Jemari lentik berkeriput itu menuangkan sebotol bir ke dalam gelas, sementara bibirnya kuat mengisap rokok yang tersemat di jemari lainnya. Kemudian disemburkannya asap dari mulut ke langit-langit hingga memenuhi ruangan. Kemudian matanya menerawang jauh ke luar jendela yang tampak Sepi. Sesuatu berkeliaran di pikiran Laura, seolah dia baru saja menyadari, bahwa mungkin, dirinya tidak akan pernah lagi bertemu dengan anaknya.
Sehari setelah Adam pindah ke rumah pamannya, Laura sama sekali tidak tampak bersedih. Meskipun begitu, jauh di dalam lubuk hati, dirinya sangat merasa kehilangan.
Sepatu robek milik Adam yang masih teronggok di sudut ruang membuat perhatiannya teralihkan. Sesuatu kembali mengusik pikirannya. Napasnya tertahan sekian detik sambil menggigit bibir, lalu perempuan itu berdiri lalu berjalan dan sempat berhenti untuk mengambil satu botol bir beserta gelasnya, kemudian pergi.
"Apa kau lihat apa yang terjadi padaku, Sam?" ujar Laura saat tiba di kamarnya. Botol dan gelas itu ia simpan di atas meja lalu duduk di atas ranjang menghadap ke arah lemari di mana pigura foto mendiang suaminya terpasang. "Andai kau masih ada, mungkin tidak akan begini jadinya," tambahnya.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, selepas kepergian Samuel, perempuan pecandu alkohol itu selalu duduk di sana, mencoba berbincang dengan satu-satunya orang yang dicintai. Mencurahkan isi hatinya ditemani dua botol bir kesukaan sampai terlelap tak sadarkan diri.
Meskipun apa yang diceritakan setiap malamnya selalu sama; tentang teganya dia meninggalkan dirinya bersama dua orang anak; tentang hutang yang dia tinggalkan; tentang betapa dirinya harus bekerja keras; tentang penyakit yang dideritanya.
"Kau tahu, adikmu, Peter, dia sudah mengambil Adam dariku. Dia sedang mengupayakan hak asuh Adam untuknya," ucapnya, setengah sadar. "Aku tidak akan punya siapa-siapa lagi." Dalam keadaan mabuk, dia masih dapat menertawakan hidupnya.
Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang terpajang di dinding kamar ketika sedang menenggak minuman keras itu. Tiga buah pigura berisikan potongan-potongan puzlle, yang sudah tersusun sempurna, membuat dirinya ingat masa lalu.
"Apa kau masih ingat, Sam? Kau pernah berkata kalau kehidupan ini seperti puzzle," ujarnya. "Katamu, kau harus menyusun satu demi satu dengan sabar kepingan kehidupan agar tersusun dengan baik. Dan kau tidak pernah memperbolehkan aku untuk membantumu, karena katamu, aku tak pandai menyusunnya." Laura kembali tertawa kecil. "Kau benar, aku memang tidak pernah pandai menyusun kehidupanku dengan baik ... karena itu, Sam, kenapa kau meninggalkan aku!" teriaknya yang disusul jatuhnya gelas karena tersenggol. Laura menatap pecahan-pecahan gelas yang berserakan di lantai itu dengan enteng karena penglihatannya sudah terlalu buram. "Kau tahu, mungkin aku akan merebut hak asuh Adam kembali. Agar kepingan puzzle itu bisa tersusun lagi."
Sesaat setelah mengatakan itu, wanita yang sudah mabuk berat itu ambruk di ranjangnya. Meski sesekali celotehan itu terdengar, tetapi ia tak kuasa lagi menahan alkohol yang sudah menggerogoti kesadarannya.