Perasaan ini tak akan pernah hilang, meski kau membuatku merasa terbuang.
Adelon - Ifa Shaffa
Pagi ini di SMA Cendana Utama sedang melangsungkan upacara bendera. Seperti biasa, tidak sedikit dari mereka yang lupa membawa atribut untuk upacara. Ada yang lupa membawa topi, dasi, dan sepertinya itu manusiawi untuk siswa dan siswi. Bahkan yang lebih memalukan lagi ketika terlambat memasuki lapangan upacara, dijamin akan menjadi pusat perhatian. Memangnya ada yang salah ketika terlambat datang? Itu juga bukan hal dari sebuah perencanaan bukan?
Seperti yang saat ini sedang dialami oleh Adella Fuzya Piuty. Gadis itu berlari-lari kecil untuk menuju pintu gerbang sekolah yang sudah ditutup.
"Pak, Adel masih boleh masuk, kan?" seru Adel dari luar pagar kepada satpam sembari berusaha mengembalikan napasnya yang masih berantakan.
"Loh. Kok bisa terlambat, Neng."
"Adel juga nggak mau terlambat, Pak."
Bapak Satpam tersebut lantas melirik jam di pergelangan tangannya. "Wah, tapi ini sudah hampir lima belas menit telatnya, Neng."
Adel menghela napas sebal. Coba saja kalau pagi ini dirinya tidak kesiangan bangun, pasti tidak akan ada kejadian seperti ini. Apalagi Adel sadar kalau dirinya masih murid baru. Rasanya akan sangat memalukan. Masih anak baru tapi sudah berani melanggar peraturan.
"Pagi, Pak," sapa seseorang ramah dari belakang.
Adel menoleh.
"Eh, Mas Delon. Bentar, Mas. Saya bukain dulu pintunya," ujar Bapak Satpam sambil membuka pintu gerbang yang tadi sudah ia kunci.
"Delon? Delon bantuin Adel, dong. Adel nggak dibolehin masuk sama Bapak ini. Ngeselin, kan? Tapi nggak bikin gemes. Karena orang yang ngeselin tapi bikin gemes cuma Delon seorang." Sedang dalam keadaan darurat seperti ini pun, Adel masih sempat-sempatnya merayu Delon.
"Pak, biarin dia masuk," pinta Delon ramah pada Pak Satpam.
"Baik, Mas."
Delon masuk begitu saja setelah pagar sudah terbuka tanpa menunggu Adel yang masih berdiri di belakangnya. Melihat kebaikan Delon, membuat suasana Adel pagi ini yang awalnya buruk berubah menjadi indah. Ada untungnya juga kesiangan.
Sambil berjalan mengikuti Delon dari belakang, tidak lupa Adel melirik sekilas Bapak Satpam dan menjulurkan lidah tanda mengejek. Sementara Bapak Satpam hanya mampu geleng-geleng kepala saja.
Karena saat ini dirinya menjadi pusat perhatian, Adel memilih menundukkan kepalanya dan berlari-lari kecil agar bisa mensejajarkan langkah dengan Delon.
"Delon terlambat? Kalau Delon terlambat, kok, nggak bawa tas? Terus Delon, kok, mudah banget nyuruh Pak Satpam untuk bukain pagar? Delon nggak ikut upacara?"
Delon menghela napas kasar lalu menoleh ke samping. Untuk sementara Delon menghentikan langkahnya dan menatap tajam mata gadis yang berdiri di sebelahnya.
Melihat ekspresi yang ditunjukkan Delon kepadanya, Adel langsung menutup rapat mulutnya. "Maaf, Delon. Adel berisik," lirih Adel merasa bersalah.
"Nggak bisa, ya, sehari aja lo diem!" papar Delon.
Dengan polosnya Adel menggeleng. Membuat Delon semakin geram dibuatnya. Sebenarnya mau gadis ini apa?
Merasa tidak ada gunanya berbicara kepada gadis menyebalkan itu, Delon kembali melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda. Begitu juga Adel yang masih diam seribu bahasa tapi tetap berjalan di sebelah Delon.
***
"Lo masih mau ngikutin gue?" kata Delon yang sudah tiba di depan kelasnya. "Mending sekarang lo balik ke kelas."
"Tapi Adel pasti bakal kena marah karena terlambat. Ditambah Adel nggak ikut upacara," ujar Adel sembari mencebikkan bibirnya.
"Lo nggak usah mikirin itu. Nanti gue yang ngomong."
"Adel ikut, ya. Bagaimanapun, Adel harus bertanggung jawab. Karena di sini Adel yang salah. Adel nggak mau Delon disalahin dan kena marah gara-gara Adel."
"Gue nggak bakal disalahin dan nggak bakal kena marah."
"Kenapa?"
"Lo bisa nggak, sih, nggak usah banyak tanya. Mending sekarang lo balik ke kelas," titah Delon.
Adel menatap sayu ke arah Delon. "Delon kenapa, sih. Pagi-pagi udah marah-marah aja. Adel minta maaf kalau terus-terusan buat Delon kesel. Iya udah, Adel balik ke kelas. Da Delon." Dengan lesu Adel pun berbalik meninggalkan Delon untuk menuju ke kelasnya.
***
Jam istirahat, seperti biasa Hirva dan Silka mengisi cacing-cacing mereka di dalam perut. Tapi kali ini tanpa kehadiran Adel. Entah ada apa dengan gadis itu. Diajak makan katanya tidak lapar.
"Si Adel menurut lo kenapa, ya, Sil? Hari ini kayaknya dia nggak semangat banget." Hirva bertanya pada Silka yang sedang menyantap sepiring siomay.
"Gue juga nggak tahu, Va," balas Silka.
"Apa dia malu karena tadi terlambat?" tanya Hirva lagi.
Silka mengedikkan bahu sekenanya.
Tanpa disadari, di tengah perbincangan antara Silka dan Hirva, ada yang tak sengaja mendengarnya. Dan karena itu seseorang tersebut langsung bangkit dari duduknya meninggalkan kantin.
Seseorang itu yang tak lain adalah Delon. Saat ini dirinya masih berjalan untuk menuju kelasnya. Namun rencana itu ia urungkan karena tanpa sengaja melihat sosok seorang gadis yang sedang berdiri di balkon lantai tiga. Akhirnya Delon pun memilih ke lantai tiga untuk menemui gadis itu.
"Lo ngapain ngelamun di sini? Kalau tiba-tiba ada yang dorong lo gimana? Nggak ada yang mau nolongin." Entah itu sebuah perhatian, atau justru sebuah cibiran.
"Eh, Delon," sapa Adel tersenyum. "Delon jahat banget."
"Lo nggak ke kantin?"
Adel menggeleng. "Adel nggak laper."
"Atau mau gue beliin?" tawar Delon.
Adel tertegun mendengarnya. Lantas tersenyum kembali. "Adel nggak laper Delon."
"Lo marah sama gue karena tadi pagi."
Adel terkekeh mendengarnya. "Nggak mungkin Adel marah sama Delon. Delon, kan, udah bantuin Adel. Masa Adel marah sama Delon. Itu namanya nggak tahu diri. Lagian itu juga salah Adel. Makanya tadi pagi Delon kesel sama Adel. Iya, kan?"
"Gue bingung sama lo. Gue udah selalu hindarin lo, udah marah-marah sama lo. Masih aja baik sama gue," cetus Delon bingung.