Adhisti

Komorebi
Chapter #2

Tetangga Baik Hati

Bangku di pinggir lapangan basket komplek perumahan, kini menjadi tempat favorit Adhisti menghabiskan sorenya. Dari pinggir lapangan, dengan ditemani oleh Rayaa, Adhisti memberi semangat pada seluruh anggota tim basket calon sekolahnya kelak. Tidak ada salahnya, kan? Namun, Adhisti tidak lagi menemukan cowok yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan di lapangan basket di kala sore itu. Nara.

Bukannya Adhisti tidak berani bertanya pada Rayaa ataupun Genta, tentang kemana perginya Nara. Dia hanya malas saja menjelaskan alasannya, jika dua bersaudara itu penasaran mengapa Adhisti mencari-cari Nara. Bisa jadi bahan olokan, kalau sampai Rayaa dan Genta tahu bahwa Adhisti menyukai Nara, bahkan berkenalan saja belum, tapi Adhisti sudah berani menyukai Nara.

Akhirnya dengan langkah gontai, Adhisti kembali ke rumah. Sesampainya di sana, dia melihat nenek menyiram bunga di pekarangan rumah. Sedangkan bunda dan ayah sedang bersiap dengan koper untuk berangkat ke bandara. Setelah semuanya sudah masuk ke mobil, satu keluarga itu melaju menuju bandara bersama sopir pinjaman dari tetangga sebelah yang baik hati.

Sepanjang perjalanan, bahkan sampai di bandara sekalipun, Adhisti tidak melepaskan pelukannya pada bunda. Sampai-sampai bunda sedikit memaksa melepaskan diri, saat beliau kesulitan mengangkat kopernya. Sedangkan ayah tidak henti-hentinya menggoda Adhisti agar putrinya berubah pikiran dan ikut ke Spanyol.

"Jaga nenek baik-baik, ya," pesan Bunda. "Pesen Bunda sama Ayah cuma satu, Sayang. Kami kasih kamu kepercayaan penuh, jangan kecewakan kami, ya."

Adhisti mengangguk. "Iya, Bunda."

"Yakin kamu enggak pengen ikut ke Spanyol? Nanti bisa nonton bola, lho."

"Ih! Ayah kok nanyain terus sih. Keputusan Adhisti tetap sama, enggak."

Ayah tertawa melihat Adhisti kesal. Sungguh, ayah akan sangat merindukan ini. Merindukan menggoda putrinya sampai bibir Adhisti monyong saking kesalnya. Namun ayah juga sadar, bahwa tidak selamanya ayah bisa mengekang keinginan Adhisti. Namun, selamanya Adhisti akan menjadi putri kecil ayah.

Setelah mengobrol sambil terus memeluk bunda, akhirnya perpisahan antara Adhisti dan kedua orang tuanya tiba. Mereka kembali saling peluk, dan bunda kembali mengingatkan pesan untuk putrinya. Meskipun tinggal di Indonesia adalah keinginan Adhisti, tapi berpisah dengan orang tuanya, ini adalah kali pertamanya. Sehingga dirinya tidak lagi kuasa menahan air matanya.

"Pengen nyusul?" goda Nenek.

"Ih ... Nenek sama kayak ayah!" kesal Adhisti.

"Ya, ayah kan anaknya Nenek."

Adhisti melengos, menoleh kembali ke arah bunda dan ayah yang sedang mengantri pemeriksaan X-ray koper, sebelum akhirnya menghilang masuk ke bagian check-in. Bersama dengan nenek, Adhisti kembali ke rumah, dan sampai saat jam makan malam.

Om Bimo sudah menunggu di halaman rumahnya, menanti Adhisti dan nenek untuk mengajaknya makan malam bersama di kafe milik Tante Wulan. Kebetulan hari ini adalah hari peluncuran menu dessert baru. Adhisti dan nenek tidak sampai hati menolak ajakan tetangganya yang sudah banyak membantu ini, akhirnya mereka turut di mobil Om Bimo.

"Jangan sedih," hibur Rayaa seraya memeluk Adhisti. "Kalau lo kesepian, main aja ke rumah. Ada Mas Genta sama Gunung."

Adhisti mengangguk.

