“Ini mau dibawa ngga?” tanya Batara membangunkan teman satu rumahnya yang hampir lima tahun hidup bersamanya.
Putra hanya mengintip dari balik selimut dengan mata setengah terpejam. Samar-samar dilihatnya benda putih yang tidak jelas itu apa kemudian menarik kembali selimutnya menutupi kepalanya.
“Put, berantem aja mending lah.”
“Ntar, gw tidur dulu.”
“Mo jadi pindahan ga si?”
“Jam empat kan? Santai aja si Bat.”
Beberapa detik kemudian terlihat benda melayang dan mendarat satu sentimeter di atas kepala Putra sehingga membuatnya tersentak dan bangun dari tidurnya.
“Apa si lu. Ganggu aja.” diambilnya benda yang mendarat di atas kepalanya.
“Baru jam satu juga. Masih ada tiga jam lagi. Sejam juga selesai ini.” lanjut Putra sambil kembali merebahkan badannya ke kasur.
“Pengen banget gw colok mata lu. Sejam apaan, Belum ada yang lo packing. Barang-barang lo emang cuma satu biji. Itu isi lemari belom lo apa-apain.”
“Santai si Bat. Gw tiup juga rapih. Ribet banget hidup lo. Udah sana lo. Ganggu.“ Putra kembali memejamkan matanya.
Batara keluar dan tidak lama kembali membawa gayung yang sudah diisi air lalu disiram ke kepala Putra dan meninggalkan kamar itu dengan wajah tanpa dosa.
“Norakkk, bangs.” umpat Putra kaget.
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, saat Putra dan Batara masuk ke tol dalam kota menuju Bandung. Sore itu cerah, matahari seolah merestui kepergian Putra dan Batara meninggalkan kota dengan segala kenangan kenakalan mereka yang akan mereka lanjutkan di kota yang akan mereka tinggali sementara waktu ini.
“Masih marah? Wajah lo ganteng banget kalo marah gitu Bat. Berwibawa. Macam debt collector.” teriak Putra dari kursi penumpang di belakang Batara.
“Lo beneran ga mau gw temenin di depan?” Putra melanjutkan kata-katanya yang kemudian disambut dengan jari tengah yang diacungkan dan wajah tanpa ekspresi Batara.
“Gw kan ngga salah Bat. Manusia kan hanya bisa berencana. Gw pikir kan sejam selesai. Bukan salah gw Bat. Salahin rencana gw dong. Kok lo marahnya ke gw.” Putra mengangkat kedua tangannya ke atas sandaran kursi.
“Ngomong satu kata lagi, gw turunin lo di depan, Mau lo jalan sampe Bandung?“ akhirnya Batara mengeluarkan suara setelah berjam-jam diam menahan marah.
“Laper gw sayang.” Putra sengaja meledek sahabatnya itu.
Batara menepikan kendaraan mereka. Turun dari kursi kemudi ke arah pintu penumpang. Membuka pintu kemudian menarik kemeja orang yang sedari tadi membuat dia kesal setengah mati.
“Keluar lo. Cepet. Keluar. “
“Ngapain si lo pengen banget cepet keluar?” Putra masih mengira sahabatnya itu bercanda.
Ditariknya baju sahabatnya itu keluar kemudian ditutupnya pintu penumpang dan tanpa ekspresi melanjutkan perjalanannya.
Putra dengan santai berjalan di pinggir jalan tol, sambil sesekali mengulurkan ibu jari nya ke arah mobil yang lalu lalang. Tapi tidak satu mobil pun berhenti. Setelah beberapa ratus meter berjalan Putra mulai sedikit lelah lalu duduk di pinggir jalan sambil berharap ada kendaraan yang mau menepi dan membawanya ke Bandung.