Semilir angin di sekitar pondok terasa sejuk membelai. Dedaunan melambai-lambai diayun angin. Langit biru cerah. Cuaca bersahabat. Tak ada alasan Adiba untuk membatalkan pertemuan dengan Syifa.
Gadis bermata bulat menggemaskan itu melangkah cepat di tepi jalan raya. Tentu bukan hal mudah baginya ke luar dari pondok hingga ke tempat yang sekarang dipijaknya itu. Butuh ketelitian ekstra agar tidak ketahuan pengurus atau keamanan. Ia mengendap-endap. Celingak celinguk ke kiri kanan. Bahkan sampai harus menyeret tangga untuk dapat memanjat pagar tinggi. Proses memanjat tidak semudah memanjat pohon jambu. Sangat susah. Di luar pagar, ada sepokok pohon yang jaraknya dekat dengan pagar. Pokok itulah yang digunakannya untuk turun dari pagar. Semua itu benar-benar membutuhkan perjuangan besar. Membuat keringat sebesar biji jagung mencuat ke permukaan wajahnya. Dengan sehelai sapu tangan ia mengusap keringat itu.
Adiba menunggu di tepi jalan, sepuluh menit telah berlalu. Syifa tak kunjung datang. Adiba melirik arloji di tangan. Pukul 16.10. Sudah lewat dari waktu yang disepakati.
Adiba menutup wajahnya dengan tangan seperti sedang hormat pada bendera untuk menghindari sorotan sinar matahari sore. Di antara hiruk pikuk mobil yang lalu-lalang, tak didapatinya mobil Syifa melintas. Sesekali diliriknya arloji. Waktu terus berjalan.
Di tengah rasa kesal menunggu, tiba-tiba mobil berwarna biru berhenti tepat di hadapannya. Masih dengan tangan di kening, Adiba segera berlari mendekati mobil. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Batinnya senang.
Tapi apa yang terjadi? Adiba terkejut bukan main. Yang duduk di dalam mobil itu bukanlah Syifa, tapi Bu Fatima. Jantung Adiba rasanya mau copot. Hampir mati berdiri. Apa yang akan terjadi?
Adiba baru menyadari bahwa mobil yang ada di depannya itu jelas-jelas berbeda dengan mobil milik Syifa. Hanya warnanya yang sama. Pandangannya tidak terlalu fokus akibat sinar matahari yang menyilaukan mata.
Saat Adiba digelandang Bu Fatima memasuki mobil, barulah mobil biru Syifa datang. Berhenti tepat di belakang mobil Bu Fatima. Syifa melongok ke luar jendela dan memperhatikan Adiba dengan kecewa. Rencana yang sudah mereka sepakati matang-matang jelas batal.
Adiba sempat menoleh dan menatap Syifa. Ia tak kalah kecewa. Jika saja Syifa datang lebih awal sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, pasti semua tak akan terjadi. Tapi bukankah segala sesuatu yang terjadi di alam jagat raya ini sudah menjadi kehendak Allah? Adiba tak dapat mengelak lagi. Hukuman telah menantinya.
Inilah sata-saat menegangkan seumur hidup Adiba mengarungi hidup di pondok. Ada penyesalan menghantam batinnya, kenapa harus sembunyi-sembunyi ke luar pondok. Inilah akibatnya. Ia dibawa Bu Fatima ke sebuah ruangan di mana ia sering disidang bila melakukan kesalahan.
Bu Fatima meninggalkannya duduk sendirian di kursi. Setelah menunggu sekian lama, pintu kembali terbuka. Bu Fatima masuk. Ia tak sendirian. Ada Kyai Ahmad dan Ustadz Rifa’i. Dan yang mengejutkan, Ayah Adiba turut bersama mereka. Penampilannya seperti biasa. Pakai kopiah putih. Baju koko lengan panjang. Syal putih di leher. Itulah ciri khas Ayah.
Adiba menundukkan wajahnya yang memerah. Hatinya terus dihantui penyesalan. Menyesal karena telah menyelinap ke luar pondok secara sembunyi-sembunyi. Dunia Adiba seolah runtuh. Keadaan mendadak mencekam.
