ADIBA

Noura Publishing
Chapter #1

Si Gorila

“Adiba …!” panggil Ufaira, gadis berambut ikal yang tempat tidurnya berada tepat di bawah rak Adiba, sembari tangannya mengguncang-guncang tubuh Adiba dengan kuat.Yang diguncang menggeliat. Tanpa membuka mata.

“Diba, bangun! Nggak dengar suara gedumprengan itu apa?” Ufaira semakin kuat mengguncang bahu Adiba. Hasilnya sama saja, Adiba tetap tak membuka mata.

“Biarin aja Diba nggak bangun. Biar kena guyur air pancuran!” seloroh Sania sambil sibuk mengemas mukena dari dalam lemari.

Suara berisik dari pukulan simbal semakin mendekat. Artinya Kyai Ahmad, laki-laki paruh baya yang bertugas membangunkan santri malam ini, sudah hampir sampai ke kamar. Ufaira mendekati jendela dan membuka sedikit tirai. Mengintip keluar. Tangan kiri Kyai Ahmad menenteng sebuah ceret. Benar apa kata Sania. Siap-siap saja bagi santri yang tidurnya lelap, pasti bakalan kena siram air ceret yang selalu dibawa Kyai Ahmad saat keliling membangunkan para santri di pagi buta.

“Dibaaaa …!!” Ufaira memukul paha Adiba geram.

Spontan Adiba terduduk. Mengucek-ucek mata. Rambutnya yang lurus dan tergerai panjang tetap tampak indah meski baru bangun tidur. Dengan mata merah, gadis cantik berwajah menggemaskan itu mengamati sekeliling. Lima temannya tampak telah siap. Mereka sudah mengenakan jilbab dan menggamit mukena.

Kamar yang dihuni Adiba hanya diisi enam orang. Masing-masing berasal dari daerah yang berbeda. Ufaira, sahabatnya yang paling akrab berasal dari Yogyakarta. Sania, berasal dari Jakarta. Jihan berasal dari Kalimantan. Lela dari Riau. Dan Surti dari Solo. Adiba sendiri rumahnya tak jauh dari pondok pesantren. Sementara kamar yang lain, mayoritas dihuni oleh sembilan orang.

Kamar cukup luas. Dengan tempat tidur berupa rak tingkat. Bagian yang paling bawah nggak perlu ngomel bila yang tidur di atas tak sengaja buang angin. Risiko.

Adiba tersenyum kecut. Menyadari dirinya selalu bangun paling akhir. Bahkan hampir setiap pagi ia selalu ketinggalan mendengar azan Shubuh. Sepeninggalan orang yang bertugas keliling membangunkan santri, biasanya Adiba akan ambruk lagi. Mapan bobok. Tanpa peduli kelima temannya protes melihat kelakuannya.

Tok tok ...!

Pintu diketok dari luar. Ufaira langsung membuka. Kyai Ahmad masuk.

“Udah bangun semua, Kyai,” celetuk Adiba sekenanya. Suaranya masih lemas. Diliriknya jam di dinding. Pukul 04.10.

Kyai Ahmad mengamati satu per satu, lalu pergi menuju kamar sebelah.

Begitulah, setiap menjelang Shubuh, minimal ada lima atau enam pengurus yang keliling pondok bertugas membangunkan para santri. Dan tentu saja, pengurus yang mempunyai jadwal membangunkan santri harus bangun lebih awal.

“Aman!” lirih Adiba sepeninggalan Kyai Ahmad. Kembali membanting tubuh ke kasur. “Diba, bisa nggak sih ngilangin kebiasaan jelekmu itu? Bangun, dong! Susah banget sih bangun pagi.” Ufaira mulai kesal. Sahabat Adiba yang satu itu memang paling perhatian dengan segala sesuatu tentang Adiba. Yaaa … meski terkadang ia geram jika Adiba kerap melakukan kesalahan di pondok.

Adiba bangkit dengan gerakan lambat. Mengemas segala keperluan untuk shalat berjamaah. Sajadah, Al-Quran, dan tas putih tanpa mukena. Ufaira tetap menunggu meski dengan wajah manyun. Sementara yang lain beranjak melangkah ke luar kamar menuju masjid terlebih dulu.

Allâhu akbar ... Allâhu akbar .... Suara azan mulai berkumandang melalui speaker masjid. Suara khas Rifqi, santri terpilih yang ditugaskan sebagai muazin.

Adiba masih saja membolak-balikkan isi lemari. Sepertinya yang ia cari tak ditemukan.

“Mukenaku mana?” tanya Adiba pada Ufaira.

Yang ditanya mengerutkan kening. Heran. “Kamu yang punya kok malah nanya ke aku, sih. Emang di mana naruhnya?”

