Tak peduli bagaimana pun jenis bangunannya, tak peduli di mana pun berdirinya. Harusnya pemilik yang bijak memperhatikan keadaan rumahnya agar penyewanya puas dan nyaman menempati, tapi ekspetasi sering kali bertentangan dengan realita. Mirisnya tempat kami berlindung di mana lantai-lantainya bolong-bolong, hampir penjuruh rumah atapnya bocor, dinding papan yang mulai keropos tidak pernah berganti selama puluhan tahun kami menetap di sini. Sering kali keluhan kami tidak digubris. Ibu Farida hanya peduli dengan uang, kenyamanan, kesalamatan penyewanya sama sekali ia tidak peduli. Bertahun-tahun kami mengalah, menerima kebingisannya. Bahkan kandang kambing jauh lebih baik daripada rumah ini.
Memang enak tinggal di atas laut bagi mereka yang menempati rumah yang berdiri kokoh. Di mana kau dapat bersahabat langsung dengan alam, tapi tidak dengan orang miskin seperti kami. Bagaimanapun kemirisan bangunan yang kami tempati kami harus bertahan, karena menempati bangunan layak langka bagi kami yang sulit memperoleh uang.
Kepalaku menyembul di lantai dapur rumah saat mamak memanggilku. Beliau menyuruhku segera membersihkan diri untuk pergi ke warung membeli rempah-rempah supaya kepiting hasil tangkapanku segera dimasak.
“Mamak saja yang pergi, sayang berhenti sekarang kepitingnya masih banyak,” tolakku berniat kembali berenang bergabung dengan sekumpulan anak-anak dan remaja seusiaku yang sedang sibuk mencari kepiting yang berserakan di kolong-kolong tiang rumah warga.
“Pergi atau kubuang semua kepiting ini supaya tidak usah dimasak sekalian. Makan pakai garam saja, sudah tahu mamak mau kerja lagi,” ancam mamak.
Dibuang? Jelas aku tidak mau. Susah payah aku menangkap kepiting-kepiting itu, berperang dengan air asin laut yang membuat mataku perih, belum lagi jari-jariku yang terkena piting kepiting. Di zaman sekarang menikmati kekayaan laut sangat susah akibat hasilnya yang terus-menerus diambil. Apalagi sejenis seafood, harganya fantastis mahal di pasaran. Jadi sangat disayangkan dilewatkan menangkap kepiting di musim ikan seperti ini, tapi lebih disayangkan lagi jika mamak benar-benar akan membuangnya.
“Uhh, aku pengen sup kepiting,” keluhku lirih.
Mamak yang sedang mengecap masakannya melirikku yang lagi duduk memeluk lutut memperhatikannya, “Insya Allah besok kita akan masak sup kepiting kalau mamak sudah menerima gaji.”
“Tidak mungkin, mamak sudah memasak semua kepitingnya,” dengusku, tertawa hambar.
“Tidak mungkin kenapa? Tinggal masak kuah supnya dan langsung digabung dengan kepiting sisah ini besok, bisa kan?”
Aku mengangguk lucu, sedih dalam hati. Mendengar tawaran semu mamak. Sekalinya pun mamak besok menerima gaji ujung-ujungnya pasti untuk membayar utang. Untuk menikmati sup saja rasanya langka, bisa saja kepiting yang kutangkap dimasak walau hanya ditumis sudah syukur Alhamdulillah.
“Mengapa mamak tidak mencari pekerjaan lain saja daripada menyuci pakaian orang? Kerja PT ikan misalnya? Sibolga terkenal dengan PT ikannya, pasti tidak sulit mendapat pekerjaan.” Aku menyelidiki mamak. Beliau terlihat tertawa lucu, seakan kalimat yang baru kulontarkan merupakan pertanyaan konyol baginya.
“Mamak tahu, tapi siapa yang mau menerima orangtua seperti mamak yang tidak sanggup kerja berat?”