Jangan terus berlari. Membuatku semakin ingin meraih.
Adelon - Ifa Shaffa
Setelah hampir dua jam kelas XI IPA II mengalami ketegangan karena mengadakan ulangan matematika mendadak, ditambah Pak Zuhri—guru mata pelajaran tersebut yang dikenal sangat Dangerous oleh seluruh murid-murid Cendana Utama, membuat seisi kelas tidak ada yang berani berkutik sedikit pun. Dan karena bunyi bel istirahalah yang menyelamatkan mereka dari ketegangan tersebut. Membuat seisi kelas XI IPA II bisa bernapas lega. Mereka akhirnya bisa lolos dari Pak Zuhri.
Sambil mengantarkan selembar kertas ulangan kepada Pak Zuhri di meja, murid-murid XI IPA II langsung berjalan keluar kelas. Karena Pak Zuhri sudah mengizinkan kepada murid yang sudah menyelesaikan ulangan matematikanya.
"Del, di antara semua temen-temen di kelas tadi, cuma muka lo doang kayaknya yang nggak tegang. Malah senyum-senyum nggak nentu." Hirva mulai mengoceh sambil berjalan ke arah kantin. Saat ini, mereka sudah berada di luar kelas.
"Hirva, kenapa harus tegang? Menurut Adel, Pak Zuhri itu biasa aja. Mukanya doang yang serem." Adel menyahut dengan santai. "Silka setuju nggak sama Adel?" Adel pun meminta pendapat pada Silka yang berjalan di sebelah kirinya. Karena saat ini, Adel sedang diapit di antara Hirva dan Silka.
"Hemm." Silka nampak berpikir. "Tapi untuk kali ini, gue setuju sama Hirva, sih, Del."
"Tuh, kan! Silka aja setuju sama gue, Del." Hirva bangga karena merasa kali ini Adel kalah telak.
"Iiiih. Silka nggak asyik!" Adel manyun.
"Sayang, mau ke kantin?"
Di pertengahan jalan menuju kantin: Adel, Hirva, dan Silka terpaksa menghentikan langkahnya juga obrolannya ketika dihadang oleh tiga pemuda yang baru saja keluar dari kelasnya. Iya, saat ini tiga gadis itu memang melewati kelas X IPS I.
"Eh. Yunan. Iya, kita emang mau ke kantin," sahut Silka ramah. Ternyata seseorang yang tadi menyapa itu adalah Yunan. Kekasih Silka yang baru dipacari selama tiga bulan. "Kamu mau ke kantin juga?" lanjut Silka bertanya.
"Iya. Tapi kita mau ke kelas XI dulu. Nih, hapenya Reza tadi dipinjem sama abangnya," papar Yunan dengan mendongakkan sedikit dagunya ke arah Reza yang tepat berdiri di sebelahnya.
"Oh, gitu. Ya udah. Aku duluan, ya. Mau dipesenin dulu, nggak?" tawar Silka.
"Nggak, deh. Entar ngerepotin kamu lagi," tolak Yunan dengan halus.
"Okeh. Daa.."
"Daa. Hati-hati, jangan nyasar ke kantinnya. Kalo nyasarnya ke hati aku, ya, nggak apa-apa, sih."
"Woooo!!" sorak Reza dan Kafka bersamaan.
Lain hal dengan Silka yang hanya tersenyum manis dan kembali mengajak kedua temannya berjalan.
"Oh. Jadi itu pacarnya Silka? Cakep. Cocok. Nggak kelihatan, kok, kalo dia berondong," ujar Adel yang memang baru pertama kali melihat kekasih Silka. "Tapi, kok, kalo lihat temennya siapa pacar kamu, Sil?" Adel tiba-tiba lupa.
"Yunan." Silka menjawab.
"Ahh, iya, Yunan. Kalo lihat cowok yang berdiri di sebelah kanan Yunan tadi, kayak siapa gitu? Tiba-tiba ngingetin Adel sama seseorang."
"Ah, lebay lu!" jawab Hirva asal
Saat ini mereka bertiga sudah tiba di kantin. Tidak terasa, perjalanan yang dibarengi dengan kicauan tidak berfaedah, membuat mereka bertiga tidak menyadari kalau sudah berada di tempat berkumpulnya murid-murid yang sudah menahan cacingnya di dalam perut sejak tadi.
Akhirnya mereka pun duduk di kursi kantin setelah sudah mendapatkan kursi kosong masing-masing. Karena kalau bangku kosong, terdengar sedikit horor.
"Beneran. Kayak lihat siapa, gitu?"
"Reza maksudnya?" Silka menebak.
"Iya mungkin namanya Reza. Adel nggak tahu."
"Oh. Mungkin maksud lo Delon kali. Kan Reza itu adiknya Delon. Makanya mirip." Hirva memberi tahu.
"Hah! Serius?!"
Pekikan Adel yang nyaring, membuat seisi kantin yang tadi riuh, mendadak hening dan kini Adel menjadi pusat perhatian akibat ulahnya sendiri. Gadis itu pun segera menutup mulut dengan kedua telapak tangannya dan menunduk malu. Keadaan kantin pun kembali bervolume seperti sedia kala.
"Lo, sih, kalo denger kata Delon aja. Langsung heboh!" Hirva nyolot.
"Iya maaf. Kan Adel nggak sengaja. Hehe," ucap Adel sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Udah-udah. Kalo berdebat terus. Kita entar nggak makan-makan sampai bel masuk bunyi." Silka menengahi. "Kalian mau pesen apa?" sambungnya.
"Adel mau bakso aja. Nggak pake mi. Terus nggak usah pake yang besar, bakso kecil-kecilnya aja. Soalnya kalo baksonya besar, Adel nggak sanggup nelennya."