“Di sini. Kayak biasanya.” Adiba menunjuk kotak lemari. Dengan wajah bingung ia kembali mengaduk isi lemari hingga membuat pakaian berantakan.

“Hayya ‘alash shalâh ….” Suara azan nyaring terdengar.

“Cepat dong Diba. Nanti kita telat.” Ufaira tak sabar.

Adiba tetap sibuk pada pekerjaannya.

Akhirnya Ufaira membantu mencari. Di lemari, di gantungan, dan di balik pintu.

“Nah, ini apa?” Ufaira menunjuk mukena yang digantung di balik pintu. Mukena paling khas yang tak akan mungkin tertukar. Ada gambar unyil di sekeliling bawah dekat bordiran.

“Pasti kerjaan Sania. Ia yang taruh di situ, biar aku bingung nyariin.” Adiba menyeletuk.

Memang, Adiba, putri bungsu dari K.H. Abdurrahman Ilyas itu adalah santri paling muda di antara santri-santri lainnya. Di usianya yang baru empat belas tahun ia telah menginjak kelas dua setingkat Sekolah Menengah Atas, sementara yang lain lebih tua darinya. Minat sekolah sangat tinggi. Membuat orang tuanya tak bisa mengelak ketika ia merengek meminta masuk sekolah dasar padahal usianya waktu itu baru empat tahun. Terpaksa Ayah menuakan data umurnya pada saat pendaftaran. Hasilnya sempurna. Ia selalu menyandang titel juara kelas. Kecil-kecil cabe rawit. Daya tangkap otaknya sangat cepat. Tapi usilnya juga tak diragukan. Sering membuat ulah di pesantren. Terkenal jail, tapi ngangenin. Mulutnya ribut terus. Daan … menggemaskan. Teman-teman sekamar sudah pernah merasakan kejailan Adiba. Jika sudah kena keusilannya, mereka hanya bisa bilang, “Iiih … Diba iseng bangeeeet!!!”

Pernah, suatu ketika, Sania merebahkan tubuh di ranjang dan menyelinap masuk ke balik selimut. Tiba-tiba ia merasakan ada benda bergerak-gerak di dalam selimut menyenggol-nyenggol badannya. Sania menjerit-jerit ketika menyingkap selimut dan melihat seekor katak hijau menggelikan terus bergerak-gerak ke arahnya. Spontan ia jingkrak-jingkrak lompat ke sana-sini.

Gelak tawa pun meramaikan seisi kamar asrama. Jihan, Lela dan Surti sampai hampir menangis saking kelamaan tertawa. Adiba menahan tawa. Sania nyengir. Malu, kesal, campur aduk. Mukanya merah. Sebab setelah diperhatikan, ternyata itu hanyalah katak mainan. Pantas saja gerakannya cuma angguk-angguk dan maju sedikit-sedikit saja. Ia tak perlu bertanya lagi siapa yang ngerjain. Matanya langsung mengarah ke Adiba. Wajah cantik Adiba pun kena timpuk bantal. Hadiah dari tangan Sania.

Sementara Jihan, saat makan malam bersama di kamar, kepalanya langsung pusing tujuh keliling begitu menyeruput air putih di tengah-tengah mengunyah nasi. Bagaimana tidak? Air putihnya mendadak jadi asin. Lebih asin dari air laut.

“Hmmh … Adibaaaaa ….” Jihan mencubit pipi Adiba yang seperti bakpau. Yang dicubit malah tertawa.

Nah Lela, kebetulan ia mimpi buruk. Melihat pocong yang melompat-lompat ke arahnya. Wajah pocong itu menyeramkan. Mengerikan. Itulah akibat lupa baca doa saat hendak tidur. Begitu bangun, rasanya mimpi itu jadi kenyataan. Ada pocong menggantung di depan wajahnya. Tapi anehnya, pocong itu berukuran kecil seperti bayi. Beda dengan pocong yang ada di alam mimpinya tadi, tampak besar seukuran dengan orang dewasa. Lela langsung meloncat turun dari ranjang. Menjerit ketakutan. Bikin heboh seisi kamar. Semuanya mendadak bangun.

Lha, ternyata itu bukan pocong. Tapi boneka yang dibungkus kain putih dengan ujung kepala dan kaki diikat dan digantung pada tulang atas rak ranjang. Persis kayak pocong sedang menggelantung.

Kalau sudah begini, semuanya serentak memandang Adiba. Yang dipandang pura-pura tidak tahu. Lela langsung menggelitiki Adiba sebagai bentuk hukuman.

