Adam and His Frustration

Hendra Wiguna
Chapter #3

counseling

Paman Peter membawa Adam dan ibunya pergi dengan menggunakan mobil miliknya. Adam terduduk di belakang memandang keluar, ia tampak pendiam sekarang.

Ini sudah kali ketiga ia harus menemui Tuan Tom, sang dokter psikiater anak, setelah dua pertemuan sebelumnya Adam mengalami progres yang signifikan. Ia tidak berteriak lagi, tidak menunjukan emosinya lagi, dan jarang merusak benda-benda lagi ketika kesal. Akan tetapi, sejak kejadian tiga Minggu lalu, ia tidak pernah lagi berbicara pada ibu dan saudaranya. Ia hanya berbicara pada Paman Peter.

"Apa kau sudah mengajaknya bicara?" tanya pria berambut rapi berwarna hitam itu–dokter psikiater yang menangani Adam.

"Sudah, Dok. Aku sudah melakukannya. Tapi ia belum mau berbicara padaku." Laura menahan napas, seperti ingin pergi dan mengambil sebatang rokok untuk diisapnya. Seolah sudah menduga pertanyaan itu ... lagi.

Pria itu tampak mengernyitkan dahi.

"Aku tahu, Dok. Ini semua salahku. Aku tak bisa mendidiknya dengan benar," ujarnya. "Aku tidak tahu darimana kekesalannya itu datang. Aku memang keras padanya. Ya, aku akui itu. Dokter tahu, Danny dan aku mungkin terlalu mengabaikan perasaannya."

"Bagaimana dengan William?" tanya dokter

"William? Maaf, aku tidak mengerti apa maksudmu, Dokter."

"Kamu tidak tahu apa yang diperbuat Adam pada William?" tanya Tuan Tom. Laura seketika mengernyitkan dahi. Tak mengerti.

Ada hal yang tak diketahui Laura tentang anaknya. Adam sangat membenci adiknya itu. Darimana pun asal kekesalannya itu, Adam selalu melampiaskannya pada William. Mungkin memang benar, bahwa ibunya sering membuatnya kesal karena tidak pernah membelikan barang sesuai keinginannya. Juga Danny, ia selalu mengerjai adiknya itu. Mereka tidak tahu bahwa Adam memendam perasaan itu. Ia menangis sendirian. Ia tidak tahu harus berbuat apa, hingga melampiaskannya pada benda-benda dengan merusaknya, ada rasa puas dan lega saat melakukannya, dan saat ia tidak puas dengan itu, ia akan mencari William, dan melampiaskan semua kekesalan padanya. Setidaknya itu yang diceritakan Adam pada Tuan Tom, dokter psikiaternya.

Laura keluar dari ruang pertemuan, meninggalkan Adam dan Tuan Tom berdua. Ia tampak termenung saat keluar dari sana.

Lihat selengkapnya