Secangkir Rasa Cukup

Martha Melank
Chapter #3

Bertukar Kekuatiran

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Putra keluar pintu tol Pasteur. Seharusnya dia membangunkan wanita di kursi penumpang yang terlihat sangat lelap. Dibawanya kendaraan perempuan itu terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai sepi. Banyak restoran yang sudah tutup sementara perutnya masih kosong, butuh untuk di isi. Dibawanya kendaraan ke arah Lembang. Putra berencana untuk mengisi perut di Punclut Lembang. Makan malam dengan menyaksikan kota Bandung dari ketinggian sepertinya akan menjadi pilihannya untuk memulai hidup di kota ini. Tidak diperdulikannya kendaraan yang dia pakai saat ini bukan miliknya. 

Putra dikenal orang sebagai laki-laki supel yang mudah bergaul. Sifat dan karakternya sangat santai. Dia mungkin satu-satunya arsitek yang tidak pernah memiliki rencana apapun dalam hidupnya. Bertolak belakang dengan latar belakang pendidikan dan karir yang dipilihnya. Dia tidak pernah memikirkan hubungan sebab akibat. Yang dia tau hanya semua yang dia pilih untuk dia lakukan ada konsekuensinya. Seperti yang dia pilih untuk dia lakukan saat ini. Beberapa dari teman-temannya menganggap dia pembuat onar karena sering kali melakukan hal-hal yang tidak terduga, memang terlihat menyenangkan untuk dilakukan, tetapi ia selalu lupa ada resiko dibalik tindakannya, mungkin itu yang membuatnya terlihat menarik dan sulit bagi teman-temannya untuk tidak mengakui keberadaannya. 

Di susuri nya jalan yang menanjak. Jalan yang sudah sering dilalui saat masa-masa kuliahnya. Empat tahun dia habiskan di kota ini dan hari ini dia kembali ke kota yang membawa banyak kenangan untuknya. Perempuan di belakangnya masih tertidur. Sudah lama orang ini tidak tidur atau caranya mengendarai mobil yang membuatnya tetap terlelap, pikirnya. Kesepian yang tidak sepi, begitu Putra memaknai perjalanannya kali ini. Putra tidak terbiasa dengan sepi. Dia suka dengan keramaian. Dimanapun dia berada selalu ada orang di sampingnya, musik keras atau hal-hal yang membuatnya tertawa atau bicara, hanya untuk membuat keadaan tidak sunyi. Tapi kali ini berbeda. Tidak ada suara musik menemani. Hanya suara deru mesin dari mobil tua yang dia kendarai dan suara angin ketika dia membuka jendela mobil. Hal yang dilakukannya untuk membuatnya tetap terjaga. Sebuah kondisi baru yang disadari Putra hari ini. Rasa sepi yang dapat ia nikmati. 

“Sudah sampai. Kita makan dulu.” suara Putra mencoba membangunkan tubuh yang tergolek lemas di belakangnya. 

Dibalikkannya tubuhnya ke arah perempuan itu lalu perlahan disentuh pundaknya. Setelah beberapa kali sentuhan akhirnya terbangun. 

“Kita makan dulu.” Putra mengulangi perkataannya.

Mata perempuan itu terbuka dan Putra kemudian turun dari mobil itu ke arah Warung makan favoritnya yang masih menerima pelanggan. Anak pemilik warung melompat kegirangan dan sedikit berlari menghampiri Putra. 

“Bangg Puput, ya Allah ngimpi apa eneng liat Bang Puput di sini.” teriak suara anak remaja putri yang mengenali keberadaannya. 

“Aduh Eneng apa kabar. Meuni geulis pisan ditinggal abang.” Putra mengeluarkan jurusnya untuk menarik lawan bicaranya.

“Eneng sae Kang. Arek dahar naon Kang. Sendirian?” 

“Biasa Neng, sama kopi ya jangan lupa. Abang sama temen. Masih di dalam mobil. Nanti dia pesan aja sendiri. Eneng buatkan saja dulu aja pesanan Abang. Laper euy.” pinta Putra.

Tak lama kemudian, perempuan yang tidak dikenalnya keluar dari mobil dengan kondisi rambut acak-acakan dan nyawa yang belum terkumpul, berjalan terseok-seok mencari keberadaan orang asing yang mengendarai mobilnya. Setelah didapatinya sosok yang baru dilihatnya beberapa jam yang lalu, kemudian berjalan ke arah Putra sambil merapikan bandana yang menempel di kepalanya. Jalannya limbung mungkin karena menahan kantuk yang tidak kunjung usai. 


Putra memperhatikan perempuan itu sambil sesekali menahan senyum. Dia sudah siap kalau wanita ini akan mencaci makinya karena sudah membuat keputusan sepihak. Diamatinya perempuan itu dengan tajam. Tingginya seratus tujuh puluh sentimeter dengan berat sekitar lima puluh kilogram. Cukup ideal di mata Putra. Menggunakan terusan dengan kancing depan berwarna hijau lumut dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka. Sepatu kets dan tas ransel kecil. Tidak ada atribut lain seperti aksesoris yang berlebihan. Hanya jam tangan kecil yang talinya dibiarkan longgar di pergelangan tangannya,

“Mau pesan apa?” tanya Putra.

Wanita dihadapannya itu diam. Seperti sedang mengumpulkan nyawanya dengan melihat di sekelilingnya untuk mengetahui keberadaannya saat ini. Putra sudah siap dengan amukan ketika perempuan itu melihat ke arahnya. 

“Teh, aku pesan nasi merah, ayam bakar, lalapan sama ati ampela. Jangan terlalu kering ya gorengnya. “ 

Putra menyembunyikan keterkejutannya melihat respon perempuan yang ada di hadapannya itu. Tidak ada kemarahan sedikitpun terpancar dari wajahnya ketika segala sesuatu berjalan tidak sesuai dengan instruksinya. Masih ingat tadi dia berkata bahwa dia minta Putra untuk membangunkannya ketika keluar pintu tol. 

“Gw laper terus kepengen makan disini. Lo ga keberatan kan?” tanya Putra.

“Udah sampe sini, gw marah juga ga akan merubah apa-apa kan?” jawabnya enteng. 

“Gw Putra.” ujarnya tersenyum sambil memberi tangan kepada wanita di hadapannya.

“Gw Putri. ” jawabnya santai menghiraukan tangan di hadapannya kemudian asik memeriksa layar telepon genggamnya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. 


Lihat selengkapnya