"Iya kan, Mas?" Rayaa menoleh pada Genta yang duduk di kursi belakang. "Adhisti ini saudara gue ya! We're sister!"

"Berisik."

Raya mencebik melihat reaksi kakaknya yang kesal.

"Tenang aja, Mas Genta. Gue enggak bakalan gangguin lo, asalkan lo bantuin gue ngerjain tugas sama PR," kekeh Adhisti.

"Bagus!" dukung Rayaa. "Tuh, Mas! Bantuin ngerjain PR!"

Genta melengos. Satu Rayaa saja sudah membuatnya pening setengah mati setiap ke sekolah. Sekarang ditambah lagi dengan hadirnya Adhisti, yang sifatnya tidak jauh beda dengan Rayaa. Menyebalkan dan berisik. 

"Mas tenang aja, kalau Kak Adhis rese, ntar biar aku kunciin di kamar mandi. Biar kayak Kak Rayaa dulu."

Genta menoleh dan langsung mengajak adik laki-lakinya ber-high five.

"Gunung, ntar enggak aku beliin tomica sama permen lagi lho."

"Eh? Kok gitu, Kak Dhis? Jangan dong. Duh, gimana ya?" bimbang Gunung yang membuat Adhisti dan Rayaa tergelak, sedangkan Genta jadi semakin kesal dan langsung menjitak kepala Gunung.

"Wulan enggak ikut, Bim?" tanya Nenek yang duduk di kursi penumpang depan.

"Wulan udah duluan di sana dari siang, Nek. Mesti siap-siapin buat acara malam ini."

"Bukannya ada Putri?"

"Putri lagi mudik ke rumah mertuanya di Perancis, Nek."

"Owalah, pantesan akhir-akhir ini, aku lihat Wulan jarang di rumah."

Tak berapa lama kemudian, mobil Om Bimo sudah berbelok memasuki pelataran parkir sebuah kafe yang ramai pengunjung. Adhisti melongok keluar dan menatap takjub pada bangunan kafe di hadapannya. Kafe yang mengingatkan dia dengan Perancis. Mulai dari eksterior, interior, sampai ornamen tukang cukur berputar yang sering terlihat di luar babershop, membuatnya serasa di salah satu kafe di kota Paris.

"Perancis banget ya, Om!" seru Adhisti. "Jadi kangen, deh pengen ke sana lagi."

"Soalnya Tante Wulan lulusan Cordon Bleu."

"Wow! Aku jadi enggak sabar pengen nyobain dessert bikinan Tante Wulan."

"Yuk! Masuk dulu, sambil bantu-bantu nyiapin di dalem sebelum acara dimulai."

Adhisti mengangguk semangat. Kemudian sembari berangkulan dengan Rayaa, keduanya melangkah masuk ke kafe yang ternyata terhubung dengan bangunan toko roti di sebelahnya. Genta dan Gunung bergantian membantu Tante Wulan dan pegawainya mengeluarkan loyang-loyang yang berisi roti untuk disajikan pada para tamu. Sedangkan Adhisti, Rayaa, dan nenek menata meja dan kursi.

"Halo, Adhis. Tante kira, Om Bimo enggak berhasil bujuk kamu buat ikut," sapa Tante Wulan. "Kamu kalau mau ambil roti atau minuman, ambil aja ya. Sekalian buat nenek. Tante tinggal ke dapur lagi, ya."

"Iya, Tante. Makasih."

Pukul delapan tepat, acara peluncuran menu dessert baru kafe Tante Wulan dimulai. Para tamu undangan yang kebanyakan adalah kolega bisnis dan teman sekolah Om Bimo dan Tante Wulan mulai berdatangan dan segera mengambil tempat duduk sesuai dengan nama mereka yang tertera di meja masing-masing. Acara selanjutnya adalah sambutan dari Tuan Rumah, dilanjutkan dengan acara utama yakni ramah tamah dan penyajian menu dessert baru.

"Enak banget!" seru Adhisti setelah suapan pertama. "Kalau lulusan Cordon Bleu, enggak usah diraguin lagi!"

"Makasih lho atas pujiannya, Tante jadi malu," ujar Tante Wulan dengan rona merah di pipinya.

Lihat selengkapnya