Dan Surti, gadis asal Solo itu juga pernah dikerjain Adiba. Usai mandi, ia sibuk mencari-cari ke mana pakaian miliknya. Semua pakaian mendadak hilang tak berbekas. Satu pun tak ada yang tersisa. Ia takut ada sebangsa makhluk halus yang menggondol. Lama-lama orangnya yang digondol. Maklumlah, remaja asal Solo itu masih saja menyukai hal-hal berbau mistik. Sedikit-sedikit selalu dikaitkan dengan hal gaib. Ternyata pakaian itu ditemukan dalam bungkusan plastik hitam di atas lemari.

Dan Ufaira, sahabat Adiba yang paling akrab itu jelas bukan hanya sekali atau dua kali menerima ulah konyol Adiba yang ujung-ujungnya menimbulkan gelak tawa.

Itulah Adiba. Usilnya bukan main. Tanpa Adiba, tak terbayang bagaimana sepinya kamar itu.

Tapi bukan cuma usil, bandel iya juga. Tak heran, Adiba sering mendapat hukuman. Membuat K.H. Abdurrahman Ilyas yang dikenal dengan panggilan Haji Ilyas itu marah besar bila mendengar putrinya mendapat hukuman. Bagaimana tidak, masa sih anak seorang Kiai Haji yang disegani masyarakat, terpandang dan terhormat sering dihukum di pesantren?

Ash-shalâtu khairum minan-naûm .... Suara Rifqi membuat para remaja bergerak lebih cepat menuju masjid. Sebagian berlari kecil memenuhi panggilan hati.

Dengan langkah lebar, Adiba berlari mengejar Ufaira yang telah meninggalkannya. Sesekali tangan kanan merapikan jilbab yang dipasang asal-asalan. Sementara tangan satunya menggamit mukena.

Ribuan santri berjalan menyerbu tempat pengambilan wudhu. Baik santriwati maupun santriwan. Tempat ber­wudhu untuk santriwan dan santriwati terpisah dengan jarak beberapa meter. Pada jalan menuju masjid, antara jalan yang khusus dilewati santriwati dan santriwan dibuat tanda pemisah yang terbuat dari kawat. Sehingga mereka tidak tersenggol atau bertabrakan. Satu hal yang membuat masjid jadi kelihatan indah, yaitu kebersihan. Masjid selalu rapi, bersih, dan terawat.

Ada pemandangan yang menarik perhatian ketika memasuki masjid, di sisi tembok sebelah kanan terdapat tulisan:

Wahai umat Rasulullah, mari shalat berjamaah!!!

Keutamaan pahala shalat berjamaah setinggi 27 derajat.

Antara santriwati dan santriwan menempati gedung asrama yang berbeda. Jaraknya tidak jauh. Masih satu kompleks. Hanya dipisahkan oleh masjid.

Pondok pesantren sudah berdiri sebelum kemerdekaan. Menampung ribuan santri, puluhan pengurus dan pengajar beserta keluarganya. Menerapkan peraturan tegas yang berlaku untuk santri, baik yang masih berstatus siswa, atau yang sudah menjadi mualim dan pengurus.

Bangunan terletak di atas tanah seluas lima hektar. Fasilitas lengkap. Terdiri dari kantor pondok dua lantai, bangunan parkir enam lantai, gedung aula wali tiga lantai, asrama putra 70 kamar tiga lantai, asrama putri 90 kamar tiga lantai, masjid tiga lantai, kamar tamu pria, kamar tamu perempuan, gedung pengajian, rumah para pengasuh dan pengajar, unit kesehatan, dapur asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga, dan masih banyak lainnya. Itulah pesantren besar di Jawa Timur yang sudah diakui kelebihannya. Tujuannya tak lain untuk mencetak para pendakwah Islam.

Di samping menerima pelajaran ilmu-ilmu agama, para santri juga diberi bekal keterampilan sesuai dengan bakatnya, seperti keterampilan menjahit atau bordir, pertukangan kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan masih banyak lainnya. Dengan demikian, setelah mereka lulus dari pondok diharapkan tidak menggantungkan diri pada keluarga dan orangtua sehingga bisa hidup mandiri.

Para santri berbaris rapi dalam saf. Shalat berjamaah diimami oleh Drs. K.H. Muhammad Iqbal, S.H., salah satu pengasuh pesantren yang sangat disegani para santri karena kewibawaannya. Suaranya dalam membaca ayat suci Al-Quran juga sangat bagus. Bikin merinding bila mendengar. Beliau adalah teman akrab ayah Adiba.

Usai shalat, suara nyaring pengajian pun mendengung meramaikan masjid. Tapi ada pemandangan yang tidak sedap. Adiba tertidur. Ufaira yang duduk di sisi Adiba menjulurkan tangan hendak meraih tubuh Adiba untuk membangunkan, tapi terlambat. Bola mata Kyai Ahmad yang saat itu berkeliling lebih dulu mendapati Adiba tidur terlelap. Ufaira menarik ulur tangannya.

