Adaku Lengkapi Adamu

Salmah Nurhaliza
Chapter #3

#3 - Adista Mahardika Putra

Sudah lama sekali Dista tidak sarapan di rumah ini. Dulu semasa SMA dan kuliah, seminggu bisa tiga sampai empat kali dia menyantap makan pagi di sini. Rumah yang sangat—dan selalu—hangat baginya. Biar saja telinganya panas mendengar ocehan berisik si Radio Rusak itu, yang penting dia bisa mendapat perhatian dari mamanya Kay yang super duper menggemaskan. Eit, bukan berarti Dista penggemar tante-tante, tapi cuma di rumah ini dia bisa lepas melakukan apa pun, jadi diri sendiri.

Semalam, saat Tante Rismayani heboh karena kedatangannya, Dista pura-pura tidur lelap seolah tak terusik dengan keributan ibu dan anak itu. Siapa yang bisa tidur kalau direcoki suara cempreng mirip radio rusak ala Kayla? Benar-benar polusi pendengaran. Dia hanya belum berminat menjawab berbagai pertanyaan yang pasti akan muncul dari dua orang “ajaib” itu.

“Makan yang banyak ya, Dis, biar sehat dan tetap ganteng. Kau, sih, nggak apa-apa kehabisan juga, dia bisa beli nasi uduk di depan.”

“Siap, Tan. Entar aku habisin!” Dista bersemangat menyambut ucapan Tante Ris.

Kay cemberut. “Ma! Sebenernya yang anak Mama itu Kay atau Dista, sih? Masa anak orang ditawarin makan banyak, anak sendiri nggak kebagian.”

Dista gemas sekali melihat ekspresi Kay yang sangat dirindukannya. Rasanya ingin mencubit pipi mungil yang sedang digembungkan itu. Dua tahun tidak bertemu, anak itu tetap saja manja. Dan pastinya berisik! Udah bawaan orok kalau yang ini, kata batin Dista.

“Itu namanya rezeki gue. Lo nggak usah protes!”

“Dasar lo Kudis!” Kay melempar kerupuk ke wajah Dista yang ada di sebelahnya. Dengan sigap Dista menangkapnya dan langsung dimasukkan ke mulut. Pria itu lantas menjulurkan lidah. “Dasar Kudis cowok nistaaa!”

“Kay, berisik banget, sih, pagi-pagi. Pusing, tau!” tegur Om Deni.

Dista malah terbahak melihat wajah manyun Kay. Dia menyuap sesendok nasi goreng ati ampela buatan Tante Ris dan mengunyah sambil tersenyum memandangi Kay. Dista kangen berat nasi goreng ini!

“Oya, Dis, Tante udah telepon mama kamu, kasih kabar kalau kamu ada di sini.”

“Tapi Tante udah pesan ke Mama jangan sampai Papa tau?”

“Iya, tenang aja. Semua beres di tangan Tante. Termasuk kisah cinta kalian nanti.” Tante Ris terkikik sendiri.

Dista ikut tertawa mendengarnya, sementara Kay makin manyun. Rumah mereka bertetangga, berhadapan. Kay dan Dista bersahabat bahkan sejak sama-sama masih di dalam kandungan.

“Eh, Kay, habis ini temenin gue ke tempatnya Disti, ya. Lo libur, ‘kan?”

Kay menoleh cepat, memandang dengan tatapan tak biasa, mengedarkan netra bergantian pada mama dan papanya, kemudian kembali ke Dista. “Yakin?”

Pertanyaan itu dijawab anggukan mantap oleh Dista.

***

“Hai, Dek, gue datang, nih. Lo apa kabar? Kangen banget gue sama lo.” Ada kerinduan yang begitu dalam di suara itu. Rindu yang menyayat. “Semalam gue pulang ke rumah, tapi Papa ngusir gue … lagi.” Dista merasakan sentuhan Kay di bahunya.

Pria berkulit putih dengan tampang timur tengah itu kembali mengingat kejadian semalam, sebelum dia akhirnya muncul di rumah Kay.

Ragu-ragu Dista mengetuk pintu rumah. Rumah yang sejak lama terasa asing baginya. Seorang wanita berusia 45-an keluar dan terlihat kaget mendapati kemunculannya.

“Dista … anak Mama!” Serta merta wanita itu memeluk erat dengan tangis yang tak ingin dibendungnya. “Kamu pulang, Kak?”

Dista yang juga sangat merindukan mamanya balas memeluk erat. “Iya, Ma, Kakak pulang. Buat Mama.”

Lama mereka berpelukan dalam tangis, hingga Dista berinisiatif mengurai lebih dulu. “Mama kelihatan lebih kurus.”

Lihat selengkapnya