Jadi begini rasanya dipakaikan seatbelt sama CEO? Kayla cengengesan di atas tempat tidur. Dia lupa kalau Al seorang Direktur Marcomm. Ah, gak jauh beda, lah!
Malam Minggu ini Kay merasa bukan dirinya yang malu-malu saat Al berkata, “Aku sudah ada janji sama seseorang yang sangat membanggakan malam ini.” Itu manis, bukan? Argh! Kay mengacak rambutnya. Posisinya saat ini adalah menelungkup manja dengan sebuah bantal dalam pelukan.
Bayangan Airin yang anggun sekilas muncul, membuat Kay merasa kecewa. Kay sangat yakin Al pasti tadi sebenarnya ingin mengantarkan Airin pulang. Belum lagi Mona. Siapa Mona? Itu pasti mantan pacar Al yang ngebet minta balikan. Atau bahkan mereka masih pacaran? Apakah Al masih playboy seperti dulu?
Kay duduk bersila dan melanjutkan ketikan pada laptop merah marun yang sedari tadi menyala. Dirinya tampak lancar menyusun kata-kata pada benda kesayangan di atas pangkuan. Binar bahagia tampak pada matanya. Sesekali wanita itu tersenyum. Tentu saja karena mengingat saat Al merapikan rambutnya.
Masih dengan senyum sok dibuat anggun, Kay mengambil ponsel yang tergeletak di dekat laptop. Dia membuka menu galeri. Ditatapnya foto Al yang diam-diam diambil tadi. Kay mengambil beberapa pose Al saat tertawa, tersenyum dan mengobrol. Bahkan kemeja putih saja sudah membuat pria itu terlihat menggoda. Coba bandingkan kalau Dista yang wajahnya agak menyebalkan itu pakai kemeja putih, apa bagusnya? Kay tertawa sendiri karena sudah mencela sahabatnya. Niat usil mendadak muncul.
Cepetan pulang sebelum pintu rumah gue kunci!
Kayla sungguh mengirimkan pesan itu lengkap dengan bold ke nomor WA Dista Mahardika Bla Bla Bla. Panjang banget namanya, bukan?
Kunci aja, gue bisa dobrak. Klo Tante Ris tnya, gue tinggal jwb, Kayla Nafisa sengaja kunciin gue. 😊🤪
Kay menghela napas setelah membaca balasan dari Dista. Kok, sempat pria itu membalas pesannya? Bukankah dia sedang bermesraan dengan Chef Tua Bangka?
BTW, soal Chef Hadi, Kay merasa kesal kalau mengingat ekspresinya yang menyebalkan. Seketika ingin berdendang, "Apa salah dan dosaku, Sayang? Hingga kau anti dengan diriku ... Emang dasar! Emang dasar!" Kay terkikik sendiri dengan guyonan garingnya.
Malas mengingat Chef Hadi, wanita itu menjalankan kursor di layar laptop dan membaca beberapa komentar pada bagian awal novel online-nya. Dia menampilkan sebuah ilustrasi yang memang terinspirasi dari Al. Komentar-komentar positif di sana memberikan Kay kekuatan untuk melanjutkan tulisannya.
Suara pintu kamar dibuka seseorang, Kay menoleh. Mama tersenyum sambil membawakan sepiring irisan apel.
“Kamu masih kerja?” Mama langsung duduk di sisi Kay setelah meletakkan piring di atas meja kerja.
Kay terdiam. Dia sungguh ingin menutup layar laptop, tak ingin Mama tahu apa yang sedang dilakukannya. Namun, ketulusan di mata Mama selalu membuat Kay berani jujur.
“Kamu nulis novel lagi?” tanya Mama setelah melirik layar laptop Kay.
Lewat wajah murung, Kay mencoba membalas tatapan Mama. “Ma, ini cara aku buat refresh diri.”
“Jangan sampai ketahuan Papa, Sayang.” Mama mengelus rambut Kay.
“Kenapa Papa nggak setuju aku nulis? Kenapa Papa mikir aku buang-buang waktu?” Kay meletakkan laptop di atas kasur, dia memeluk Mama.
“Papa cuma ingin kamu lebih punya masa depan, Sayang.” Mama merenggangkan pelukan dan merapikan poni Kay.
Kay mulai menahan air mata. “Tapi, Ma, aku juga bisa sukses kayak kakak-kakak.”
“Mama tunggu selalu kamu untuk membuktikan itu.”
Pelukan Mama malam ini terasa lebih hangat. Entah kenapa, Kay ingin sekali saja menangis dalam pelukan Mama, tapi urung dilakukan karena malu. Kan, sudah dewasa. Ceileh!
Setelah Mama pergi dari kamar, Kay menghampiri meja kerja yang menghadap ke jendela. Dia meraih irisan apel dan menikmatinya.
Beberapa saat setelah Kay berpindah pada meja kerja, dia berhasil meluapkan seribu kata lebih pada halaman naskah di sebuah platform menulis online. Melupakan kesedihan perihal Papa yang menentangnya sebagai penulis adalah caranya untuk hidup.