ADELINA

Rudie Chakil
Chapter #8

Dejavu

"Fendiii ... lagi di mana lo?"

Suara halus bernada sopran terdengar dari pelantang ponsel, setelah pemilik ponsel mengangkat satu panggilan masuk. Sore hari sekitar jam setengah lima, saat-saat pikiran manusia erat bersinggungan dengan emosi yang tengah dirasakan.

"Wa'alaikummusalam. Gue lagi di Pak Khusnul. Motor gue mogok," jawabnya, seraya meletakkan ponsel di atas jok Vespa yang sedang dibongkar kap mesinnya.

"Gue pikir lo ada di rumah. Gue sekarang lagi di AEON, Fen. Mau mampir nih ke rumah lo."

"Bisa ke sini aja gak?" dengan nada merayu berserta raut tawa, laki-laki pemilik ponsel itu berkata lagi. "Gue butuh bantuan lo nih."

"Hah! Lo pikir gue montir?" sambar suara si penelepon.

"Serius, Lin ... pokoknya lo harus dateng ke sini yaa. Gue di Pak Khusnul."

"Hmmm, oke deh."

Percakapan mereka pun terhenti. Waktu sore bahkan memiliki porsi kesibukan yang lebih tinggi ketimbang waktu pagi. Hal tersebut karena waktu sore seringkali dianggap sebagai 'waktu santai', maka, ada saja kesibukan yang menyerta. Apalagi ketika cuaca cerah seperti kondisi sore hari itu.

Sudirman Effendi —25 Tahun, pemilik ponsel, adalah seorang yang pandai dalam bergaul. Teman akrab Lina dan Aida, yang lebih seringnya dipanggil 'Fendi'.

Laki-laki agak kurus dengan rambut ikal seleher ini terkadang memiliki sudut pandang yang tidak bisa ditebak oleh orang lain, berselera humor tinggi, serta punya sikap yang mampu menetralkan keadaan. Datar, dalam situasi segenting apa pun. Dia juga merupakan sekretaris dari komunitas VPA —Vespa Pecinta Alam. Club motor berusia dua tahun, yang tercatat nama Aradhea Dananjaya sebagai salah satu anggotanya.

Baru saja obrolan singkat terjadi antara dia dengan Lina.

Seperti biasa, jika gadis itu lebih dahulu menghubungi, kemungkinan ada tiga hal yang tengah ia rasakan. Pertama, ketika ia ingin berdiskusi. Fendi jelas merupakan teman berbincang yang asyik. Ke-dua, ketika ia sedang merasa suntuk. Fendi bisa jadi sosok yang mampu mengubah mood seseorang menjadi terhibur. Ke-tiga, ketika ia hendak mencari informasi. Bagaimanapun, Fendi orang yang berwawasan luas, sedikit informasi untuk ruang lingkup mereka dengan mudah dapat diakses darinya.

Sementara, Pak Khusnul, yang dimaksud oleh Fendi, adalah pemilik warung kopi yang ada di dekat lokasi kampus. Warkop di pinggir jalan tersebut seringkali didatangi oleh para mahasiswa, termasuk Lina dan Aida yang biasa mencari keberadaan mahasiswa jurusan Tehnik Informatika itu. Fendi memang sosok yang cukup berpengaruh bagi teman-temannya.

"Tadi itu si Lina yaa?" tanya seorang teman yang menemani perbaikan motor, Vespa dua tak keluaran 1969 dengan modif seperti tank militer.

"Iya." jawab Fendi, mengambil amplas untuk membersihkan busi yang menghitam pada bagian atas.

"Gue bagi nomor WA-nya, dong," pinta temannya itu.

Fendi menengok dengan pandang agak serius. "Hmmm ... gue musti ijin dulu ya sama dia," ujarnya.

"Ya elah, pelit banget sih lo, bangsat!"

"Bukan begitu, Bro. Ini masalah adab," kata pemuda beralis mata tebal itu.

"Mendingan nanti kalo dia ke sini, lo minta sendiri aja langsung," sambungnya sembari mengetuk-ngetuk ujung busi dengan kepala obeng.

"Gue kagak kenal dia, Njing." Teman Fendi bergumam.

"Ya udah makanya kenalan dulu." Fendi santai menanggapi. "Biasa aja sih sama si Lina mah. Dia orangnya asyik kok."

