Cahaya matahari yang menembus sela-sela pohon oak menemani Danny berjalan sambil membawa sebuah roda pengganti di tangan kanannya. Dia baru saja kembali dari toko spare part Paman Martin di ujung jalan sejauh tujuh blok dari blok rumah terakhir, yang bukan rumahnya. Sebab lelaki remaja itu masih harus berjalan jauh dari blok terakhir itu menembus lahan terbengkalai agar sampai di rumah.
Danny lempar begitu saja roda itu di dekat sepeda rusak milik adiknya. Napasnya berembus kasar. Dia masuk ke dalam rumah, entah akan melakukan apa, kemudian keluar lagi dalam waktu yang tidak lama. Sepeda itu dia angkat dan seret agak ke depan halaman dan langsung memasangkan roda.
Tangan Danny begitu cekatan memutar mur mengunakan obeng, memasang roda dan rantai. Pekerjaan gampang bagi remaja enam belas tahun itu, sangat dasar sekali. Mungkin juga ibunya pun mampu. Hanya saja tak ada lagi yang bisa diandalkan adiknya selain dirinya. Walaupun dulu Danny sering mengerjainya
Begitu selesai, dia terduduk di tanah berumput jarang, di hadapan sepeda itu. Dipandanginya kemudian lekat-lekat. Pikirannya melayang pada sosok ayahnya. Bukan pada kematiannya. Tetapi pada masa saat dirinya masih bisa bermain bersama ayahnya, masa di mana dia belum sempat meminta kendaraan beroda dua itu.
Danny masih berusia enam tahun saat ayahnya meninggal. Sejak saat itu dia dan adiknya terabaikan, tak terurus oleh ibunya yang mulai kembali mencandui obat-obatan terlarang dan alkohol karena depresi juga frustrasi. Danny membencinya dan selalu melampiaskan kebenciannya dengan menjadi anak yang nakal.
Dia tumbuh di lingkungan yang mendukungnya mengenal alkohol dan obat-obatan terlarang, yang membuatnya menjadi remaja berandalan. Ketika usianya 13 tahun dia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan hidup di jalanan. Laura tak begitu peduli dan larut pada barang-barang haramnya. Walapun sudah setahun ini hal itu sudah ditinggalkan Laura.
Sebenarnya, Danny tidak membenci adiknya itu, namun ia tidak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang mengajarinya cara menyayangi. Namun, dia berusaha untuk bertanggung jawab pada adiknya, walau terkadang caranya salah. Laura, ibunya, tak berkspektasi tinggi padanya, apalagi sampai harus mengganti sosok ayah padanya untuk Adam.
Remaja bertubuh tinggi kurus itu bangkit, menyudahi pekerjaannya. Sempat ia melihat ke ujung jalan, berharap ibunya sudah pulang untuk istirahat kerjanya, dan akan memasak untuknya yang sudal lapar. Namun, wanita itu belum terlihat sama sekali.
Danny masuk ke dalam rumah dengan membawa kotak peralatan tadi dan akan menyimpannya di kamar ibunya. Akan tetapi pintu kamar itu tekunci.
"Sial!" ucapnya sambil menendang pintu. "Kenapa dia selalu menguncinya!"
Danny menggeleng. Kemudian dia duduk di meja dapur setelah menyimpan kotak itu di meja. Ia sangat lapar sebab dari pagi belum makan sama sekali. Matanya melirik lemari es dan tanpa pikir panjang langsung menghampiri tempat penyimpanan makanan itu. Ada beberapa bahan yang bisa dimasak sebenarnya, hanya saja dia tak pandai memasak. Napasnya mengembus berat lalu menutup kembali dan duduk di meja dapur. Menunggu ibunya datang.
Dia melirik kembali pintu kamar ibunya. Dahinya mengernyit, seakan merasa aneh dengan apa yang dilihatnya. Kenapa pintu itu selalu terkunci? Walaupun sebenarnya Danny pernah melihat keadaan kamar ibunya itu, yang terdapat banyak sekali kenangan bersama ayahnya, tetapi dia mulai mencurigai bahwa mungkin saja di dalam sana ada yang disembunyikan ibunya. Obat-obatan?
Danny mendelik dan mulai menghampiri pintu. Jiwa nakalnya menggelora. Dia ingin membuka pintu itu. Dengan bekal obeng dan kawat dari dalam kotak, dia mulai mencongkel lubang pintu itu.
Dahulu, dia pernah melakukannya saat mencuri di sebuah toko bersama teman-temannya dan itu berhasil. Dan kali ini, setelah beberapa saat mencoba, Danny juga berhasil membobolnya. Lelaki remaja itu tersenyum puas.
Beberapa buah bingkai poto ayahnya terpasang di dinding, tepat di setiap bagian bawahnya bingkai-bingkai puzzle yang pernah ayahnya susun dahulu. Dia ingat ayahnya sering menyusun puzzle-puzzle itu saat dirinya kecil. Bibir itu tersenyum.