Adaku Lengkapi Adamu

Salmah Nurhaliza
Chapter #5

#5 - Bukan Boneka Papa

Al terus memandangi selembar foto polaroid yang tersimpan di atas dasbor mobilnya. Foto usang yang membawa banyak kenangan. Di sela kegiatan menyetir, senyum terus merekah di bibir Al, ketika kilasan-kilasan tentang masa putih abu-abunya terus bermunculan.

Muncul keinginan kuat untuk segera bertemu dan berkumpul kembali bersama teman-teman SMA-nya. Namun, itu semua tidak mungkin dilakukan pada waktu sekarang ini. Maklum, Al sibuk. Tiada hari tanpa tuntutan pekerjaan. Belum lagi soal papanya yang terus memaksa Al agar segera kembali ke Bandung.

Papa ‘merengek’ meminta Al untuk pulang sebentar ke rumah keluarga mereka. Tadinya Al tidak acuh tentang hal itu, tapi ketika dipikir lagi, Al takut kalau ini adalah permintaan terakhir dari papanya. Ya, kalau papamu sudah tua dan sering sakit-sakitan—meski tetap galak—mau tidak mau harus dituruti, ‘kan?

Layar ponsel Al berkedip-kedip. Di sana tertera caller ID ‘Papa’.

“Hari ini jadi pulang, kan?”

“Lagi di jalan.” Al menambah sedikit kecepatan mobilnya jadi 100 km/jam. “Jangan telepon dulu, Papa nggak mau anaknya mati kecelakaan gara-gara terus-terusan diteror, ‘kan?”

Al yakin, papanya pasti sedang memelototi layar ponselnya sendiri sekarang.

“Ya, oke. Langsung ke rumah, jangan keluyuran dulu!”

Sambungan telepon langsung terputus. Tadi apa katanya? Keluyuran? Mana mungkin aku keluyuran, kalau mampir, baru benar. Al mendengkus kasar. Sudah sebesar ini, masih saja tidak dipercaya. Oleh orangtua sendiri lagi.

Merasa lapar, Al menepikan mobilnya di sebuah mini market. Seperti biasa, seorang pramuniaga menyambutnya dengan hangat. Saking hapalnya dengan sambutan seperti itu, Al sampai menirukannya tanpa suara, lalu terkekeh sendiri. Untuk mengganjal perut, Al membeli lima buah roti sandwich isi selai kacang, satu buah roti sobek isi cokelat keju dan dua botol air mineral ukuran sedang.

“Semuanya jadi empat puluh lima ribu, Pak.”

Al merogoh kantung celananya, tapi tidak menemukan satu lembar pun uang. Pria itu beralih ke dompet, sama saja; nihil.

Sial, apa aku lupa bawa uang cash?!

“Pake debit aja, Mbak.” Al tersenyum canggung. Kalau belanjanya banyak, mungkin tidak terlalu memalukan pakai debit. Dalam hati, Al merutuki kebodohannya yang sangat jarang ini.

Sambil menunggu mbak pramuniaga menggesek kartunya, Al iseng memperhatikan wajah wanita itu. Masih muda, cantik, rambut hitam sebahu, bulu mata lentik dan make up yang masih on walau malam sudah larut. Al yakin, usianya pasti masih di bawah 20 tahun.

“Maaf, Pak, ada yang aneh sama muka saya? Ah, tolong pinnya."

“Nggak, cuma kamu ngingetin saya sama temen kerja saya di kantor.” Al tersenyum. Jarinya dengan cepat memencet beberapa angka pada alat yang disodorkan si pramuniaga. “Bedanya, dia udah tua, kamu masih muda.” Kali ini Al terkekeh geli membayangkan raut Kayla. Ditambah lagi, si pramuniaga juga ikut tersipu melihat tingkah Al sekarang.

Sudah, sudah, ini bukan waktu yang tepat untuk menggoda seorang pegawai mini market, apalagi malam sudah larut, Al mengingatkan dirinya sendiri dalam hati.

Intinya, gadis pramuniaga itu sudah pasti tergoda oleh kekehan dan senyuman Al. Sementara Al sendiri, hanya ingin menghabiskan waktu agar perjalanannya ke Bandung sedikit lebih menarik.

Setelah saling mengucapkan terima kasih, Al langsung masuk ke mobilnya. Dia memutuskan untuk diam sebentar, sambil makan tiga bungkus roti.

***

Al sampai di Bandung pukul 06.10. Rumahnya masih terlihat sama; besar dan sepi. Namun, ketika dia menginjakkan kaki di halamannya yang luas, suara nyaring dengan aksen sunda yang kental segera menyambutnya. Al merentangkan tangan selebar yang dia bisa; menyambut orang itu ke dalam pelukannya.

“Halo gadisku, apa kabar?”

Al menatap lembut orang yang berada di pelukannya, lantas tergelak beberapa detik ketika orang itu mencubit hidungnya pelan.

Tong kitu atuh! Ai Nini teh tos lain gadis deui.* Nini gak akan tergoda!”

Al makin tertawa keras. Orang ini adalah yang mengasuh Al ketika kecil dulu. Demi apa pun, Al kangen sekali dipeluk olehnya.

“Gimana caranya bikin Nini tergoda, hm?” Al menggandeng tangan Nini masuk ke rumah. Mereka menghabiskan waktu berdua, sebelum Al bertemu dengan Papa.

Nini mengajak Al ke dapur, membuatkan segelas susu hangat dan pisang goreng cokelat—menu kesukaan Al saat kecil dulu.

“Nini masih inget aja kesukaan pangerannya.” Al mencomot satu potong pisang goreng, lantas memakannya dengan lahap.

“Pangerannya Nini belum ketemu sama tuan putrinya?"

“Wah, kan, tuan putrinya ada di depan aku." Al langsung melesat ke lantai atas, ketika melihat Nini ingin menimpuknya dengan garpu. Dari dulu, Al tidak pernah bosan menggoda wanita yang sudah dia anggap sebagai neneknya sendiri itu.

Lihat selengkapnya