Paras perempuan terbagi menjadi lima kategori. Pertama, cantik. Ke-dua, manis. Ke-tiga, imut. Ke-empat, seksi. Ke-lima, presensi atau biasa saja. Wajah cantik belum tentu manis. Wajah seksi belum tentu imut. Bisa sesuai, bisa pula gabungan antara dua atau tiga kategori yang ada. Yang pasti, paras perempuan memiliki tempat sangat penting dalam kehidupan. Bagaikan bintang-bintang yang menghias cerahnya langit malam.
Secara fisik, Aida Nurrosi merupakan perempuan yang sungguh mempesona. Kulitnya eksotis dengan spesifikasi wajah perpaduan antara kategori pertama, ke-dua, dan ke-empat. Kemudian ditunjang pula oleh lekuk tubuh yang menawan. Maka siapa saja yang melihat kemungkinan besar akan berkata; jika sosok Aida tidak kalah dengan para selebritis tanah air. Sejak kecil pun ia sering dijuluki 'gadis jelita yang item'.
Hal tersebut rupanya menjadikan perempuan itu enggan merasa tersaingi.
Padahal dalam agama yang dianut olehnya, martabat perempuan bukanlah sebatas keindahan atau kecantikan fisik semata, akan tetapi mengenai makna dan peran dari sosok per-empu-an. Semua perempuan hendaknya sadar betul tentang jati dirinya yang pasti bernilai luhur. Jiwanya ibarat 'Empu'. Tubuhnya ibarat benda pusaka. Seorang empu pasti akan merawat, menjaga, serta menyayangi pusaka yang ia miliki dengan sepenuh hati.
Bagi mayoritas Kaum Hawa, kecantikan memang sebuah keniscayaan, atau paling tidak, sudah menjadi naluri dirinya untuk terlihat ayu. Akan tetapi pemahaman tentang per-empu-an harus lebih dominan ketimbang antusiasme terhadap kecantikan, apalagi sampai-sampai memperturutkan hawa nafsu.
Katakanlah; Naudzubillah min dzalik.¹
Bahkan dalam kitab suci Alquran, sosok perempuan tidak sedikit pun dilihat secara fisik. Kadar keimanan, sifat, hati yang bersih, dan juga prilaku yang terpuji, adalah apa-apa yang dilihat oleh Tuhan Maha Pencipta Seluruh Alam.
Ya. Kedua mata manusia memang relatif melihat ke luar, jarang sekali menilik ke dalam. Itulah kenapa 'kecantikan fisik' seringkali menjadi dinamika penting, yang terkadang lebih penting daripada apa pun.
Siang itu Aida tengah mengendarai Honda Jazz miliknya. Dentuman musik dalam kabin terdengar keras. Jika biasanya ia ikut bernyanyi seiring lagu yang mengalun, kali ini, tidak. Pikirannya ricuh, laksana hakim di persidangan yang hendak memutuskan sebuah perkara penting. Berupa pilihan dari pertentangan hatinya sendiri.
"Hmmm, gimana yaa?" bisiknya, seraya mengembuskan napas panjang.
Biar bagaimanapun Lina adalah orang yang pernah menyulam ikatan emosi dengannya semenjak kuliah semester dua. Pribadi yang selalu mendengar ia bercerita, dan terus mengulurkan tangan apabila ia meminta bantuan. Pokoknya salah satu teman terbaik yang pernah datang dalam kehidupannya. Tak ayal jika hal itu membuat Aida amat resah. Tembok dan bangunan kampus pun mengetahui, kalau Aida hanya berkenan dengan circle yang sepadan. Menjadikan Lina Caroline sebagai sosok yang tepat untuk dijadikan sahabat baginya.
Namun, ternyata, di antara keakraban mereka terdapat tabir yang tidak kentara.
Seiring waktu berjalan, keduanya seakan-akan berlomba untuk menjadi yang terlebih. Lina sendiri sebenarnya tidak pernah merasa paling baik atau paling utama. Lina hanya suka sibuk sama dirinya sendiri. Aida yang justru sering merasa, jika Lina selalu mengunggulinya dalam banyak hal.
