Di ruangan kantor, Laura berdiri menghadap meja Tuan Jhonny, sang pemilik restoran sekaligus pengelola. Wajahnya masih terlihat kesal, tetapi Laura tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memainkan ujung apron dengan jemarinya.
"Aku benci pelayan wanita yang berambut cokelat; mulutnya bau rokok; bau rokok; dia ramah, tapi kerjanya enggak becus, Bagaimana bisa ia menumpahkan kopi ke baju suamiku! Harusnya dia dipecat!" Tuan Jhonny melirik sinis pada Laura setelah membacakan satu kertas surat aduan pelanggan. Kemudian menjatuhkannya di atas meja bersama tumpukan puluhan kertas aduan lainnya. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Tuan Jhonny sinis.
"Maaf, aku tidak akan mengulanginya ... lagi," ucap Laura. Ia sadar akan kesalahannya.
"Kau tahu, wanita yang kau maki-maki tadi? Dia bisa saja melaporkanmu atas tindakan penyerangan? Dan kau bisa saja dipenjara karenanya."
"Sekali lagi, maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi, Tuan."
"Kau beruntung karena selama tiga bulan ini kau bekerja tanpa cuti. Aku tahu kau butuh uang ekstra untuk biaya anakmu ke psikiater. Mungkin, aku tak akan memecatmu ... untuk sekarang."
"Terima kasih, Tuan."
Tuan Jhonny mendengkus kecil menatap Laura yang tampak kasihan. "Kalau bukan karena suamimu, aku tidak akan pernah memperkerjakan kamu di sini. Aku penasaran, bagaimana kamu akan melunasi hutang-hutang suamimu yang jumlahnya tidak sedikit itu ke Bank," ucapnya. "Kau tahu, kenapa kau tidak menyatakan diri bangkrut saja, agar kau tak perlu membayar semua itu?"
Laura terdiam sejenak. "Lalu mereka akan menyita rumahku dan menjadikanku gelandangan? Tentu saja aku tidak mau."
"Dan kau tak perlu berusaha mendapatkan hak asuh anakmu kembali. Bukankah dia sudah bahagia bersama keluarga dari adik suamimu. Peter."
"Tidak. Tidak, Tuan. Aku akan tetap berusaha mengambil hak asuh anakku kembali."
"Hah. Terserah katamu saja, Laura. Apa kau tahu, suamimu itu juga banyak berhutang padaku, dan itu juga tidak sedikit, tetapi aku memilih untuk menganggapnya lunas. Aku tahu, sebenarnya itu salah suamimu dan aku tidak yakin dengan dirimu bekerja sebagai pramusaji di restoranku, apa bisa melunasinya?"
"Aku tahu. Itu hampir tidak mungkin. Akan tetapi, aku akan berusaha mendapatkannya."
"Ah, sudahlah. Aku tidak ingin mendengar lagi omong kosongmu. Sekarang silakan kamu boleh keluar dari ruanganku."
Laura tampak ingin sekali membantahnya, tetapi tidak kuasa. Dia memilih menuruti perintahnya untuk pergi. "Terima kasih, Tuan." Wanita berambut ikal itu pun beranjak dari hadapannya.
Namun, saat Laura hampir di depan pintu, Tuan Jonny kembali berkata, "Laura, jika kau sungguh-sungguh sayang pada anakmu itu, berhentilah minum, berhentilah mengonsumsi obat-obatan terlarang itu, aku tahu kau masih memakainya."
Laura sedikit tercengang. Entah dari mana pria itu tahu. Ia tak berkutik lagi dan hanya bisa mengucapkan terima kasih lagi sebelum ia membuka pintu dan keluar dari ruangan itu.