Adhisti

Komorebi
Chapter #1

Anak Diplomat

Setahun lalu ...

Adhisti merengut kesal mendapati wajah-wajah baru di hadapannya. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya dia pindah sekolah, bahkan pindah tempat tinggal, sekaligus pindah negara. Karena pekerjaan ayah sebagai seorang diplomat, Adhisti terpaksa mengikuti kemanapun ayahnya ditugaskan.

Tahun ini, Thailand akan menjadi tempat tinggal sementara bagi Adhisti yang sudah duduk di kelas tiga SMP. Dengan langkah malasnya, Adhisti berjalan menuju sebuah kursi kosong yang ada di pojok paling belakang.

"Hai," sapa Adhisti pada seorang cowok bertubuh kurus, tapi tak diacuhkan.

Adhisti menghela napas dan langsung duduk untuk mengikuti pelajaran.

Tahan, Dhis. Bentar lagi juga pindah. Tenang aja.

Hari pertama sekolah Adhisti di SMP Thailand tidak ada yang istimewa, sama seperti yang sudah-sudah. Ketika bel pulang berbunyi, Adhisti langsung pulang dengan naik tuk-tuk. Jarak antara sekolah dan rumah dinas ayah tidak terlalu jauh, hanya 15 menit perjalanan dengan kendaraan khas kota Bangkok ini.

"Eh, anaknya Bunda udah pulang. Gimana sekolah barunya?" sapa Bunda yang membukakan pintu untuk Adhisti.

"Ya gitu aja. Kayak biasanya. Tempat baru, wajah-wajah baru, dan tentunya mesti adaptasi, kan suka enggak suka."

Adhisti melepas sepatunya, lalu melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. "Bunda, ayah kapan pensiunnya, sih?"

Bunda tersenyum mendengar pertanyaan putrinya. Beliau paham keinginan putrinya yang sudah bosan terus-terusan pindah sekolah. Bunda melangkah, lalu mengelus puncak kepala Adhisti.

"Masih lama, Sayang," jawab Bunda dengan wajah memelas yang dibuat-buat.

"Yah, kasihan nenek dong. Mesti ditinggal terus."

"Kasihan nenek atau kasihan kamu?"

Adhisti meringis. "Ya dua-duanya. O iya, Bunda, SMA nanti, aku boleh di Indonesia aja, enggak?"

"Kamu mau tinggal dimana, Sayang?"

"Kan ada nenek. Aku bisa tinggal di sana, sekalian nemenin nenek."

Bunda kembali tersenyum. "O iya, ngomong-ngomong soal nenek. Tadi nenek telepon, katanya kangen sama kamu. Gih, sana telepon dulu."

"Tuh, kan. Ya, Bunda ya, SMA di Indonesia ya?"

Bunda terlihat berpikir sejenak. Bukannya tidak mengizinkan, bunda hanya khawatir jika Adhisti hanya tinggal berdua dengan neneknya. Siapa yang akan menjaga mereka di Indonesia, jika kedua orang tuanya sibuk di negara lain.

"Ya, Bunda," rengek Adhisti lagi.

"Kita bicarakan lagi nanti ya sama ayah."

"Bener?"

Bunda mengangguk. Melihat jawaban bunda, Adhisti segera masuk ke kamar untuk mengganti baju seragamnya dengan baju rumahan, setelahnya langsung meminjam ponsel bunda untuk menghubungi nenek.

Ketika Adhisti sedang asyik mengobrol dengan nenek, menumpahkan segala keluh kesahnya, ayah pulang. Ternyata beliau tidak sendiri, di belakangnya seorang pria yang sepertinya seumuran dengan ayah turut masuk dan menyapa bunda. Sepertinya itu teman ayah, melihat bagaimana akrabnya ayah mengobrol tentang masa lalu mereka saat masih sama-sama kuliah di Inggris.

"Adhisti," panggil Ayah, saat mendapati anaknya tidak lagi sedang berbicara di telepon. "Sini sebentar, Nak. Salim dulu sama Om Bimo dan Tante Wulan."

Adhisti menyalami kedua orang asing yang bertamu ke rumahnya sore ini. Sepertinya tidak asing, tapi tetap saja Adhisti tidak bisa mengingat dimana rasa-rasanya pernah melihat Om Bimo dan Tante Wulan.

"Kamu lupa sama Om Bimo dan Tante Wulan?" tanya Ayah.

Adhisti mengangguk sebagai jawaban.

"Om Bimo ini tetangganya nenek."

"Tetangga?"

"Iya, yang rumahnya sebelahan sama rumah nenek. Masa kamu lupa, sih?"

Adhisti terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, walaupun sebenarnya dia tidak benar-benar mengingat siapa Om Bimo dan Tante Wulan ini. Setelah mengobrol sebentar tentang sekolah, Adhisti izin undur diri untuk mengerjakan PR yang sudah didapatnya di hari pertama masuk sekolah.

-----------------------

"Sayang," panggil Bunda seraya mengusap kepala Adhisti, membangunkan gadis itu yang ketiduran saat mengerjakan PR-nya. "Ayo makan dulu. Nanti dilanjut lagi ngerjain PR-nya."

Masih sambil mengucek matanya, Adhisti mengangguk. "Udah selesai, kok. Tadi aku kecapean aja, Bun."

"Ya udah, makan dulu, yuk. Udah ditungguin sama yang lain."

Adhisti langsung beranjak mengikuti langkah bunda menuju ruang makan, ternyata Om Bimo dan Tante Wulan ikut makan malam di rumah.

"Udah, nginep sini aja. Itu banyak kamar kosong. Besok pagi gue anter ke tempat lo ambil bahan," tawar Ayah sambil menyendok nasi ke piringnya. "Ayolah, Bim. Kita ngobrol, cerita-cerita gimana akhirnya lo bisa sama Wulan."

Adhisti melirik sekilas ke arah Om Bimo. Pria itu tersenyum dan menatap istrinya untuk meminta persetujuan atas tawaran ayah. Lalu Tante Wulan mengangguk sebagai jawaban, membuat ayah tersenyum bahagia dan kembali menawari kawan lamanya itu lauk pauk yang dimasak sendiri oleh bunda.

"Ehm, Ayah," panggil Adhisti, ayah menoleh padanya. "Tadi nenek telepon. Katanya kangen sama Adhis."

"Hm, terus kamu udah telepon balik?"

Adhisti mengangguk. "Udah. Ehm, Ayah."

Ayah kembali menoleh menatap Adhisti.

"SMA nanti, Adhis boleh di Indonesia, enggak?"

"Kenapa? Kamu enggak suka sekolah di sini? Ada yang jahatin kamu di sekolah?"

Adhisti menggeleng. "Enggak ada. Tapi Adhis pengen sekolah di Indonesia, Yah."

"Nanti kalau Ayah kangen sama kamu gimana?"

"Ya, Ayah kan bisa terbang ke Indonesia. Lagian kasihan nenek, enggak ada yang nemenin. Kalau nenek kan udah enggak bisa lama-lama naik pesawat dan perjalanan jauh, Yah."

"Siapa yang nanti jagain kamu sama nenek?"

Lihat selengkapnya