Posisi matahari kala pertengahan siang bagaikan lampion bundar yang sangat benderang di plafon ruangan yang mega besar. Suara-suara azan Zuhur juga sudah diperdengarkan. Lihatlah, begitu banyak orang yang hilir mudik setiap hari di jalan depan pertokoan dengan semangat berkibar. Hampir semua sibuk mencari uang guna terpenuhinya libido kehidupan.
Benarkah roda zaman telah mengatur manusia sedemikian, sampai-sampai peran kehidupan seseorang tak pernah luput dari perihal uang? Entahlah....
Semenjak tadi, Lina membaca novel horor sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaannya dengan headset. Namun seketika ia menutup seluruh lembaran buku, dan mematikan laju musik yang masih mengalun di telinga.
Ia pun mengembuskan napas panjang.
Perasaan gamang yang seringkali ia rasakan di dalam hati tengah naik ke alam pikiran. Rasanya seperti saat seseorang merindukan sesuatu, namun tidak tahu merindukan apa. Merasa takut akan sesuatu, tetapi tak paham apa ditakutkan. Mencintai sesuatu, tapi tidak tahu apa yang dicintai. Berjalan di suatu alam yang maha luas, terus dan terus melangkah tanpa mengerti ke mana arah atau pun tujuan. Merasakan hampa walau lautan manusia berada di sekitarnya.
Siapa bilang jika kebahagiaan seseorang hanya dapat diukur dengan materi dan kehidupan yang seakan sempurna? Ketika rasa itu datang, Lina sendiri merasakan kekosongan yang membuat dadanya sesak, biarpun ia berada dalam ruangan yang putih, bersih, sejuk, serta bersama dengan para pengunjung yang tengah berbincang ringan.
Tuhan. Aku mengerti, jika Engkau sedang bangun dan melihatku untuk sekejap waktu. Batin Lina berkata.
Seorang laki-laki menghampiri, kemudian menepuk pundaknya dari belakang.
"Cantiiiik ... boleh yaa, gue nongkrong sini."
Akunzi Yoseff —27 Tahun— merupakan pelanggan setia Caroline Coffe. Semenjak pagi ia sudah datang. Ia seringkali memilih tempat bersantai di luar ruangan, di ujung deretan meja outdoor. Mungkin karena melihat pemilik cafe favoritnya itu ia masuk dan ingin berbincang-bincang.
"Heiii," Lina menengok, "Tumben lo, Yosep, baru datang," ucapnya. Sosok perlente berkulit putih halus dengan sikap dan gaya bicara ngondek itu langsung bermuka masam.
"Gue udah bilang sama lo, Bu Linaa, panggil gue Enzi," ujarnya, dan berlekas duduk di salah satu meja.
"Hahaha, ngambekan lo, ah, orangnya," seru gadis berleher jenjang itu. Yosef pun berpaling dengan wajah jutek. Ponsel Lina yang diletakkan di atas meja kemudian bergetar panggilan masuk.
"Iya."
"Lina. Lo beneran bersedia, kan?"
Terdengar suara dari ponsel yang sudah terhubung. Lina langsung menjawab dengan suara lembut.
"Lo gimana sih, Rin. Gue kan udah bilang, iya, tapi lo kok malahan nanya lagi?"
Jadi, beberapa hari lalu, teman kuliah Lina yang bernama Rindu meminta waktu untuk dapat bertemu. Lantas siang inilah waktu yang ditentukan. Sebelumnya, Rindu juga menyampaikan, jika ada seorang laki-laki yang sangat ingin bekenalan. Lina tidak kenal meski laki-laki tersebut masih satu kampus dengan mereka. Dan entah kenapa, laki-laki itu sangat ingin berdiskusi dengan Lina. Tidak dengan orang lain. Ada kemungkinan dia mendengar perihal Lina sebagai penganut paham agnostik. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di kampus.
"Oke, trims ya, Lin, gue cuma mau mastiin lagi."
"Oke, gue tunggu, Rin." Lina menutup panggilan, meletakkan ponsel di tempat semula.
—Tiga puluh menit kemudian mereka bertemu. Lina langsung menutup laptopnya.—
"Linaa, sorry yaa, udah ganggu waktu lo," ujar Rindu, duduk di satu meja dengan senyum cerah. Laki-laki yang dibawa olehnya itu pun ikut mengambil tempat.
"Eh, kenalin dulu nih, teman gue."
Mereka lalu berkenalan. Pria tersebut bernama Adit. Tubuhnya tinggi besar, berkulit sawo matang, dengan wajah agak bundar. Raut wajah serta pandangannya seperti orang yang kebingungan, pesimis, bahkan tergurat sedikit frustrasi.
"Kenapa, ada yang bisa gue bantu?" Lina bertanya pada mereka, setelah berbasa-basi sejenak tentang ruang lingkup kampus.
Rindu memandangi wajah Lina dari samping. Tampak hidung mancung yang berpadu sempurna dengan bibirnya yang tipis. Sebagai seorang perempuan, Rindu menganggap pemilik cafe itu sebagai sosok yang amat keren. Sorot matanya menyiratkan, jika ia bangga bisa kenal lebih dekat dengannya.
"Jadi, gini, Lina. Gue makasih sebelumnya, lo udah mau ketemuan sama gue. Yang gue dengar, lo penganut paham agnostik yaa?" Adit membuka inti percakapan. Rindu pun menengok dengan tatapan heran.
"Iya, kenapa emang?" Lina menerima minuman dari Si Boy yang membawakan tiga cangkir kopi.
"Gak papa. Justru karena itu gue ingin ketemu sama lo, Lin."
Lina mengerutkan kening, "Terus?"
"Gue pengen sharing masalah agama sama lo."
"Oh, oke." Lina tersenyum. "Kalo latar belakang lo, boleh gue tahu sebelumnya?"
"Gue orang Islam. Dari lahir gue beragama Islam. Tapi, untuk sekarang, gue udah gak mau lagi memeluk agama Islam," jawab Adit.
"Hah!" Rindu sungguh terkejut mendengar penuturan temannya itu. Ia memang cuma jadi perantara, tanpa tahu perihal apa yang akan mereka bicarakan.
"Lo serius, Dit? Gue gak nyangka, yaa Allah, gue pikir lo cuma ada masalah aja!" ujarnya dengan nada sewot.
"Atas dasar apa lo bicara seperti itu?" Lina bertanya lagi. Sementara, Rindu mencoba mengendalikan diri dengan bermain ponsel. Sikapnya amat resah dengan wajah penuh kekecewaan.
"Gue udah gak percaya sama Allah, Lin."
"Sebentar," Lina memotong ucapan Adit, menengok pada Rindu. "Rindu ... lo tolong jadi gelas kosong dulu yaa. Hargai dulu hak dan pendapatnya dia."
Rindu pun meletakan ponsel ke meja, melihat Adit dengan lirikan tajam. "Gue kecewa sama lo, Dit! Nyesel gue kalau tahu gini! Anjing lo!"
"Rindu, lo bijak sedikit dong, dengerin dulu ceritanya Adit. Adit ini lagi krisis identitas. Lo kan paham Lakum din nukum waliyaddin.¹"