“Jomlo itu apa, sih, Bu?”
Airin menarik napas kuat, mengembuskannya tidak kalah kuat. Jika saat ini yang bertanya di depannya manusia berusia 20 tahunan, Airin yakin sudah melayangkan senyum terbaik, lantas balik ke rumah diam-diam langsung mengirim santet! Paling tidak, dia akan berdoa. Hey, jangan remehkan doa orang teraniaya!
Faktanya, yang baru saja mengeluarkan pertanyaan ajaib tersebut adalah bibir mungil seorang anak lelaki yang bahkan belum genap berusia enam tahun. Ayunan berbentuk lingkaran yang mereka duduki bergerak pelan. Suara anak-anak SD yang bersebelahan dengan TK—dihalangi dengan tembok tinggi—tempatnya mengajar, terdengar riuh. Bugenvil atau yang biasa dikenal dengan bunga kertas tumbuh tinggi dengan batang ringkih di luar pagar sekolah. Kelopak merahnya bergoyang pelan ditiup angin. Sengaja bunga tersebut ditanam di luar pagar karena batangnya yang memiliki duri tidak aman untuk anak-anak TK. Airin membenarkan jilbab yang sebenarnya sudah rapi, menelan ludah.
“Jomlo? Artinya ... sendiri. Belum punya teman. BELUM punya, ya, bukan TIDAK punya.” Airin menekan setiap kata yang dia keluarkan, lantas meringis bodoh karena menyadari siapa yang menjadi lawan bicaranya sekarang. Tentu saja murid yang sudah terlambat dijemput dua puluh menit ini tidak akan paham akan maksud tersirat yang dikatakannya.
“Jadi, Ibu jomlo?” timpal muridnya lagi.
Airin melotot. “Bagas, dari mana kamu dapat kata-kata seperti itu? Kamu jangan kebanyakan menonton hal tidak baik di hape, ya! Aduh, sepertinya Ibu perlu bicara sama orang tua kamu.”
Bagas menggeleng kuat. “Oom yang tanya. Katanya, Bu Ririn jomlo atau enggak?”
Kening Airin mengernyit? Apa pula ini? “Om kamu?” selidiknya hati-hati.
“Iya,” jawab muridnya itu cepat. “Bagas boleh minta foto Ibu? Nanti Bagas mau lihatin ke Oom.”
Airin mangap lebar. Entah sudah berapa macam ekspresi yang dia keluarkan bahkan tak lebih dari sepuluh menit.
Belum sempat Airin menanggapi, ekor matanya melihat gerakan tergesa-gesa perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun menghampiri mereka.
“Maaf, Bu Ririn, saya terlambat.”
“Tidak masalah, Bunda,” tanggapnya ramah. Airin menghentikan gerakan ayunan, lantas turun, menggenggam tangan Bagas yang terlihat kepayahan menginjak tanah, kemudian membenarkan letak ransel bergambar salah satu film kartun luar negeri yang terlihat melorot dari pundak Bagas.
“Saya permisi ya, Bu. Terima kasih banyak,” pamitnya. “Bagas, salam Ibu Guru dulu. Dadah juga sama Mayang.”
Bagas patuh, mengambil tangan Airin lantas meletakkannya di antara hidung dan mulut, mendongak, lantas nyengir. “Dadah, Bu Ririn. Dadah, Mayang. Bu Ririn jangan lupa fotonya, ya.
Tak ayal Ulfah—bunda Bagas—bertanya lebih jauh perihal kalimat terakhir putranya. Airin hanya mengangguk, lantas duduk kembali di ayunan, di samping Mayang yang sedari tadi memilih bungkam.
Murid perempuannya satu ini terlihat semakin banyak diam sejak tiga bulan terakhir. Sebulan belakangan, semakin irit bicara dan pelan-pelan memisahkan diri dari teman-temannya. Airin tahu, Mayang baru kehilangan sosok ibu yang melahirkannya, lebih tepatnya dipaksa kehilangan karena perceraian.
“Lagi-lagi saya terlambat, Bu Ririn. Maafkan saya.” Lelaki berperawakan tambun—ayah Mayang—jelas tak serius dengan apa yang baru saja diucapkannya. Airin bisa menyimpulkan demikian karena Pak Bimo membawa tampang biasa saja, bahkan terkesan cengengesan. Terhadap Pak Bimo, kewaspadaan Airin otomatis meningkat, padahal lelaki tersebut tidak pernah bersikap aneh terhadapnya. Hanya feeling. Feeling yang Airin harap tidak benar.