Entah sudah berapa lama lelaki remaja berambut cokelat sebahu nan kumal itu terduduk di sebuah reruntuhan dinding bekas bangunan sambil merokok menghadap area hutan tak jauh dari sana. Sudah banyak batang puntung rokok bececer di tanah. Tampaknya Danny masih memikirkan apa yang dilihatnya tadi siang di kamar ibunya. Dia melamun sendirian. Hingga sepasang remaja datang menghampiri. Itu Jacob dan pacarnya, Nelly.
"Danny? Ha-ha, tumben sekali kau ada di sini?" Jacob meninju bahu Danny dan duduk di sampingnya. "Bukankah seharusnya kau jaga adikmu sampai ibumu pulang nanti malam?" lanjutnya bertanya dengan maksud mengejek.
Danny tak menjawab. Terdengar suara kekehan dari perempuan dengan anting di hidungnya itu, saat ia beranjak menyenderkan punggung sambil mengangkat kedua tangannya untuk menyangga tubuh pada dinding yang Danny duduki tepat di sampingnya. Danny tahu tawa kecil itu ditujukan untuknya. Dua sahabatnya itu sedang mencelanya. Namun, lelaki itu menghiraukan.
"Apa kabar adikmu?" Nelly bertanya setelah seringai itu pudar karena melihat Danny hanya terdiam. Kali ini Danny merespon. Dia melirik perempuan berambut hitam dengan bandana di kepalanya, hanya itu. Masih belum ada kata yang terucap dari mulut Danny. Hal itu membuat Nelly sedikit heran. "Kenapa kau?" tanya perempuan itu lagi.
"Yeah. Ada apa, Bro?" Jacob yang duduk di sampingnya dengan arah yang bersebrangan ikut bertanya.
"Adikku dirundung. Aku baru mengetahui bahwa teman-teman di sekolahannya banyak yang mengganggunya."
"Oh ya?" tanya Jacob. "Apa yang mereka lakukan pada adikmu?"
"Mereka merusak ban sepeda adikku. Ibuku menyuruhku memperbaikinya. Ibuku menceritakan bahwa yang merusaknya adalah teman sekelasnya waktu di Boom Play Zone, area bermain itu."
Meskipun heran, tetapi bukan kernyit yang terpasang di wajahnya, melainkan seringai di bibirnya. "Apa kau akan menghajar anak-anak yang mengganggu adikmu?"
"Tidak!" jawab Danny. "Mereka hanya anak-anak. Bukankah dulu kita juga sering mengganggu anak lain sewaktu masih bocah?"
"Ha-ha. Iya. Bagaimana kabar si kurus Toni sekarang? Apa masih ada di kota ini?" Jacob bertanya tentang anak yang sering diganggunya sewaktu SD dahulu.
"Hei. Dia pindah ke Michigan setelah kau menjatuhkannya ke dalam selokan. Aku ingat dia menangis sambil pulang ke rumahnya." Pacarnya menjawab. "Dan setelah itu kakak perempuannya membalasmu. Dia menghajarmu sampai babak belur. Ha-ha-ha."
"Aku masih kecil. Jelas aku kalah melawan orang dewasa meskipun dia perempuan."
"Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa kau suka mengganggu Toni waktu itu." Nelly melirik pada pacarnya. "Apa karena dia bertingkah seperti perempuan?"
"Yeah. Aku benci anak laki-laki yang bertingkah seperti perempuan. Anak penyakitan seperti dia memang pantas dihajar!" jawab Jacob dengan bangga.
"Termasuk anak dengan gangguan jiwa?" tanya Danny tanpa melirik pada temannya itu.
"Yeah, ha-ha-ha," jawab Jacob. Namun, tawanya memudar ketika mengetahui apa yang dimaksud Danny dalam pertanyaannya tadi. "Maaf," ucapnya kemudian. "Aku tahu, tak seharusnya Toni mendapatkan itu ... adikmu juga," ujar Jacob.
Sementara itu Nelly hanya bisa menahan tawa ketika sahabat dan pacarnya bertingkah konyol. Sejenak hening. Tak ada pembicaraan antara mereka. Hingga satu-satunya perempuan yang kini sudah ada dalam dekapan pacarnya mengutarakan sesuatu.
"Aku benci menjadi kakak. Kau tahu. Ibuku punya anak lagi dari pria brengsek itu lagi setelah dua anak perempuan yang menyebalkan dan selalu membuatku ingin menghajar mereka."
"Ha-ha. Pandai sekali ayah tirimu membuat anak," ejek Jacob.