Harusnya cinta serapuh embun, ‘kan? Mentari datang, tetes bening tersebut hilang, tak tersisa entah ke mana. Bukan malah seperti kaktus, berdiri kokoh walau tanpa siraman (cinta), pupuk (kasih sayang) dan rawatan (perhatian).
Astaga! Sudah berapa tahun, sih, Airin lulus SMA dan tidak saling bertemu dengan lelaki yang kembali menganggu kinerja otaknya ini? Bukankah seharusnya waktu bisa menjadi obat segala hal? Termasuk menimalisir perasaan?
Airin meletakkan kembali ponsel setelah berulang kali membaca percakapan Dista dan Aldric di chat grup. Dia ingin ikut nimbrung, tentu saja, tapi ada hal yang membuatnya urung melanjutkan ketikan, lantas berakhir kembali menghapus pesan.
“Tidak pulang, Bu Ririn?” Sapaan Bu Amanda sukses mengalihkan fokus Airin. Teman yang mengajar khusus anak berusia 4 - 5 tahun—kelas A—tersebut, terlihat siap meninggalkan sekolah. Ransel berisikan laptop tampak berat menumpu di pundaknya, serta helm sudah terpasang di kepala. Tidak lupa, masker kain berwarna senada dengan seragam yang dia gunakan, menutupi bagian hidung dan mulut dengan sempurna. Ngomong-ngomong, di lingkungan sekolah, wanita berusia 29 tahun itu terkenal dengan ‘Ibu Masker’ karena Amanda yang selalu mengganti benda pelindung hidung dari debu dan lain-lain itu, senada dengan warna baju yang dia kenakan.
“Ah, ya. Ini juga mau siap-siap, Bu.”
“Oke. Duluan, ya. See you.”
Airin membalas dengan anggukan. Setapak kaki Amanda melewati pintu ruangan kelasnya, Airin bergegas memasukkan ponsel ke dalam ransel, merapikan berkas-berkas administrasi kelas di map plastik biru bertuliskan ‘RPPH dan Penilaian Kelas B’. Dia sempat lupa harus ke pusat perbelanjaan sebelum pulang.
Belum sampai raganya ke tempat tujuan, otak Airin sudah bekerja keras, menghitung jumlah maksimal uang yang harus dia keluarkan. Puluhan kendaraan lain melaju melewatinya yang konsisten membawa motor dengan kecepatan rendah. Mentari pukul tiga sore masih ampuh membuat Airin memilih menutup kaca helm karena panas yang menampar permukaan wajah.
Pendingin ruangan begitu kontras dengan cuaca di luar. Dibenarkannya ujung jilbab yang terbang pelan ditiup angin AC, lantas bergegas ke lantai dua.
Terhadap diri sendiri, Airin bukan tipe perhitungan atau pelit. Setiap bulan, dia selalu menyisihkan uang untuk keperluan membeli pakaian. Tidak terlalu mahal memang, tapi tetap membuatnya tidak ketinggalan mode. Namun, sekarang beda kasus. Memutuskan pergi ke pernikahan anak Pak Bimo yang diadakan di salah satu hotel ternama di Jakarta, tentu harus menyesuaikan kostum. Tidak ada peraturan untuk dress code, tapi tetap saja Airin harus tahu diri!
Langkah Airin berhenti pada gaun panjang berwarna tosca. Sederhana, tapi diperindah oleh payet di seluruh bagian baju. Ada pita yang dijahit menyatu di bagian pinggang.
Untung embusan napas kala dia melihat harga yang tertera di baju tidak terdengar oleh pengunjung lain. Airin melirik sekilas orang-orang yang berada di stand butik tersebut. Tidak lebih dari empat orang termasuk dirinya, dan masing-masing sibuk dengan perihal diri sendiri.
Cicilan rumah sudah dia bayar pekan lalu. Kebutuhan untuk satu bulan juga sudah dia sisihkan. Jangan tanya perihal uang untuk Ibu, Airin selalu memprioritaskan hal tersebut di poin pertama. Dia juga selalu bisa menabung setiap bulan walau tidak banyak. Tidak ada yang bisa menjamin segala hal baik-baik saja, keperluan tak terduga bisa datang kapan saja. Sedia payung sebelum hujan. Seperti sekarang contohnya.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” sapa karyawan wanita dengan senyum semringah. Walaupun sudah sore, dandanannya masih terlihat fresh. Rambut yang disanggul begitu serasi dengan wajah oval putih merona. Mungkin wanita ini akan lolos seleksi jika mengikuti ajang iklan produk kosmetik, pikir Airin.
“Saya mau coba yang ini,” tunjuk Airin pada gaun yang sedari tadi dia perhatikan detailnya.
Wanita yang kalah tinggi sekitar lima senti dari dirinya itu cekatan melepas baju dari manekin, lantas menyerahkannya dengan tetap membawa senyum ramah. “Salah satu produk best seller kami, Mbak. Tapi tenang, baju-baju di sini hanya diproduksi 9 item setiap modelnya. Jadi, kemungkinan bertemu dengan orang sama yang mengenakannya sangat tipis.”
Khas penjual, selalu memuji produk jualannya.
Airin menjawab dengan ikut tersenyum, lantas beranjak ke kamar ganti.
Ada harga memang selalu ada rupa. Gaun tersebut begitu lembut menyentuh kulit, tidak bikin gerah walau didesain lebar bermeter-meter di bagian bawah. Entah bahan apa yang digunakan, Airin tidak banyak tahu perihal tersebut, yang jelas, baju ini memang sebanding dengan uang yang dikeluarkan. Saat Airin bergerak pelan untuk melihat sisi bagian belakang, dengan pelan juga gaun tersebut mengikuti gerakannya, jatuh pas menyentuh mata kaki.
“Jika butuh saran, saya bisa masuk, Mbak.” Pegawai wanita tersebut mengatakannya dengan suara pelan.
Airin langsung membuka pintu kamar ganti. Tentu pendapat orang lain penting dalam beberapa hal, ‘kan?
“Cantik banget, Mbak. Mungkin cuma kebesaran satu angka. Kita punya size yang lebih kecil, kok. Hanya beda warna.”
Untuk alasan ini Airin menggeleng. Ditubuhnya, gaun ini memang sedikit longgar di bagian pinggang ke atas, tapi jelas itu memang yang diinginkannya agar tidak begitu melihatkan lekuk tubuh. Terpenting panjangnya pas.