Menyelami pikiran yang sedang kalut seperti berjalan tanpa tujuan, begitu banyak keinginan dan harapan yang sulit untuk diwujudkan hingga akhirnya bertemu kata cukup. Rintik hujan membasahi dahan pohon yang diombang-ambingkan angin. Pandangan Melati ke arah luar jendela, tersenyum melihat bagaimana air dan angin berebutan mencari perhatian dahan pohon yang tampak sudah kelelahan, bagaimana bunga-bunga bertahan untuk tidak jatuh saat berpegangan erat pada batang pohon, bersama mereka mengikuti arah angin, yang sepertinya hari ini sedang ingin menunjukkan kekuatannya. Tanpa perlawanan, seperti memahami bahwa akan menjadi sia-sia melawan angin. Tampak dari kejauhan binatang melata berlindung di bawah dedaunan, sebagian badannya tidak terlindungi tetapi tidak ada pilihan selain bertahan.
Melati membalikkan tubuhnya menjauhi jendela kamar dan berjalan menuju kursi di samping tempat tidur, diambilnya buku yang belum selesai dibaca sambil sesekali melihat telepon genggam dan memeriksa siapa yang mencarinya hari ini. Tidak ada pesan terlihat, seperti hari-hari biasanya. Dunia sudah sangat sibuk sehingga tidak menyadari keberadaan dirinya. Dibolak balik buku dalam genggamannya, tidak menarik tetapi harus diselesaikan, suka atau tidak suka, nasibnya sudah diputuskan ketika membuka halaman pertama, apa yang sudah ia mulai harus diselesaikan. Satu bab saja sore ini, putusnya.
Melati tenggelam dalam kata-kata di hadapannya selama beberapa menit hingga tidak mendengar bunyi bel. Suara angin riuh kencang hingga menutup jendela kamar, membuyarkan konsentrasinya, lalu menyadari orang asing yang menunggunya di luar rumah. Diambilnya pashmina untuk menutupi pakaian tipisnya lalu berjalan menuju pagar.
Rumah tua peninggalan orang tuanya dengan bangunan satu pertiga dari keseluruhan tanah. Bangunan dua lantai yang terbuat dari kayu jati dengan konsep terbuka, masih tampak bersih dan terawat, dikelilingi oleh tanaman hias yang hidup tanpa memerlukan perhatian khusus. Melati, anak tunggal yang hidup sendirian tanpa saudara kandung. Orang tuanya meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan. Bertahan tetap hidup meski tak jarang seringkali ingin menyusul mereka.
Perlahan gerbang itu ia buka hanya sebatas hidung bangirnya, dilihatnya seorang laki-laki dengan membawa tas ransel dengan jeans bolong di bagian lutut, jaket lusuh dan wajah yang keras. Ditarik kembali pintu dan hampir ia kunci kembali namun urung ia lakukan.
“Ada keperluan apa ya? Cari siapa?” tanya Melati dengan nada curiga.
“Saya lihat di internet katanya ada kamar disewakan di sini, Apa betul begitu?”
“Iya, tapi untuk perempuan. Sudah buat janji sebelumnya?”
“Hanya kebetulan lewat dan saya sudah mengirim pesan melalui Wa tetapi tidak di respon. Boleh saya masuk sebentar? Hujannya agak deras,” katanya sedikit memaksa membuat Melati serba salah.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup teratur dan sistematis. Sepertinya bukan orang jahat. Intuisinya mengatakan untuk mempersilahkan orang ini masuk.
“Dibuka saja semua, saya mau masukkan mobil.” perintahnya menjauhi pagar.
“Parkir aja di depan pagar. Tidak usah masuk. Kalau mau numpang berteduh silahkan tapi tolong pintu pagar jangan ditutup. “
“Dia pikir dia siapa, main perintah-perintah,” Melati menggerutu menjauhi pintu pagar ke arah teras rumah
Laki-laki itu berusaha masuk dengan sedikit kesulitan dikarenakan pagar sengaja tidak dibuka lebar oleh Melati, kemudian sedikit berlari menyusul berkejaran dengan air yang tumpah dari langit.