Dalam hitungan detik saja Kyai Ahmad telah berdiri di dekat Adiba dengan wajah sangar. Lalu mengetuk bahu Adiba dengan tongkat yang selalu dibawa.

Spontan Adiba terbangun. Nyengir. Meringis. Memamerkan sederet barisan gigi kecil-kecil yang putih. Kyai Ahmad mengayunkan tongkatnya ke atas. Adiba paham dengan isyarat itu. Ia segera berdiri. Ini sudah kesekian kalinya ia tertidur saat pengajian. Hukuman yang sudah-sudah adalah menghafal sebuah Surah Al-Quran yang cukup panjang. Semuanya bisa dikerjakannya dengan baik. Karena memang otaknya begitu mudah mengingat. Terakhir, karena ia tampak tak jera tertidur ketika pengajian, maka hukumannya menghafal Surah Al-Baqarah. Waaoow … surah paling panjang di kitab suci Al-Quran. Dan itu belum selesai dihafal, bagaimana ia harus menghafal surah berikutnya bila kali ini mendapat tambahan hukuman yang sama?

Santri di belakang yang menyaksikan kejadian itu menahan tawa.

Adiba melirik Ufaira. Yang dilirik tak bisa berbuat apa-apa, cuma bisa geleng-geleng kepala. Adiba mendengus. Cemberut bin manyun. Capek deh berdiri sampai pengajian selesai. Inilah salah satu alasan yang membuat Adiba tak setuju ketika ayahnya mendaftarkannya di pondok pesantren. Sifat pendidikannya nyaris berdenyut seperti nadi, tanpa henti. Kecuali saat tidur malam. Adiba sering mengeluh ngantuk. Pukul sepuluh malam baru diperbolehkan tidur. Jadwal bangun seperempat jam sebelum azan shubuh. Sementara pukul dua dini hari juga dibangunkan untuk melaksanakan shalat tahajud atau shalat hajat. Sebab di saat itulah waktu yang tepat dan mustajab untuk berdoa. Fuuiih … Adiba merasa itu lebih parah dari kerja paksa. Sebenarnya enggak, toh santri lain sanggup menjalaninya. Hanya saja, Adiba kadung tak suka dengan rutinitas itu.

Adiba ingin menghirup udara bebas seperti Syifa, tetangga rumah yang bersekolah di SMA swasta. Sepulang sekolah, Syifa bisa bebas bermain bersama teman-teman. Waktu untuk istirahat malam cukup panjang. Syifa juga bebas bermain handphone, berhubungan dengan media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan sebagainya.

Sementara di pondok, Adiba bagaikan berada dalam penjara. Tidak diperbolehkan membawa HP. Membuatnya merasa seperti burung di dalam sangkar. Terkadang ia bertanya, bagaimana seseorang akan mampu melakukan sesuatu bila apa yang dikerjakan tidak sesuai dengan kemauan? Bagaimana seseorang akan berhasil bila usaha tidak didasari dengan keinginan?

Memang, sejauh ini ia tetap memiliki nilai mata pelajaran yang bagus. Bukan kemauan yang membuat nilai pelajarannya tetap bagus, tapi otaknya yang encer yang membuatnya tak perlu kesulitan menangkap pelajaran.

Pukul setengah enam pengajian selesai. Semuanya kembali ke asrama masing-masing.

Adiba meraih handuk dan berlari ke kamar mandi. Itulah kebiasaannya, harus mandi terlebih dahulu baru bisa sarapan. Begitu juga dengan Ufaira. Untuk urusan yang satu itu mereka memiliki kebiasaan yang sama. Jika mereka tidak kebagian kamar mandi, mereka akan tetap bertahan mengantri. Meski harus mengantri cukup lama dalam antrian panjang. Sementara yang lain ada yang sarapan dulu. Sebab jika semuanya menyerbu kamar mandi, maka antrian bakalan panjang banget dan waktu tak akan cukup. Keburu masuk jam belajar.

Yang lucu, terkadang antrian di kamar mandi tidak ditunggui oleh orang yang akan memasuki kamar mandi. Tapi cukup diwakili kotak sabun dan peralatan mandi yang dionggokkan di depan kamar mandi. Sistem itu terkadang tidak efektif karena kadang diserobot yang lain.

Adiba dan Ufaira saling pandang ketika melihat semua pintu kamar mandi tertutup. Artinya semua kamar mandi ada yang mengisi. Terpaksa mereka harus berdiri mengantri.

Lihat selengkapnya