Kayla ingin merutuki kebawelan Chef Hadi kali ini. Lama-lama dia mulai curiga, apa mungkin Chef Hadi punya dendam kesumat padanya? Begitu pikir Kayla. Dahi Chef Hadi selalu mengerut saat berpapasan dengannya, meskipun dia sudah bergaya sesopan mungkin. Tentu saja Kayla berbesar hati demi kebahagiaan Al. Kelancaran acara Pastry Fair di Crowne Plaza Hotel ini tidak boleh gagal hanya karena dirinya marah-marah tidak jelas.
Selama bertahun-tahun Kay bernapas, tak pernah ada yang membantah keinginannya. Sekarang Chef Tua itu bisa dengan mudah bermuka masam. Ingin rasanya Kay membanting piring di atas meja. Untung saja itu tak terjadi, mengingat Chef Hadi sedang memantau gerakannya.
“Yang mau take udah siap?” Kay berusaha tersenyum. Dia bahkan tak sadar senyumnya terlihat palsu.
Percuma! Chef Hadi tak akan membalas. Dia terus sibuk sendiri memerintah asistennya untuk meletakkan beberapa makanan.
Duh, masih mending ngajak baikan Kudis ke mana-mana, daripada Chef Hadi. Kudis aja kalo marah gak begini. Eh, kenapa jadi bandingin Kudis sama Chef Hadi?
“Oke, Chef Hadi, saya lapor ke Pak Azka dulu sekalian manggil fotografernya.” Kayla berjalan santai dengan bibir manyun. Tentu saja setelah Chef Hadi tak bisa memantau wajahnya.
Di depan ruang kerja Al, Kayla dihentikan oleh Sandra. “Pak Azka masih meeting!” Sandra bicara tanpa melihat Kay.
“Iya, saya tahu.” Kayla tersenyum palsu lagi. Dia heran kenapa Mama bisa jago tersenyum. Ini jelas sulit. "Saya mau panggil Pak Azka buat segera melakukan pemotretan.”
Sandra mendongak cepat. Dia hampir saja melotot mendengar kata ‘pemotretan’. Kay menarik napas.
“Maksud saya foto buat Pastry Fair lho, Mba.” Kay terkekeh.
Sandra mendadak terlihat bertambah kesal terhadap Kay. Dia melanjutkan kembali kesibukannya pada monitor.
Kay tanpa sengaja melihat gundukan besar di dada Sandra. Kedua tangannya lantas memegang dada milik sendiri. Kecil, begitu perasaannya mengatakan.
Melupakan masalah perbandingan dada Sandra, Kay membuka sedikit pintu ruang kerja Al. Mungkin boleh sesekali dia mencoba menguping pembicaraan dua sahabatnya itu.
“Airin masih misterius kayak dulu, ya?” Dista tertawa. Nama Dista, hobi tertawa. Begitu memang yang Kay tahu selama ini.
“Lebih tertutup aja, 'kan?” Al menyambung tawa.
“Kalo Kay apa? Koran terbuka?” Astaga! Tawa Dista makin meledak.
Apanya yang koran terbuka? Kay masuk dengan cepat dan melempar pulpen yang sejak tadi ada di saku kemejanya ke wajah Dista. Syukurlah, pria itu dengan sigap menangkapnya. Lemparan macam apa itu? Tak bertenaga sama sekali memang. Kay paham.
“Jangan suka gibahin gue, lo!” Kay sinis.
Dista masih tertawa dan berdiri. Dia melangkah menghampiri Kay dan mengembalikan pulpen tadi ke dalam genggaman tangan wanita itu.
“Di kantor orang lho ini kita buat keributan. Gak baik!” Dista membenarkan posisi kerahnya. Kay menahan tawa. Dista sok bijaksana, memang.
“Pak Azka, bisa mulai sekarang aja? Kita buktikan keahlian teman kita ini!” Kay berlagak serius. “Jangan sampai pergi dua tahun, tapi gak ada hasilnya,” ledek Kayla sambil memicingkan mata pada Dista.
Dista merangkul leher Kay dengan lengan dan menyeretnya untuk keluar ruangan. Sebenarnya, siapa yang bikin keributan di kantor orang? Kay berusaha meminta tolong pada Al untuk melepaskan tangan yang membuatnya susah bernapas.
***
Di kursi kerjanya, Kay bersandar. Airin memang sudah lama tak berbagi kabar.
Sombong banget.
Begitu isi pesan Kay untuk Airin. Tak berapa lama ponselnya bergetar.
Airin
Kay, apa kabar?
Meskipun Kay sedikit tidak nyaman saat Al menyebut nama Airin tadi, dia tetap merasa senang saat sahabatnya itu membalas. Sudah lama tak bersua apakah masih bisa dianggap sahabat? Perasaan manusia gampang berubah, bukan? Semakin matang usia, semakin paham untuk tidak perlu repot mencari teman. Alam akan mengeliminasi sendiri siapa yang layak menjadi teman.
Airin memang sosok yang dewasa, lembut, pengertian, dan layak menjadi idaman para pria. Kay juga berpikir begitu. Dulu di masa SMA, Airin menarik perhatian banyak teman lelaki. Mungkin saja Al dan Dista termasuk di dalamnya. Entah. Buktinya saja tadi mereka masih membahas nama wanita itu.
Kay jadi ingat saat masa-masa SMA dulu. Airin pernah pingsan dan rehat di UKS. Banyak sekali yang datang menjenguk dan Kay berusaha mengusir mereka semua karena sahabatnya butuh ketenangan.
Saat Al dan Dista datang menjenguk, masing-masing membawa sebotol air mineral untuk Airin. Yang mana merupakan tanda sayang dan teman, entahlah. Kay cuma bisa memantau dari kursi.
Sekarang, Kay masih merasa banyak orang lebih menyukai Airin ketimbang dirinya. Apalagi mengingat Chef Hadi dan Sandra yang tak pernah tersenyum sedikit pun di hadapannya. Itulah kontroversi hati Kayla Nafisa jelang sore kali ini.
“Kay!” Dewi yang berada di sebelah kubikel kerjanya memanggil.
Kay memundurkan kursi dan mendapati Dewi sedang menunjukkan layar ponselnya.
“Kenapa?”
“Udah baca bab tiga belum?” Dewi berbisik, takut yang lain mendengar.
Kay menatap layar ponsel Dewi. Ada tampilan novel online kesukaan mereka berdua yang baru saja update.
“Novel rekomendasi dari gue?” Kay juga bertanya pelan.
“Iya, seru banget. Penulis baru padahal ini. Karya novelnya baru satu kalo gue lihat.”
Kay langsung membuka aplikasi pada layar ponselnya. 'Jatuh Cinta pada CEO Ganteng' adalah judul novel yang sedang dibicarakan Dewi.