan mereka.
Gengsi adalah penyiksa yang mahir di mana penyerang dirimu adalah kau sendiri. Jadi tidak ada siapa pun nan mampu disalahkan dengan keadaanku menahan lapar di ruang kecil nan pengap ini. Aku meringkuk, memegang erat perutku yang keroncongan dengan air mata sesekali jatuh. Yah aku menangis. Menangis tak sanggup menahan lapar, menangisi nasib, menangisi kehidupan nan menyedihkan ini.
Kusadari mamak masuk. Sengaja aku memunggingi kamar dan kurasakan ia menarik selimut yang membalut tubuhku sembari diputarnya tubuhku untuk menghadapnya.
“Makanlah! Bapakmu baru saja berangkat ke laut.”
Lega sekali diri ini memdengar bapak melaut yang artinya rumah ini akan tenang selama kepergiannya tanpa suara repetan bapak yang terus menyiksa kuping dan perasaan. Kuterima sepiring nasi yang dibawakan mamak dan langsung saja kumakan dengan rakus. Masa bodoh dengan respon mamak, aku sudah sangat lapar. Untuk kali pertama dalam hidupku sangat menikmati makan dengan lauk sambal tuktuk.
“Pelan-pelan makannya, Tris!” aku mengangguk lemah mendengar teguran mamak. Sedih sekali rasanya di mana makanan yang dulu kubenci kini sangat kunikmati.
***
Kukira hari ini bapak benar-benar pergi melaut dalam waktu yang mungkin berbulan-bulan baru bisa kembali. Namun, saat aku dengan tenang menikmati status pengangguran, berleha-leha di rumah. Rencana menonton TV seharian tanpa melakukan pekerjaan rumah atau membantu mamak yang sedang menyuci pakaian tetangga. Bapak kembali pulang dengan menyampaikan kabar keberangkatannya ditunda akibat cuaca laut yang tidak memungkinkan untuk berlayar.
Disaat tatapanku dan bapak tidak sengaja bertemu di situ aku merasa seperti penjahat yang baru tertangkap basah. Jantungku berdetak amat cepat, gugup luar biasa menyelimuti diri ini antara rasa takut, marah, dan benci saat berhadapan dengan bapak. Aku ingin beranjak pergi menjauh dari bapak, baik itu ke kamar atau keluar rumah. Namun, kaki ini terasa seakan kaku dan lagi nyaliku tak sehebat pikiranku nan kotor.