Untuk sebagian orang, hujan itu membahagiakan. Tapi tidak denganku. Dia penyebab hilangnya kebahagiaan.
Adelon - Ifa Shaffa
Dari kejauhan, Adel dapat melihat sosok yang sangat disukainya. Postur tubuhnya yang menjulang tinggi, kulit putihnya yang jauh dari kata kotor, kedua tangan yang selalu masuk ke dalam saku celana, dan sebuah earphone yang melekat mesra di lubang telinganya, membuat Adel dapat dengan mudah mengenali siapa sosok tersebut.
Adel sendiri tidak ingin terburu-buru untuk menyapa sosok itu. Karena melihat punggungnya dari belakang saja sudah membuatnya bahagia. Biarlah seperti ini saja. Yang terpenting, Adel bisa lebih leluasa untuk menatapnya.
Tapi kali ini dugaan Adel salah. Gadis itu mengira, Delon—seseorang yang diikutinya sejak tadi, akan pergi ke tempat favoritnya. Tempat yang biasa dikunjungi Delon di sekolah. Contohnya saja selain berada di kelas, pemuda itu akan makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, ke taman dan duduk di bawah pohon, atau mungkin duduk di anak tangga. Karena setahu Adel, Adel tidak pernah melihat Delon ikut bermain sepak bola, basket, bermain musik, ataupun ekstrakurikuler lainnya.
Dan saat ini, Delon masih terus berjalan menaiki satu per satu anak tangga. Bahkan ini sudah sampai di penghujung lantai SMA Cendana Utama. Lantai 5.
Adel tertegun dan sedikit terkejut ketika Delon akhirnya menghentikan langkahnya. Sementara Adel masih kokoh berdiri di belakang Delon.
Kepala Delon sedikit menengadah ke atas. Sepasang matanya pun menerawang jauh di langit biru dengan tatapan sendu. Kedua tangannya masih setia bersembunyi di balik saku celana. Sementara senyum tipis di bibir Delon perlahan timbul tanpa sengaja.
"Lo ngapain ngikutin gue dari tadi."
Deggghh...
Jantung Adel tiba-tiba saja berpacu lebih cepat. Bagaimana mungkin Delon bisa tahu kalau Adel mengikutinya? Apakah Delon memiliki indra keenam?
Delon memutar tubuhnya ke belakang. Hingga tatapan yang tadinya sendu, kini berubah menjadi candu. Entahlah. Bagi Adel, tatapan Delon kali ini begitu hangat. Memang tidak ada sedikit pun seulas senyum di sana. Tapi tatapan Delon, sudah mampu membuat Adel terpikat dan seketika melemas tak berdaya. Tatapan itu, sudah mampu membuat Adel menemukan jawaban, kalau Delon tidak marah dengannya.
"Delon tahu aja, ya, tempat yang indah," ucap Adel sambil melangkah maju mendekati Delon.
"Emang tempat ini indah?" tanya Delon semakin dalam menatap mata bulat mungil milik Adel.
Adel mengangguk tanpa ragu. "Banget malah!"
Kini giliran gadis itu yang menengadahkan kepalanya ke atas. Mata dan bibirnya tidak berhenti tersenyum kagum. Bahkan teriknya matahari, tidak menyusutkan Adel untuk terus melihat indahnya pemandangan di sini.
"Kok, Delon suka banget pergi ke atap." Adel berujar tanpa mengalihkan pandangannya menatap langit siang ini.
"Kok, lo suka banget ngikutin gue." Delon justru balik berucap tanpa membalas perkataan Adel
"Karena Adel suka sama Delon, lah!" celetuk Adel menoleh ke samping. Dengan senyum pastinya.
Delon yang memang saat ini berdiri di samping Adel, mengerutkan kening mendengarkan pengakuan gadis itu. Lantas menghela napas berat dan mengubah posisi berdirinya menjadi duduk.
"Karena kata Nyokap kandung gue, kalau pengen merasakan ketenangan dan keindahan, tempat itu adalah di atap," gumam Delon.
"Adel jadi penasaran sama Tante Tesa," papar Adel. "Pasti Tante Tesa orang yang hangat dan penyayang. Beliau juga pasti nggak pernah ngelarang kemauan anak-anaknya, selagi itu hal yang positif. Pasti Tante Tesa di sana bahagia, lihat Delon di sini," sambungnya terdengar begitu tulus.
Delon berdiri dari duduknya. Menatap lekat sepasang mata milik gadis itu. Adel yang merasa diperhatikan oleh Delon, menjadi salah tingkah.
"Maaf, Delon. Tentang ucapan Adel mengenai Mama Delon barusan. Adel nggak bermaksud sok tahu."
Kenapa cuma lo yang sependapat sama gue. Batin Delon.
"Delon nggak marah, kan, sama Adel?" tanya Adel memastikan. Karena orang yang diajaknya bicara masih diam.
Kenapa lo beda sama yang lain. Kenapa cuma lo yang bilang kalau atap adalah tempat yang indah setelah nyokap gue. Sementara orang lain bilang gue aneh.
"Delon! Delon marah sama Adel?"
Delon menggeleng.
Akhirnya Adel bisa bernapas lega ketika mengetahui Delon ternyata tidak marah dengannya.
"Ayo kita balik ke kelas. Bel masuk udah bunyi," ujar Delon melangkah lebih dulu.
Baru berjalan tiga langkah, Delon membalikkan tubuhnya. Dan benar saja, Adel masih diam di tempat. Delon pun memutar kedua bola matanya dan mendekati gadis itu.
"Oik!" Delon menyentil pelan pelipis Adel dengan jarinya.
"Aw." Adel meringis.
"Lo ngapain malah bengong!"
Karena tidak sabaran, Delon pun menggandengan tangan Adel agar ikut berjalan dengannya. Adel sendiri terkejut dengan sikap Delon kepadanya.
***
"Ulangan hari ini gimana, Delon?" tanya Oky.
"Lancar, Ma," sahut Delon seadanya.
"Kamu Reza. Gimana belajarnya hari ini?" Kini giliran Oky bertanya kepada Reza.
"Aman. Ma!" ucap Reza dengan percaya diri.