Siang itu di sekolah, Martin beserta gengnya menertawakan sesuatu tentang Adam yang sedang berjalan di antara anak-anak lainnya menuju meja paling ujung di sudut ruangan dengan kotak makan siang di tangannya. Namun, dia abaikan dan terus melangkah, menghampiri Harry.
Suasana ruang kantin saat itu cukup riuh dengan obrolan anak-anak yang sangat ramai. Sekolah Dasar yang berada di pinggiran kota Philadelphia itu sebenarnya bisa dikatakan tidak terlalu besar menjadikan ruangan terlihat ramai dan sempit.
Tampak sekali perbedaan antara meja di depan pintu yang dekat dengan jendela hinga bisa melihat pemandangan keluar, diisi oleh anak-anak berpakaian necis dengan kotak makan siang yang mewah. Sedangkan di tengah, anak-anak perundung seperti gengnya Martin duduk. Sementara itu, hanya ada satu meja makan di belakang dekat dengan toilet yang biasa ditempati Adam.
Dahulu, Adam mempunyai teman yang biasa menemaninya. Akan tetapi, entah kenapa anak itu menjauh darinya. Mungkin karena kabar yang santer beredar kalau Adam pernah masuk rumah sakit jiwa anak. Sehingga, bukan hanya temannya yang menjauh, melainkan semua anak di kelasnya. Beruntung, kini ada Harry yang mau menjadi temannya.
"Halo, Adam," sapa Harry setelah sahabatnya itu duduk di hadapannya. Akan tetapi, Adam tak menjawab. Sepertinya dia masih kecewa karena kejadian semalam.
"Kenapa kau tidak datang? Bukankah kau sudah berjanji?"
"Ibuku, Adam. Ibuku tidak mengijinkan aku pergi."
"Kenapa?"
"Itu karena...." Harry menunduk melihat makanannya.
"Ah sudahlah, aku tidak ingin membahasnya. Lupakan saja. Lagipula, siapa yang mau pergi ke rumah anak sepertiku, kan?"
Harry mengangkat wajahnya kembali dan melihat serius kawannya itu. "Adam ... aku sudah minta maaf." Suara Harry memelan. Dia memasang wajah muram. Sedangkan Adam menatapnya sambil terus mengunyah makan siangnya.
"Oke, Baiklah," sahut Adam datar. "Aku memaafkanmu," ucap Adam.
"Benarkah?" tanya Harry yang langsung memperlihatkan gigi putihnya pada Adam. Hal itu membuat Adam tersenyum. Harry adalah sahabat Adam satu-satunya. Mungkin karena ia tak ingin kehilangannya, maka dia memaafkannya. Tak ada lagi teman yang bisa diajak bermain, seperti kemarin, saat berkunjung ke Boom Play Zone.
"Kau tahu, Adam. Ibuku marah soal ban sepeda itu," ucap Harry tiba-tiba.
Adam mengangguk. "Ibuku juga. Dia menyuruh saudaraku, Danny, untuk memperbaikinya."
"Kata ayahku, itu seharusnya diganti, bukan diperbaiki. Kenapa ibumu tak suruh saudaramu membeli ban sepeda saja dan menggantinya di rumah, seperti yang ayahku lakukan," saran Harry.