Satu ucapan manis darimu, mampu membuat hatiku terharu.
Adelon - Ifa Shaffa
"Silka, Gimana? Yunan suka pemberian dari Silka?" tanya Adel.
Kemarin di mal, bukan hanya Adel saja yang membeli hadiah untuk diberikan pada Delon. Tapi juga Silka yang membelikan sebuah sepatu bermerek untuk Yunan. Kecuali Hirva. Karena kalau pun beli, Hirva juga tidak tahu akan ia berikan untuk siapa.
Silka mengangguk tanpa ragu. "Yunan seneng banget, Del. Alhamdulillah. Meskipun awalnya gue ragu, tapi hal yang gue takutin ternyata nggak terjadi. Gue kira Yunan nggak bakal suka. Ternyata di luar ekspetasi."
"Syukur, deh." Adel turut bahagia.
"Delon gimana? Suka sama pemberian, lo?" tanya Silka juga ingin tahu.
Adel mengedikkan bahu dengan wajah lesu. "Adel nggak tahu. Semoga aja suka."
"Kok nggak tahu, sih, Del. Lo, kan, tadi malem langsung ke rumah Delon," cetus Hirva.
"Iya tapi Delon belum jawab."
"Belum jawab gimana?" tanya Hirva penasaran."
Lantas Adel tersenyum. "Pokoknya, entar waktu istirahat, Adel mau nemuin Delon ke kelasnya. Untuk minta pendapat dari Delon. Delon suka nggak sama pemberian Adel."
Hirva dan Silka pun saling lempar pandang ketika mendengar ucapan Adel.
Karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai: Adel, Hirva dan Silka pun menghentikan percakapan mereka.
***
Saat ini Adel sudah berdiri di depan kelas XI IPA 1. Masih belum berani melangkah maju. Kepalanya menoleh ke kanan lalu bergantian menoleh ke kiri. Mencoba memeriksa keadaan.
Sebelum memberanikan diri untuk masuk, Adel lebih dulu mengembuskan napasnya.
Semesta sepertinya memang sedang berpihak dengan gadis itu. Sepasang mata bulat kecilnya memeriksa setiap sudut ruangan. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada satu pemuda yang tengah membaca buku di bangkunya. Tepat, memang pemuda itu yang tengah ia cari.
Dengan langkah hati-hati, Adel pun mendekati pemuda itu.
"Delon, nggak ke kantin?"
Delon tertegun. Terkejut ketika kepalanya mendongak, sudah ada gadis manis yang berdiri di sebelah bangkunya.
"Adel," lirih Delon.
"Adel boleh duduk di sini?" tanya Adel hati-hati seraya menunjuk bangku kosong di sebelah Delon.
Delon mengangguk pelan. Sepasang matanya masih belum lepas menatap gadis itu.
Karena sudah diizinkan, Adel pun duduk di sebelah Delon. Menopangkan dagu dengan tangan kanannya. Membalas tatapan Delon yang belum juga terlepas.
Ah! Iya. Delon baru tersadar dan berhenti menatap gadis itu. Delon pun kini kembali fokus membaca buku.
"Kok, udahan lihatin Adel-nya. Delon malu, ya," celetuk Adel sembari senyum-senyum tak menentu. Posisinya masih sama seperti tadi. Menopangkan dagunya dan serius menatap pujaan hatinya.
"Emang gue lihatin lo?" sahut Delon tanpa menoleh.
Adel mengangguk cepat. "Kan emang Delon lihatin Adel barusan. Lagian di kelas ini cuma ada kita berdua. Jadi Delon nggak bisa mengelak lagi. Delon nggak punya alesan untuk bohongin Adel."
Delon menoleh ke samping. "Gue emang nggak lihatin lo. Gue lihatin yang di belakang lo," papar Delon menunjuk dengan dagunya.
Adel menoleh ke belakang. Mengikuti arah dagu Delon menunjuk. "Nggak ada siapa-siapa, kok." Adel kembali menatap Delon.
"Tadi ada," balas Delon enteng.
Mendadak bulu kuduk Adel berdiri. Adel meneguk air liurnya. Gadis itu bergidik ngeri. Lantas Adel menggeserkan bangku yang ia duduki agar semakin mendekat dengan Delon. Gadis itu sudah merasakan hawa-hawa yang kurang sedap, tapi bukan mi.
"Delon jangan nakut-nakutin Adel, dong," cetus Adel menggigit bibir bawahnya sembari mencengkeram lengan Delon dengan kuat.
"Siapa yang nakut-nakutin, lo. Tuh, masih ada di belakang lo, kok."
"Delon!" pekik Adel refleks memukul lengan Delon.