Ada surga di Ma'had

fitrihaida
Chapter #4

Merayu Tuhan

Guru SMP-ku pengajar agama pernah menyampaikan pesan ‘jika diri merasa dilemah berat, ragu-ragu memutuskan suatu hal. Maka laksanakanlah salat istikharah untuk meminta petunjuk Allah’

 

Dahulu dengan pikiran yang labil ini kukira salat istikharah hanya bagi mereka yang kesulitan memilih jodoh di antara lamaran pria-pria yang secara bersamaan menghampirinya. Korban sinetron, haha. Ternyata manfaat melaksanakan salat istikharah amat banyak, menyangkut masa depan. Setelah meminta petunjuk kepada sang Maha Agung, kuputuskan mengikuti saran pak Nasan setelah mendapat pencerahan dari mamak dan mamak juga sangat setujuh dengan arahan pak Nasan.

Dengan sedikit sesal kulepas impian mengincar UNIMED sebagai tempat mengenyam pendidikan, diakhir deadline pendaftaran kuputuskan menjatuhkan berkas di UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsisimpuan.

Segalanya kuserahkan kepada Dia yang Maha memiliki. Diri ini sepenuhnya ihklas dengan apa yang terjadi nantinya. Segala prosedur pendaftaran telah aku ikuti dan kemarin juga aku baru saja mengikuti ujian seleksi ditemani kak Candra anak majikan mamak yang kebetulan dosen di UIN Syahada sehingga mempermudah sedikit masalah akomodasiku di kabupaten tetangga.

Kubuka lebar jendela kamar, membiarkan angin malam masuk. Kata orang pamali membuka jendela tengah malam, tapi sekarang waktu hampir memasuki subuh. Untuk kali pertama bagiku, selama bulan juli aku melaksanakan salat tahajud berturut-turut setiap malamnya.

Hal yang tidak pernah-pernahnya kulakukan.

Memang benar kata orang-orang, manusia hanya akan ingat Tuhannya jika ia merasakan kesusahan. Seperti diri ini, tapi tekatku sekarang kuat akan selalu mengingat Tuhanku bagaimana pun situasi dan kondisinya sekali pun mungkin pendaftaranku gagal lagi. Diri ini percaya sebaik-baiknya rencana yang mungkin baik bagi kita, belum tentu baik menurut Allah. Allah maha tahu apa yang terbaik bagi hambanya.

“Tris? Jendelanya tutup! Mamak kedinginan, Nak.”

Suara serak mamak mengagetkan aku yang termenung memandang langit, “Maaf Mak” lirihku melirik mamak, buru-buru menutup lagi pintu jendela.

“Kenapa tidak tidur?” tanya mamak dalam keadaan setengah sadar. Bahkan terlihat matanya masih tertutup sempurna.

“Enggak bisa tidur, Mak,” jawabku sekenanya. 

 Tidak ada lagi suara dari mamak. Malaikat kuat itu kembali tertidur. Aku berjongkok mendekatinya, sekilas kukecup keningnya yang ditumbuhi keriput, “Maaf” batinku, menyesel dulu yang tak terima terlahir dari rahimnya, menempati nasib hidup susah. Namun, setelah melihat perjuangannya yang mati-matian untuk menghidupi kami dengan penghasilan bapak yang tidak mencukupi, membuat diri ini tertampar batin.

 “Semoga Allah selalu menjaga, melindungi, dan menyehatkan kau. Cintaku,” bisikku, membaringkan diri di samping mamak, memeluk tubuh lemah itu. Tak sadar aku menangis haru, mengingat semua perjuangannya.

***

 

Lihat selengkapnya