Perempuan Berambut Merah berteriak histeris. "Adeee ... kamu di manaaa?" Kepalanya celingukan. Dalam visualisasinya hanya ada kegulitaan yang tiada bertepi, bagai berada di tengah-tengah galaksi hitam tanpa apa pun yang tertampak.
"Oh, Adeee."
Gema suaranya membahana ke segenap penjuru alam yang ia sendiri tidak tahu bertempat di mana. Namun ia paham, jika dirinya sedang memanggil-manggil nama seseorang.
"Adeee."
Latar belakang pun berganti. Perempuan Berambut Merah seketika ada di sebuah ruangan yang ia kenal, yaitu di sebuah ruang tamu. Ia juga melihat seorang laki-laki tengah bergeming, berdiri memunggungkan badan.
"A, A, Ade ... "
Pelan dan perlahan Perempuan Berambut Merah memanggil, mendekat hingga ke kanan belakangnya. Laki-laki tersebut kemudian melirik. Sorot matanya tajam dengan raut wajah amat sinis.
***
Lir Ilir, lir ilir, tandure wis sumilir. Tak ijo royo-royo, tak senggo tementen anyar.
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodotiro. ¹
Kemarin malam mereka tidak jadi berjumpa. Aradhea memberi kabar pada Lina jika dirinya enggan untuk bertemu. Bukan apa-apa, pemuda itu merasa lelah setelah menempuh perjalanan mudik seorang diri. Ia juga ingin bermalam di satu masjid yang ada di wilayah Jakarta Timur. Masjid Pangeran Jayakarta.
Lina sendiri tidak keberatan dengan hal itu. Iklim berpacaran mereka memang jauh berbeda dengan muda-mudi kebanyakan, yang setiap waktu musti saling terikat dan terseret arus asmara yang membabi-buta. Mereka tidak demikian. Keduanya cukup saling mencinta, peduli, percaya, serta punya batasan masing-masing. Pun mereka telah memahami, ikatan sah kelak akan datang jika sudah waktunya. Maka sepasang insan yang saling mencinta ini tidak akan berani terlena dengan gairah muda membara.
Ya. Masing-masing darinya menganggap, sosok pacar tak ubahnya seperti sahabat, saudara dekat, atau bahkan dalam beberapa kondisi, mereka seperti guru dan murid.
Pukul 19.30, Aradhea sudah hadir di kediaman keluarga Candra. Semua berkumpul di teras rumah bersama makanan ringan serta teh panas dalam tembikar oleh-oleh khas Tegal. Kursi ruang tamu pun mereka keluarkan supaya lebih leluasa berbincang.
Aradhea sebenarnya sudah datang semenjak sore hari selepas Asar, tetapi ia hanya duduk-duduk di ruang tamu saja, memainkan laptopnya. Bapak dan Ibu Candra jelas merestui hubungan mereka. Sudah pula mengganggap Aradhea selayak anggota keluarga sendiri. Makan, salat, tidur, dan berbagai aktivitas lain dengan bebas boleh dilakukan.
Mitsubishi Pajero putih tampak terparkir di muka halaman, di bawah deretan pohon palm. Aradhea membawa banyak oleh-oleh seperti klanting,² getuk goreng, telur asin, serta buah-buahan.
"Kata Lina, kamu mencari anak yang hilang, itu ceritanya gimana, De?" tanya Nyonya Liani yang duduk di sebelah suaminya, di kursi panjang yang menghadap jalan.
"Ceritanya lucu, Tante." Aradhea tersenyum. Pemuda kuning langsat berhidung mancung itu memang memanggil kedua calon mertuanya dengan sebutan Om dan Tante. Kata dia supaya terus terlihat muda.
"Adik dari teman kecil Ade hilang selama satu hari. Namanya Anita. Warga desa dan keluarganya bilang kalau Anita diculik sama hantu. Keesokan harinya kami mencarinya sampai larut malam. Akhirnya kami menemukan Anita di hutan belantara. Ternyata anak itu bukan hilang, tapi sengaja kabur dari rumah."
"Hahaha," mereka tertawa bersama. Pembawaan Aradhea ketika bercerita serasa begitu menyenangkan.
"Tapi anaknya baik-baik aja, kan?" Wanita berbusana mewah itu bertanya lagi.
"Baik-baik aja, Tante. Malahan waktu di bawa pulang dia enggak mau."