Tampil-lah persaingan sengit di antara mereka, dari mulai potongan rambut, gaya dandanan, busana, sikap, sifat, barang bawaan, kendaraan, sampai materi alat tukar yang senantiasa menjadi ajang pencitraan mereka. Pun demikian, persahabatan mereka terus berjalan dan tetap saling mendukung, hingga jurang yang sudah mereka buat pada awalnya itu benar-benar tertampak pada satu masa. Ketika hadirnya seorang Aradhea Dananjaya beberapa bulan yang lalu.
Lihat nanti gimana deh.
Sang hakim di dalam diri gadis cantik itu akhirnya mengetuk palu. Memutuskan untuk menunda persidangan yang masih berlangsung dalam ruang batin.
Tiba-tiba Aida membunyikan klakson panjang. Suaranya terasa sangat mengganggu para pengendara yang ada di sekitar laju mobilnya. Satu motor yang tampak di tengah-tengah jalur ia anggap sebagai pengendara yang bodoh. Padahal cukuplah dengan klakson pendek untuk saling menghargai sesama pengguna jalan, maka orang lain juga pasti akan balik menghargai. Bukan mencari salah atau benarnya. Namun menata diri, supaya tindakan yang dilakukan tidak hanya berdasarkan ego.
Sungguh, hati yang tak lapang adalah akar dari permasalahan. Sumpah serapah dari orang yang dirugikan perasaannya terkadang datang entah kapan. Aida lupa, pada semua bentuk pengajaran yang pernah ia dengar dari Aradhea, sosok yang dicintainya.
Berjarak waktu sepuluh menit kemudian, perempuan berkaus putih ketat dengan celana Levis biru itu menepikan kendaraan di depan sebuah rumah mewah —milik seorang aparat yang merangkup pengusaha kelas kakap.
Deretan mobil buatan Eropa berjejer di halaman rumah, di samping taman yang besar dan terawat. Pagarnya tinggi, kokoh memanjang. Tembok dan bangunan rumahnya berwarna coklat muda.
Tak menunggu waktu lama, ia pun masuk untuk bertemu dengan seorang pria yang merupakan adik dari pemilik rumah.
Sadam —39 Tahun— pria yang cukup tampan dan berbadan kekar. Menemuinya di ruang tamu.
"Hey, Kak ... Rosi datang mau curhat boleh yaa." Aida menyapa, meletakkan ponsel ke meja.
"Ada apa, Dik? Apa ada orang yang bikin kamu gak nyaman?" balas pria berkulit kuning langsat itu seraya menyender di punggung kursi, duduk di depan Aida. Sikapnya santai, tetapi seakan sudah mengetahui tujuan pertemuan.
"Hehehe, kok Kakak bisa tahu?" tanya Aida.
"Aku pengalaman saat bertemu dengan tatapan orang seperti kamu. Kamu ada masalah apa?" kata Sadam. Suaranya terdengar pelan.
Aida tertawa kecil. "Iya, Kak. Langsung aja deh, karena Kakak juga udah paham sama maksud kedatangan Rosi."
"Hehehe, katakan, kenapa?"
Aida lantas merasakan getaran tubuhnya bergejolak. Bukan apa-apa. Masa inilah titik waktu yang begitu krusial akan jalannya takdir. Keputusan penting dengan risiko tinggi yang ia pertentangan sejak pagi hari.
"Hati gue sakit hati banget, Kak. Serius."
Sadam bergeming, kembali menunggu ucapan Aida dengan tatap tajam. Sikapnya cukup baik dan mau mendengar. Padahal sebagai seorang pembunuh profesional, ia cukup berpengalaman dalam menilik maksud dari para pengguna jasanya.
"Hmmm, gue mau seseorang celaka, Kak," ujarnya.
"Siapa orang itu?" tanya Sadam.
"Temen gue sendiri, Kak. Dia udah merebut cowok gue, dan yang gue denger mereka mau menikah."