Di dalam kamarnya, Adam sedang berusaha mengikat tali sepatunya. Sepatu yang dibelikan Laura sebagai hadiah Natal tahun lalu itu terlihat pas di kaki Adam. Namun, entah kenapa, sepertinya Adam begitu kesulitan setiap kali memakainya.
“Adam, ayo cepat, bismu akan segera datang!" Laura berdiri di depan jendela memanggil anaknya itu untuk segera berangkat sekolah.
“Iya, Mom." Adam yang masih berusaha mengikat sepatu berteriak.
Laura mengambil tas dan masuk ke kamar Adam. “Apa kau butuh bantuan untuk mengikat tali sepatu itu?” tanya Laura begitu tiba di hadapan Adam yang masih tampak kesulitan.
“Tidak, Mom. Aku sudah sebelas tahun! Aku bisa mengikatnya sendiri! Aku tidak butuh bantuanmu," jawab adam. “Adam sudah besar. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, Mom.”
“Oh, baiklah.”
Laura melipat tangan di dada lalu tersenyum mendengar jawaban anaknya itu. Ia jadi teringat ketika Adam meminta sepatu kepadanya tapi tak ia berikan. Dirinya senang karena sudah bisa membelikan sepatu itu.
Akan tetapi, Laura mengernyit ketika melihat Adam masih berkutat dengan tali itu. “Apa kau benar-benar tidak butuh bantuanku, Adam?”
“Mom!?” Adam mengangkat wajahnya yang kesal.
“Oke, oke, Adam.” Laura menyunggingkan senyum. “Oke mommy pergi dulu. Jangan lupa bekal makan siangnya di bawa.”
“Mom!” Sekali lagi Adam berteriak. Laura pun pergi.
Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, langkahnya terhenti saat melihat sebuah kue tart, yang merupakan kue ulang tahun Adam, masih utuh di atas meja belajarnya di samping ranjang. Laura menghela napas berat lalu mulai melangkah kembali.
Laura memutuskan untuk menunggu Adam di luar rumah. Saat di halaman rumah, matanya mengedar ke sudut-sudut halaman rumah. Waktu tidak terasa baginya. Meskipun memang berat hidup yang harus dilewati, tetapi ia bersyukur karena keadaan terasa lebih baik sekarang.
Laura menyunggingkan senyum. Lalu ia melangkah turun dari teras dan berjalan menelusuri jalan setapak. Setelah dirasa agak jauh, kemudian Laura berbalik dan memandangi rumah semi kontainernya dengan rasa puas. Laura tersenyum.
Masih lekat dalam ingatan, saat suaminya memberikan kejutan untuknya. Hari itu Samuel berkata, "Akhirnya kita bisa membangun keluarga kecil kita di rumah ini." Walaupun hanya sebuah bangunan rumah semikontainer, Laura menangis bahagia ketika diperlihatkan rumah untuknya. Bangunan bertembok kayu dengan warna cokelat itu masih terlihat kokoh. Laura melipat tangan di dada. Senyumnya semakin lebar.
Namun, senyum itu pudar ketika melihat sepeda yang tergeletak di tanah, Ia pun menghampiri dan menemukan sepeda itu rusak parah; roda kendaraan itu robek disertai ban karet menyembul dari dalam benda itu.
“Ayo, Mom. Bus sekolah sudah hampir datang," ujar Adam yang baru saja keluar dari dalam rumah.
“Adam, ada apa dengan roda sepeda ini?” tanya Laura.