Tidak peduli mau dibilang apa, aku hanya ingin menunjukkan; kalau aku benar-benar suka.
Adelon - Ifa Shaffa
"Ngapa muka lo, Kafka?" tanya Yunan. Kebetulan, Yunan satu bangku dengan Kafka. Sementara Reza, satu bangku dengan Irul.
Saat ini semua kelas Cendana Utama sedang jam kosong. Mendadak semua guru rapat. Setiap guru hanya memberi tugas di setiap kelas masing-msing. Seperti halnya dengan kelas X IPS I yang mendapat tugas Geografi halaman 40. Tapi Yunan dan Kafka justru bercerita.
"Perasaan gue cakep. Tapi, kok, gue jomblo, ya?" keluh Kafka.
Yunan mencoba sekeras mungkin menahan tawa mendengar ungkapan hati teman sebangkunya. Tapi sayangnya gagal.
"Lo kasih solusi, kek, Nan. Bukan ketawa lo yang pengen gue denger." Kafka kesal.
"Woi! Kalian cerita nggak ajak-ajak gue." Tiba-tiba suara Reza ikut menyeletuk dari belakang. Reza menusuk pelan punggung Yunan dengan bolpoin miliknya, karena Yunan kebetulan duduk tepat di hadapannya.
Yunan menoleh ke belakang. "Lo orang pinter. Kerjain aja, tuh, soal. Entar kalo udah selesai, kita tinggal minta jawaban dari lo. Si Kafka lagi curhat, Za."
"Sial, lo pada!" kini Reza menoyor punggung Yunan dibarengi tawa.
Yunan pun ikut tertawa dan kembali menghadap ke depan. Begitu juga dengan Reza, kembali ke tugasnya. Dan memang bisa dikatakan, kalau Delon dan Reza memang sama-sama pintar.
"Udahlah, Kaf. Ngapain juga dipikirin banget. Kita itu masih muda. Kalo lo sekarang jomblo. Mungkin karena belum ketemu sama yang pas aja." Akhirnya Yunan mencoba sedikit menenangkan Kafka yang terlihat termenung dengan bertopang dagu.
Kafka menghela napas kasar lalu menoleh ke arah Yunan. "Ya, gue kayak sedih aja gitu. Lo punya pacar, si Silka. Terus si Reza pacaran sama sepupu gue, Wike. Dan gue jomblo sendiri di antara kalian," jelasnya.
Benar, Wike itu memang sepupu Kafka. Dan Reza pertama kali bertemu dengan Wike, di rumah omanya Kafka dan Wike. Ketika Wike sedang berlibur ke Jakarta.
"Ya udah, lo pacaran aja sama Hirva. Temenya Silka," saran Yunan.
"Gila, lo! Selera gue bukan dia. Gue suka yang unyu-unyu," sahut Kafka cepat. "Masa sama Hirva. Udah galak! Judes! Nggak mau senyum lagi," oceh Kafka.
"Nggak boleh gitu, lo. Entar naksir lo sama dia." Yunan mengingatkan. "Tapi sebenernya si Hirva itu manis tahu. Kulitnya eksotis lagi."
"Udah dibilang gue suka yang unyu!" Kafka menegaskan. "Iya, kayak temen baru mereka itu," sambungnya.
"Jangan berani-beraninya lo deketin Adel. Dia jodohnya Abang gue garis keras!" Reza ikut menyahut dari belakang. Meskipun dirinya masih fokus mengerjakan soal. Reza paham, kalau yang sedang dimaksud Kafka itu Adel. Teman Silka dan Hirva. Siswi baru di Cendana Utama.
"Wah! Saingan berat itu namanya, Kaf. Mana ada apa-apanya lo sama Bang Delon," cibir Yunan.
Kafka berdesis pelan. "Belum juga start, udah disuruh mundur duluan. Nasib-nasib." Kafka mengelus dada sabar.
***
"Ngapain lo ngintip-ngintip kelas gue!?"
Sepasang mata bulat gadis itu melotot. Tubuh kecilnya yang awalnya sedang membungkuk, seperti rukuknya ketika orang salat. Dan kepalanya sedikit mencondong ke pintu kelas. Dengan perlahan tubuhnya menegak dan berbalik arah karena saat ini dirinya sudah ketahuan.
Meski sudah berbalik arah, tapi kepala gadis itu masih menunduk. Menatap lurus sepasang sepatu hitamnya. Belum berani melihat ke depan.
"Apa perlu pertanyaannya gue ulang?"
Dengan segera Adel mendongakkan kepalanya, dan menggelengkan kepala dengan cepat beberapa kali.
"Iya, habisnya Adel pengen lihat Delon. Eh, Delonnya nggak ada. Malah Delon duluan yang lihat Adel," tutur Adel dengan malu.
Delon tidak menggubris. "Sekarang lo udah lihat gue, kan? Mending sekarang lo balik."
"Delon, kok, gitu. Kan Adel pengen ngobrol sama Delon."
"Tapi gue nggak mau ngobrol sama, lo!"
"Ah, Delon nggak asyik!" ucap Adel memberenggut.
"Emang nggak asyik!"
"Jadi Adel balik, nih?"
"Iya."
"Sekarang?"
Delon tidak menjawab dan hanya menatap gadis di depannya dengan tatapan datar tanpa kedip.
"Iiihhh, Delon jangan lihatin Adel kayak gitu, dong. Adel kan malu kalo dilihatin." Adel nyengir kuda.
"Gue suruh apa tadi," papar Delon datar.
"Pergi."
"Terus kenapa masih di sini?"
"Iya udah Adel pergi. Adel ngambek, nih!"
"Bukan urusan gue."
Baru selangkah berjalan, Adel berbalik arah dan kembali berbicara. "Delon, Adel boleh minta nomor telepon Delon, nggak?"
"Nggak!"
Adel mendengus sebal, dan pergi meninggalkan tambatan hatinya. Karena lokasi kelas XI IPA I dan XI IPA II tidak terlalu jauh, membuat Adel sudah kembali dan masuk ke dalam kelasnya. Duduk di bangkunya dengan wajah ditekuk. Bintang yang menjadi teman sebangkunya, hanya memasang ekspresi datar.
"Sstt, kenapa dia?" Hirva menyenggol sikut Silka yang menjadi teman sebangkunya.
Silka menggeleng. "Nggak tahu."
"Del, lo kenapa?" untuk menuntaskan kepenasaran mereka, Silka pun bertanya pada Adel yang duduk memunggungi Silka dan Hirva.
Adel menoleh ke belakang. "Adel lagi sebel sama Delon," keluh Adel. "Tadi, tuh, Adel sengaja nyamperin ke kelas Delon. Tapi nggak masuk. Cuma berdiri di depan pintu dan ngintip dari luar. Eh, ketahuan sama Delon. Ternyata dia di luar. Udah gitu, Adel diusir sama Delon suruh balik ke kelas. Ya udah Adel balik. Tapi—" kalimat Adel menggantung. Dan sepertinya Hirva dan Silka mendengarkan dengan saksama.
"Tapi apa?" tanya Silka.