ADELON

Ifa Shaffa
Chapter #8

Reuni SMP

Ada sedikit harapan. Agar kau dan aku secepatnya dipersatukan.

Adelon - Ifa Shaffa

Sudah tidak heran lagi mengapa ketiga pemuda ini bisa berada di kelas XI IPA 1. Pastinya untuk menemui Delon. Delon juga tidak akan terkejut dengan kedatangan mereka. Yang menjadi pertanyaannya, mengapa mereka betah sekali di kelas ini. Apakah mereka sudah tidak sabar untuk naik kelas?

Tidak lupa, mereka bertiga pasti membawa banyak camilan. Ada minuman bersoda. Karena mereka tahu, kalau Delon memang sangat suka dengan minuman bersoda. Ada roti, keripik, siomay, dan cireng. Sampai-sampai bingung mana yang lebih dulu untuk dihabiskan.

"Bang Delon, kita numpang mabar di sini, ya," cetus Kafka.

"Tenang, Bang. Kita nggak tangan kosong, kok. Kita bawa makanan juga. Gratis, kok, Bang. Bang Delon nggak perlu bayar. Cuma tinggal makan aja," ucap Yunan sembari menaikkan satu alisnya.

Yunan dan Kafka sudah ambil posisi dengan duduk di depan bangku Delon. Karena pemilik bangkunya pasti sedang berada di kantin. Kalau tidak di perpustakan. Kalau tidak di taman belakang. Atau justru sedang di ruang guru. Iya pokoknya di mana mereka suka saja lah. Dan seperti biasa, bangku tersebut mereka putar agar bisa menghadap ke arah bangku Delon. Sementara Reza, duduk di sebelah Delon.

"Kalian suka banget ganggu ketenangan gue. Paling pinter kalau soal sogok-menyogok," lirih Delon yang sibuk dengan benda pipihnya.

"Mereka berdua kan, Lon. Gue nggak."

Delon menoleh ke samping. "Lo juga."

"Hahaha. Rasain lo Reza," cibir Yunan dan Kafka berbarengan.

Reza membuat rolling eyes dengan maksud tidak peduli dengan ucapan abangnya barusan. "Lo sibuk mulu sama hape dari tadi. Tumben!" sambungnya. Karena yang Reza tahu, Delon memang paling jarang menyentuh ponselnya.

"Ada chat dari grup SMP. Entar malem bakal ngadain reuni."

"Wah! Seru, tuh. Gue boleh ikut nggak?" tanya Reza.

"Ngapain juga lo ikut."

"Ck." Reza berdecak. "Parah lo emang jadi Abang."

Delon nampak tidak peduli.

Karena kesal tidak dipedulikan, Reza pun kepo dan akhirnya melirik sekilas isi dari chat-an Delon tanpa pengetahuan pemiliknya. Siapa tahu, dengan mengintip isi chat-an grup tersebut, Reza jadi bisa tahu, ke mana mereka mengadakan reuni.

Tapi, mata Reza bukan tertuju pada chat-an grup SMP-nya Delon, justru pada chat dengan kontak seseorang.

"Wah, diem-diem lo chat-an sama Adel, ya, Lon."

"Dia kali yang nge-chat gue. Gue juga nggak pernah bales," jawab Delon santai.

"Yaelah. Kasihanlah tuh cewek. Bales lah sesekali, Lon."

"Hmm." Seperti biasa, Delon hanya menyahutnya dengan gumaman.

Tidak peduli akan percakapan antara Abang dan Adik. Yunan dan Kafka tetap asyik dengan mobil legend-nya.

Delon pun bangkit dari duduknya dan meninggalkan kelas. Tidak peduli ada anak kelas X yang sedang berada di dalam kelasnya. Ketika ditanya Reza mau ke mana, Delon hanya menjawab "Perpus."

***

"Delon ,kok, nggak bales chat Adel?"

Melihat sosok pemuda idamannya sedang membaca buku di perpustakaan, tanpa ragu Adel menghampiri pemuda itu karena saat ini dirinya juga berada di perpustakaan untuk mencari tugas biologi. Kalau tidak, Adel juga sebenarnya malas untuk masuk ke dalam perpustakaan. Bahkan tanpa izin, Adel dengan sengaja duduk di hadapan pemuda itu dan bertanya dengan santai.

Adel tidak ingat kalau ini adalah perpustakaan. Suaranya terdengar begitu nyaring. Membuat semua orang yang ada di dalam perpustakaan menoleh ke arahnya. Berisik. Termasuk pemuda yang duduk di hadapannya. Tatapannya datar tapi begitu menakutkan.

Pemuda itu pun kini kembali fokus dengan buku tebal yang sejak tadi dibacanya. Tidak peduli dengan gadis berambut sebahu yang merasa bersalah karena telah menimbulkan kebisingan di dalam perpustakaan. Yang bisa Adel lakukan saat ini hanyalah menunduk dalam diam. Bahkan Adel merutuk dirinya sendiri karena lagi-lagi lupa untuk sedikit mengerem mulutnya.

"Lo ikut gue."

Adel mendengar jelas ajakan itu. Perlahan kepalanya mendongak dan melihat Delon sudah berdiri di sampingnya. Adel mengalihkan pandangannya ke depan. Tumpukan buku yang tadi terletak di atas meja, sudah tidak ada lagi. Entah sejak kapan Delon membereskannya. Saking merasa malu dan bersalah, Adel sampai tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan Delon sedari tadi. Mungkin kalau Delon pergi secara diam-diam, Adel tak akan tahu.

"Masih tetep mau di sini?" tanyanya datar.

Adel menggeleng cepat dan langsung terkesiap berdiri. Sementara Delon sudah berjalan lebih dulu di depan. Setelah sadar, gadis itu berlari-lari kecil agar tidak lagi menciptakan kebisingan di dalam perpustakaan, juga agar dapat dengan segera mensejajarkan dengan langkah Delon.

Lihat selengkapnya