Adaku Lengkapi Adamu

Salmah Nurhaliza
Chapter #7

#7 - Mata Kamera

Hari ini Dista kembali ke Crowne Plaza Hotel untuk melanjutkan sesi foto yang kemarin belum selesai. Kali ini dia datang agak siang dan langsung menuju tempat pemotretan. Untung saja tadi pagi dia masih bisa bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Semalam, dia mengobrol sampai larut dengan Al di grup WhatsApp baru buatan Kay. Grup bernama aneh dan membuat bergidik kalau mengingat sejarahnya. 

Tentu saja Dista hanya heboh berdua Al, sementara si ‘pembuat keonaran’ dengan liciknya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sedangkan Airin, entah bagaimana dia di tempatnya.

Dista melangkah santai menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Kepalanya sesekali menoleh ke beberapa arah sambil mengamati suasana dan arsitektur hotel yang mewah dan indah. Pria itu jadi teringat celotehan riang seorang gadis kecil yang suaranya sangat nyaring.

“Pa, itu apa?” tanya gadis kecil itu sambil memandang takjub pada sebuah lampu gantung kristal yang sangat besar di lobi hotel.

“Itu lampu gantung.” Papa menjawab sambil membelai rambut hitam panjang melewati bahu yang dihias bando berwarna merah muda milik bocah itu.

“Waaah, bagus banget! Kalau itu apa, Ma?” Kali ini jari mungil itu tertuju pada sebuah tiang berbentuk balok berwarna hitam yang berdiri kokoh menyangga langit-langit. Di setiap sisinya terdapat lampu berbentuk segitiga sama kaki yang terbalik. Ukurannya sangat besar. Ada beberapa tiang serupa di lobi ini.

“Itu tiang, Sayang.” Suara lembut Mama terdengar seperti sedang tersenyum.

“Gede banget. Kalau Adek main petak umpet sama Kakak terus sembunyi di situ, pasti Kakak nggak bisa nemuin Adek.” Gadis itu tertawa lebar, memamerkan deretan gigi kecilnya yang putih bersih, tapi terlihat rongga karena gigi seri atasnya baru tanggal beberapa hari lalu.

“Pasti bisa, dong. Kakak, kan, pinter!” Bocah laki-laki yang sejak tadi diam menjawab dengan bangga.

Sudah lama sekali momen itu terjadi, saat usia kedua bocah itu baru enam tahun. Kala itu mereka baru tiba di sebuah hotel di Malang. Dista tersenyum. Masih terbayang jelas di kepalanya ekspresi gadis kecil itu yang tak lain adalah Disti. Tiba-tiba rindu akan kehangatan itu memenuhi ruang dadanya.

“Mas Dista!” Suara seseorang membuyarkan kenangannya.

“Oh, Chef Hadi.” Dista menyambut uluran tangan kepala koki Crowne Plaza Hotel. Mereka bertemu di ujung tangga berbahan marmer yang didesain sedikit meliuk.

“Saya sangat puas dengan hasil foto kemarin, Mas. Dan itu membuat saya tambah bersemangat mengolah menu hari ini.” Chef Hadi berujar penuh semangat. Senyum lebar menghiasi wajahnya.

Dista ikut tersenyum. “Alhamdulillah kalau begitu, Chef. Semoga hasil hari ini tidak mengecewakan.”

“Saya justru yakin hasilnya pasti lebih keren.”

Dista tertawa. Mereka langsung menuju tempat pemotretan di yang berada di lantai dua.

***

Di sudut Kafe Lentera yang ada di lantai dua, Dista sedang sibuk mengatur lensa kamera. Di kanan dan kirinya masing-masing berdiri lampu softbox, sementara sebuah tripod berdiri di depan dadanya. Kafe masih belum ada pengunjung, jadi dia bisa lebih berkonsentrasi. Obyek-obyek fotonya masih beralaskan sebuah meja kayu bundar yang dilengkapi dengan empat kursi—seperti kemarin. Barang-barang pelengkap yang dimintanya pun sudah disiapkan di meja lain. Pria itu membidik dengan cermat dari balik Canon EOS 5D Mark IV kesayangannya.

Tangkapan pertama mata kameranya adalah seporsi puff pastry cream cone yang sangat cantik di mata Dista. Dia menata lima buah kue panggang yang bentuknya mirip kerang kerucut berisi smooth ricotta* itu di sebuah mangkuk sup beralaskan piring kecil yang menyerupai lekukan tepi kerang. Sebuah lagi sengaja diletakkan di sisi kanan mangkuk—di atas piring alas. Warna putih peralatan keramik itu sangat serasi dengan warna cokelat keemasan hidangan di atasnya.

Satu set cangkir senada berisi mocca late dengan aksen bentuk hati diletakkan di sebelahnya seperti posisi arah jam dua, beralaskan kain berbulu halus warna merah muda. Untuk mempercantik, Dista menambahkan mangkuk yang lebih kecil dan mengisinya dengan blueberry dan raspberry, senada dengan topping di pastry.

Dista yakin, hidangan di hadapannya pasti sangat lezat. Ah, ya, dia berniat memintanya beberapa buah nanti pada Chef Hadi. Hasratnya pada makanan memang agak berlebih terkadang.

Foto dilanjutkan pada menu kedua, kue panggang berbentuk kotak yang di atasnya diberi potongan stroberi dan beberapa butir raspberry. Krim beraroma vanila sedikit menyembul dari balik buah-buah segar itu. Warna hijau dari daun mint kecil makin menyegarkan mata.

Dista meletakkan empat potong pastry itu di atas sebuah piring putih persegi dengan posisi berbaris diagonal. Taburan gula bubuk makin menambah kesan manis. Dia memfokuskan lensanya pada kue paling depan, dan menghasilkan efek bokeh. Chef Hadi mengatakan obyek manis itu diberi nama vanilla cream puff pastry. Ya, sesuai dengan namanya, aroma vanila memang sangat kuat dan mengundang.

Dista terus melanjutkan sesi foto pada kue-kue berikutnya. Di menu keenam, dia meminta Chef Hadi untuk ikut dalam obyek fotonya. Bertepatan dengan itu, Kay muncul dengan heboh, tapi entah mengapa tiba-tiba terhenti saat Chef Hadi menoleh.

“Hai, Chef. Cuma mau ngecek progress pemotretan,” kata Kay diiringi senyum aneh. Aura canggung terlihat jelas.

“Eh, Kay, kebetulan lo datang.” Dista menarik Kay agar berdiri di sebelahnya. Dia menyingkirkan tripod ke sisi sebelah kiri di belakang lampu. Kay tampak senang.

Lihat selengkapnya