Semua yang ada di ruangan itu duduk melingkar di meja.
Ayah Adiba duduk tepat di samping Adiba. Wajahnya tampak tenang. Tak ada kemarahan. Tak ada kegundahan melihat anak bungsunya membuat ulah lagi. Bukan hal baru baginya.
Adiba tak berani melihat wajah Ayah. Kesalahan telah membuatnya sadar diri.
“Ini sudah yang ke sekian kalinya dan kami tidak bisa mentoleransi lagi,” tegas Bu Fatima pada Ayah. Wajahnya yang memang dasarnya sadis tampak lebih sadis menangani masalah yang membuatnya bosan itu. Kedudukannya yang menjabat bagian penting di pondok, dan suaminya yang menjabat sebagai salah satu anggota DPR membuatnya memiliki nyali untuk bicara begitu pada Ayah.
“Sebelumnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semua ini di luar keinginan kami,” sela Ustadz Rifa’i penuh rasa segan. “Kami semua menghormati keputusan pengurus yang menangani masalah ini. Kami telah membicarakan masalah ini pada kepala pengurus, Kyai. Keputusannya, kepala pengurus menyerahkan kepercayaan pada Bu Fatima dan kami untuk menangani hal ini.”
“Jika memang putri Bapak tidak berkeinginan untuk mondok di sini, sepertinya kami tidak bisa memaksanya,” timpal Kyai Ahmad penuh rasa hormat pada Ayah. Sesekali wajahnya menunduk penuh kesopanan. Ia tak ingin berkata begitu, namun terdesak oleh ketajaman mata Bu Fatima, yang membuatnya tak kuasa menyampaikan hal yang serupa dengan pemikiran Bu Fatima. “Santri akan belajar dengan penuh rasa tanggung jawab jika ia memiliki niat belajar di sini, tapi bila tidak ada niat, apa yang bisa kami lakukan?”
Ayah masih diam tak menanggapi. Namun dalam diamnya terdapat sejuta unek-unek yang merebak di dalam pikirannya.
“Sepertinya putri Bapak tidak berkenan dididik di sini,” lanjut Bu Fatima dengan nada tegas. Sorot matanya juga tajam. Tak ada keramahan. “Setiap hari ada saja ulah yang dibuatnya. Hukuman-hukuman yang kami berikan tidak pernah membuatnya jera. Dan kali ini ia ke luar pondok tanpa izin. Jika di luar sana terjadi sesuatu padanya, maka para pengurus pondok juga yang akan menjadi sasaran untuk dimintai tanggung jawab. Sekarang anak ini kami kembalikan kepada Bapak. Maaf kami tidak berhasil mendidiknya.”
Adiba langsung mendongakkan wajah. Dikeluarin? Sesadis itukah konsekuensinya? Adiba merengut. Merasa tak adil. Sebab santri lain yang melakukan kesalahan yang sama tidak sampai dikeluarkan. Mereka hanya digundulin alias dibotakin. Persis seperti bola lampu jalanan. Cliing … mengkilat. Bila terkena sorotan lampu akan memantulkan cahaya. Tapi kenapa ia sampai harus dikeluarin? Hukuman dikeluarin dari pondok hanya berlaku untuk santri yang melakukan kesalahan fatal, seperti berzina, mencuri atau tindakan kriminal.
Tapi … dengan dikeluarkan dari pondok, itu artinya Adiba punya kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah yang ia harapkan. Mondok benar-benar menyiksa. Pemikiran konyol itu sempat tebersit dan sejenak bersemayam di benak Adiba mendengar akan dikeluarkan. Tapi caranya sangat buruk, sangat buruk!! Bukan itu yang ia harapkan.
“Kenapa dikeluarin? Santri lain hukumannya nggak separah ini. Ini nggak adil namanya,” seru Adiba berusaha membela diri.
“Diba, diam!” perintah Ayah.
Kata-kata Ayah membuat Adiba terdiam. Tak bisa berkutik. Jika di rumah, pasti sudah banyak yang ia lontarkan pada Ayah untuk membela diri.