Temannya yang cukup tampan dan berbadan proporsional itu mengangguk-angguk setuju. "Tapi, gue, heran. Dia bisa dekat gitu sama lo ya?" mimik wajahnya bertanya-tanya.

"Hahaha, biar gue tebak. Lo pasti suka sama dia, kan?" Fendi balik bertanya.

"Bukan lagi. Gue pengagum dia, Njing. Sumpah, dia tuh cewek paling perfect. Mukanya tuh unique banget," ujarnya. Fendi kembali tertawa

"Gue gak pernah lihat cowoknya. Dia punya cowok gak sih?" ia bertanya lagi.

Fendi memasukkan busi ke boks motor, lalu menghadapkan badan pada temannya itu. "Namanya cewek, kalo cakep sedikit, udah pasti punya cowok lah! Enggak mungkin jomlo! Apalagi model kayak si Lina. Cem-macem aja lo!"

"Lo kenal sama cowoknya?"

"Yah, kenal banget." Fendi kembali berjongkok. "Dah, lo belajar dulu sama gue, masalah deketin cewek. Hahaha."

Mahasiswa pemilik motor 250cc yang terparkir di depan Vespa nyentrik itu mengamati Fendi dengan pandang bingung. Memang tidak dapat dipungkiri olehnya, jika Fendi banyak mengenal perempuan-perempuan cantik di kampus. Bahkan punya hubungan yang terbilang dekat

"Waduuuh, pantesan ... cangklongnya juga udah jelek." Pemuda berjaket hitam berkulit sawo matang itu mencopot sambungan kepala busi, menaruhnya ke boks motor. Ia kemudian mengambil ponsel, memesan busi berikut cangklongnya lewat online. Dua komponen perapian tersebut sudah tak layak meski masih bisa digunakan.

Beberapa saat kemudian, Nissan Juke biru terlihat menepi, terparkir di pinggir jalan, persis di depan warung. Lina benar-benar datang menemui Fendi.

Semua mata yang ada di sekitaran warung terpana tatkala gadis itu turun dari mobil. Kali ini bukan cuma dari wajahnya yang ayu nan cantik, tetapi karena pakaian minim yang ia kenakan. Kaus merah ketat dengan celana hotpants membuat lekuk tubuh indah serta kaki jenjangnya yang putih mulus dan berisi jelas-jelas terekspos. Pun tidak terkecuali bagi dua pemuda normal yang sedang berjongkok sembari menengok.

"Ckk! Ampun, si Lina pakaiannya," celetuk batin Fendi.

"Motor lo kenapa, Fen?" ia membuka kaca mata sambil melangkah ke arah mereka. Kedua pemuda itu seakan-akan rugi apabila mengedipkan mata.

Fendi lantas berdiri, mengarahkan badan

"Pakek ditanya pula. Kayak yang gak pernah ngerasain Vespa mogok aja sih lo." balas Fendi, jelas paham kalau perkenalan Lina dan cowoknya Aradhea berawal dari Vespa mogok. Ia juga dengan segera mampu bersikap biasa, sebab bersungguh-sungguh menganggap bahwa Lina adalah sahabatnya. Menghargainya. Berusaha melawan sikap kurang ajar yang disertai oleh niat kotor.

Si gadis mahkota kuncir kuda itu tertawa kecil, melirik pada teman Fendi yang masih berjongkok. "Gue tadi tuh cuma mau mampir, Fen. Tapi lo malahan suruh gue datang ke sini."

"Lha, gue aja belum balik ke rumah, Lin."

"Iya, mana gue tahu? Terus, palu sama gergajinya mana? Gue kok enggak lihat?"

"Lo kira motor gue kayu blondongan!"

"Hahaha. Terus, terus, ada apa?" ceriwis Lina bertanya. Bola mata Fendi pun melirik-lirik dengan raut tersenyum.

"Lin ... sumpah, paha lo mulus banget, bangke!" ujarnya, berpura menutup kedua mata dengan ruas-ruas jari yang terbuka.

Lina mengembuskan napas panjang.

"Heh, gimbal. Gue kan dah bilang kalo gue dari mall, nah lo malah minta gue dateng ke sini. Lagian ngapain sih lo lihatin paha gue! Mendingan lo urusin tuh si Engkong." Dengan wajah cemberut ceria, Lina menegokkan pandang ke arah motor Fendi yang terparkir mogok.

Lihat selengkapnya