Ketika Laura sedang terduduk di depan meja dengan dua botol bir, terdengar suara langkah mengentak dari arah kamar menuju pintu rumah. Lelaki remaja berjaket hitam muncul di balik tembok, melangkah menuju lemari es dan membukanya. Dahinya terkernyit saat tahu di dalam sana tak ada apa-apa. Kesal. Lelaki itu membanting pintu itu dengan kasar, lalu melangkah pergi keluar rumah.
"Danny, mau ke mana kamu!?" Teriak Laura.
Namun, Danny tidak menghiraukan panggilan itu dan terus berjalan menuju pintu. Dan ketika Laura berteriak untuk kedua kalinya, lelaki remaja itu sudah jauh meninggalkan rumah.
Wanita yang sudah setengah mabuk itu melihat anak sulungnya melalui jendela sedang memakai tudung kepala dari sweater Hoodie yang dipakainya. Danny berjalan menjauh dari halaman rumah, melangkah pergi menelusuri jalanan yang gelap. Raut wajah Laura kerung, ia teringat kata-kata wanita di restoran tadi sore.
Laura melihat dirinya sendiri dari pantulan cermin lemari dapur yang samar, tengah duduk dengan dua botol bir di meja. Pikiran tentang siapa dan kenapa dirinya bisa seperti sekarang muncul dan berkembang menjadi potongan-potongan kilas balik dirinya saat masih bersama suaminya. Kesedihan tampak jelas dari air mukanya yang kusut. Dia meneguk satu gelas bir sampai habis, kemudian beranjak dari mejanya.
Dengan tangan masih mengapit sebatang rokok, Laura berdiri di depan ranjang milik Adam dahulu. Sepasang sepatu yang robek masih teronggok di bawahnya. Dia ingat saat Adam merengek minta sepatu itu digantikan dengan yang baru, tetapi dirinya belum sempat membelikannya, dan malah menyuruh Adam memakai bekas dari saudaranya, Danny.
Dia menghela nafas berat, kemudian beranjak duduk di ranjang milik anaknya itu. Dia sedang ingin mengenang masa-masa itu, masa di mana Adam masih kecil.
Laura mengerti dan mengakui bahwa dirinya jarang memperhatikan kedua anaknya, selain karena kecanduannya pada obat-obatan ketika dahulu, juga karena ia depresi karena kehilangan orang yang sangat dicintainya. Akan tetapi, jauh di lubuk hati, dirinya sangat menyayangi anak-anaknya. Walau bagaimanapun, ia adalah ibunya.
Laura menyadari kalau dirinya punya temperamental tinggi. Dia akan marah-marah jika Adam atau pun Danny melakukan kesalahan, walaupun itu kesalahan kecil. Mungkin karena itu juga, anak-anaknya, terutama Danny, kini punya sifat mirip dengan dirinya.
Terkadang batinnya bertanya-tanya, apa yang harus dilakukannya agar keadaan berubah? Apa benar dengan berhenti merokok, minum, dan mengonsumsi obat-obatan akan mengubah keadaan? Untuk melakukan seperti apa yang disarankan Peter atau dokter psikiater anaknya itu, ia terlalu skeptis. Akan tetapi dia tahu kalau hal yang menurutnya tidak mungkin itu harus dicobanya.
Dahinya mengerut, bibirnya yang menghitam dan pucat bergetar. Dirinya kesal sekaligus sedih. Lalu dia meremas ujung rokok yang menyala itu ke tepian ranjang. Hingga, tanpa sengaja, ujung jari itu menyentuh satu buah kertas yang terselip di tepi ranjang. Karena penasaran dengan benda itu, Ia pun memungutnya.