Apakah pikiran seseorang yang membawa kondisi kehidupan? Ataukah kondisi kehidupan yang membawa pikiran seseorang?
Rumah kediaman Lina terbilang besar. Berada di satu kawasan perumahan yang cukup elit. Bangunannya tingkat dua, dengan luas tanah dua ratus meter persegi. Deretan pohon palm tampak di sisi tembok sebelah kiri halaman yang beralas konblok —terkadang digunakan untuk parkiran mobil. Sementara di sebelah kanan terdapat taman.
Lina seringkali duduk santai di area balkon yang bermuka dinding dengan kamarnya. Menulis, menggambar, atau menonton sesuatu sambil melihat pelepah palm yang melambai-lambai tertiup angin.
Pukul 21.30 mereka masih berbincang-bincang. Keluarga Candra memang tidak makan malam. Jam makan mereka adalah pagi dan sore hari.
"Punya modal lima ratus miliar gak, Om?" Aradhea bertanya pada Bapak Candra.
"Hah, untuk apa?" Pria dewasa matang berambut klimis itu tertawa. Aradhea ikut tertawa.
"Enggak kok, Om, Ade cuma bercanda," balasnya.
"Lho, serius ... untuk apa?"
"Hmmm, kita bangun perusahaan farmasi tandingan, Om."
"Oh," Bapak dan Ibu Candra tampak sumringah.
"Lina ikut, Lina ikut," sambarnya di tengah-tengah perbincangan. Kedua tangannya tegak di sisi paha.
"Tapi, saya enggak punya tabungan sebanyak itu." Tangannya menyenggol sang istri. "Yah, Mah?"
Nyonya Liani hanya tertawa kecil.
"Papah gimana sih, tadi bilang serius, tapi ternyata enggak ada duit," celetuk si gadis.
"Yah, itu, papah kamu, Lin. Waktu naksir sama Mamah juga ngakunya anak deputi perusahaan asing, gak tahunya cuma kerja di sana."
"Hahaha, beneran, Mah?"
"Iya, mana pede banget lagi," tangan Nyonya Liani menepuk pelan bahu sang suami.
Aradhea, Lina, dan Bibi Narti hanya tertawa.
"Hahaha. Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi, siapa tahu Papah dapat rejeki. Iya, gak, De?" alis tebal Bapak Candra terangkat.
"Insya Allah, Om. Innallaha ala kulli syaiin qodiir. ¹ Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ketika seseorang ada hak untuk mendapatkan sesuatu, niscaya akan didapatnya cepat atau pun lambat. Ade akan selalu berdoa untuk Om biar memperoleh rejeki itu. Setelahnya barulah kita patungan." Aradhea menatap serius.
"Pah, nanti potek sedikit yaa buat Mamah," ujar Nyonya Liani. Sepertinya selera humor Lina menurun darinya.
"Gustiii, baru juga berdoa, udah main tembak aja."
"Hahaha."
Ngiiiiiiiinnggg...
Bunyi seperti gangsing yang hanya bisa didengar oleh Aradhea tiba-tiba datang. Suaranya seperti berjarak sangat jauh, disertai dengan rasa penging di kedua telinga. Aradhea sungguh tahu, bila hal itu terjadi, tak lama kemudian mulutnya pasti akan dikendalikan oleh spirit besar yang selalu mempengaruhinya.
Aradhea dan Nyonya Liani secara bersamaan ingin bicara. Keduanya pun sama-sama terdiam, kemudian saling menunjuk siapa yang akan bicara lebih dahulu. Aradhea pun mempersilakan sang calon mertua untuk berbicara.
"Iya, ngomong-ngomong soal kenangan, Mamah jadi inget Embah Putri lho. Dulu Embah Putri yang mendorong Mamah untuk menikah sama Papah," ujar wanita paruh baya yang terlihat muda karena perawatan itu. Sosok Embah Putri adalah ibu dari Nyonya Liani.
"Ah, ternyata kita satu frekuensi, Tante. Tadi Ade juga mau bahas sesuatu yang mengarah ke sana." Aradhea tersenyum.
"Masa, sih?"
"Iya ... waktu tadi kita bahas masalah dukun palsu, sebenarnya enggak selamanya mereka salah. Memang, banyak oknum dukun nakal yang mengambil keuntungan dengan cara menipu orang lain. Tapi kalau bicara dari segi spiritual, banyak hal yang sebenarnya enggak bisa dijelaskan secara logika atau ilmu pengetahuan. Pikiran manusia itu terbatas, tapi banyak yang merasa benar dan tidak terbatas hanya karena enggak sesuai dengan pengetahuan yang mereka pahami." Aradhea lalu menarik napas dalam, setelah membuka kembali perbincangan tentang sesuatu viral yang sebelumnya mereka bahas. Mengenai para dukun-dukun palsu yang melaporkan seseorang ke Polisi.
"Ade akan membuktikan satu hal tentang sesuatu yang enggak bisa dijelaskan sama logika manusia," sambungnya, seraya mengembuskan napas panjang.
"Tahu gak siapa yang hadir?" kata Aradhea seraya menatap Bapak Candra, disambung dengan menatap Nyonya Liani, kemudian menatap Lina.
Pemuda berkaus hitam itu tersenyum menatap Lina. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Rosa ... Rosalina," ucapnya.
Seketika itu juga Bapak Candra, Nyonya Liani, dan juga Lina benar-benar kaget. Hal tersebut sungguh tertutup rapat sejak dua puluh tahun yang lalu. Mereka jelas mendengar Aradhea mengatakannya. Yakni tentang nama yang diberikan pada Lina sejak baru lahir. Rosalina Caroline. Namun beberapa bulan setelah hari kelahiran, Lina sering sakit-sakitan, hingga Bapak Candra mengganti namanya dengan Lina Caroline saja. Bahkan Lina tidak pernah memberitahukan hal tersebut meski pada Aradhea, orang yang paling dekat dengannya.
Seketika itu juga Nyonya Liani dan Lina menangis haru. Bapak Candra langsung memeluk dan mengusap kepala istrinya. Wanita anggun itu jelas merasa kengen pada sang ibunda yang sudah meninggal ketika Lina berusia delapan tahun.
"Semoga Yang Maha Kuasa menyayangi kalian semua," ucap Aradhea, kemudian terpejam.
"Mohon maaf yaa, Tante ... Ade sama sekali enggak bermaksud membuat Tante bersedih," lanjutnya setelah membuka mata.
Nyonya Liani mengangguk-angguk. "Saya, paham, De. Saya melihat wajahnya," dan kembali terisak.
"Di kamar aja yuk, Mah," desis Bapak Candra pada sang istri, kemudian menengok pada Aradhea.
"Kami masuk duluan yaa, De. Kamu kalau mau ngobrol di atas, silakan," ujarnya, tersenyum bangga.