Sampai di rumah besar nan megah, di sebuah ruangan luas diterangi lampu gantung besar, Adiba berdiri berhadapan dengan Ayah. Hanya berjarak dua meter.
Ayah, ya lelaki setengah baya yang selalu berkopiah putih itu memandang Adiba tanpa kedip. Sorot matanya tajam. Menahan gemuruh amarah yang menggejolak di dalam dada. Napasnya berat. Dibiarkannya ruangan luas itu hening sejenak. Tanpa sepatah kata. Sepertinya ia menunggu waktu yang tepat untuk bicara.
Seorang pembantu yang biasa dipanggil Mbok Yem mengambil koper milik Adiba yang digeletakkan begitu saja di lantai, membawanya memasuki kamar Adiba.
Nahda, gadis berkerudung mengintip dari balik pintu. Gadis yang wajahnya mirip dengan Adiba. Matanya, hidungnya, juga bibirnya. Satu keturunan. Tak lain kakaknya Adiba.
Adiba mendongak. Pandangannya dengan Ayah beradu. Saat itu barulah Ayah membuka mulut untuk bicara.
“Inikah yang kamu harapkan? Ke luar dari pondok dengan cara memalukan seperti ini?” akhirnya suara Ayah yang besar itu terdengar menggema. Nada bicaranya rendah, namun mengguntur dan berwibawa. Ada rasa kesal muncul ke permukaan wajah itu.
“Yah, Diba nggak menginginkan semua ini. Diba juga nggak mau ke luar dengan cara kayak gini. Mereka memperlakukan Adiba nggak adil. Kesalahan Adiba nggaklah fatal, tapi mereka menganggap fatal. Jika Adiba mencuri, make narkoba, berzina atau berbuat kriminal di pondok, mungkin pantas untuk dikeluarkan. Tapi ini Diba hanya keluar pondok tanpa izin.” Adiba berusaha memperbaiki namanya. Ekspresi wajahnya memohon pengertian Ayah. Memohon perdamaian. Agar jangan ada percekcokan yang lebih mengerikan lagi dibanding percekcokan yang terakhir kali pecah. Gara-gara Adiba protes, tidak terima dimasukkan ke pondok pesantren oleh Ayah.
“Lalu kenapa mereka bisa berbuat tidak adil padamu? Itu karena tingkah lakumu yang liar. Setiap hari selalu bikin ulah. Seperti tak pernah mendapat pendidikan.” Nada suara Ayah masih datar.
“Adiba hanya ingin keadilan. Seharusnya Adiba nggak dikeluarin. Itu aja, Yah. Seharusnya kejadiannya nggak seburuk ini.” Adiba masih saja memohon belas kasihan Ayah. Berharap Ayah mengerti dengan penjelasannya. “Kalaupun Adiba ke luar, Adiba ingin ke luar dengan cara baik-baik.”
“Cara baik ataupun buruk, yang jelas sekarang kamu telah mencoreng wajahmu sendiri. Kamu telah mempermalukan ayahmu ini. Ayah punya banyak teman baik di pondok. Pemuka agama di pondok pasti akan bilang bahwa Ayah memiliki anak nakal yang sulit untuk dididik. Mau disembunyikan di mana muka ayahmu ini?” Kali ini suara Ayah mulai meninggi. Paras wajahnya juga memerah. Amarah yang dipendam mulai menggelegak.
“Jadi Ayah marah karena malu nama baik Ayah tercoreng gara-gara Adiba? Ayah memang nggak pernah memikirkan keinginan anak.” Adiba kecewa. Tubuhnya surut mundur.
Kata-kata Adiba mengingatkan keributan kecil yang terjadi hampir lima tahun silam. Ketika Adiba protes pada Ayah karena memasukkannya ke pondok. Di sisi lain ia memiliki keinginan menuntut ilmu di sekolah yang telah lama ia idam-idamkan.
Enam tahun sudah Adiba berjibaku di dunia pesantren. Dan cukup sudah, ia tak mau melanjutkan lagi rutinitas pesantren.
Akibatnya Adiba protes. Sikap berani Adiba yang datang bagaikan orang unjuk rasa menumbuhkan kemarahan Ayah. Tapi hanyalah kemarahan biasa. Marah sekadar untuk menunjukkan bahwa Ayah wajib dipatuhi. Marah sekadar untuk menunjukkan kewibawaannya. Itu saja. Tidak lebih.
Semua itu terjadi ketika Adiba masih berusia sepuluh tahun. Ketika ia masih bergelut dengan mainan boneka. Ketika ia masih sering menangis di pangkuan kakak-kakaknya. Mungkin hal itulah yang membuat Ayah sedikit maklum dengan sikap beraninya. Ia masih kecil, masih banyak yang mesti digembleng. Begitu pikir Ayah, sehingga keberanian Adiba protes tak membuat kemarahannya meledak besar.
Hanya Adiba yang berani menjawab dan melepaskan segala unek-unek di pikiran kepada Ayah, sementara anak Ayah yang lain tak ada yang memiliki nyali sepertinya. Jika Ayah sudah menunjukkan wajah tak sedap dipandang, maka anak-anak yang lain akan langsung terdiam dan menundukkan wajah.
Hari ini, Adiba merasa ingin menumpahkan segala beban di hati. Tapi mulutnya yang setengah terbuka tertahan dengan ucapan Ayah.
“Ayah melakukan semua ini demi kebaikanmu. Kau seharusnya menurut. Bukan malah memberontak seperti anak tak berakal.” Gigi Ayah gemeletukan. Menandakan Ayah benar-benar sedang marah. Suaranya mengguntur sangat keras.
Adiba terdiam. Tak menghiraukan kalimat Ayah. Ia berusaha menahan diri. Menahan segala pemberontakan yang menerjang batinnya agar tak muntah ke luar. Kenapa Ayah hanya memikirkan reputasinya saja? Kenapa Ayah tidak mengerti bahwa ia butuh pengertian dan perhatian?
“Nahda!” panggil Ayah keras.
Nahda yang berdiri di balik pintu tidak langsung datang. Ia menghitung beberapa detik agar tak ketahuan bahwa ia berada di sekitar ruangan itu. Setelah panggilan kedua, barulah ia muncul.
“Lihat adikmu yang bandel ini. Ia dikeluarkan dari pondok. ATM ini yang telah membuatnya menyelinap ke luar pondok.” Ayah memperlihatkan ATM milik Adiba yang tentunya akan disita. “Hari Minggu kemarin waktu ia pulang, bagaimana ia bisa mengambil ATM?”
“Nahda nggak tahu kapan Adiba ngambil ATM, Yah,” jawab Nahda lirih. Wajah menunduk. Mata sedikit melirik Adiba tajam.
“Adiba adalah tanggung jawabmu. Ayah sudah pasrahkan ia padamu. Bagaimana bisa kamu nggak tahu adikmu diam-diam mengambil ATM? Ini artinya kamu nggak sepenuhnya mengawasinya. Seharusnya ini nggak terjadi jika kamu lebih teliti. Menjaga satu adik saja kamu nggak bisa, lalu bagaimana jika kamu memiliki lima anak, enam atau bahkan sepuluh anak kelak?”
Nahda diam saja. Namun diamnya memendam rasa kesal. Ingin rasanya ia membela diri. Ya Tuhan, Adiba mengambil ATM secara sembunyi-sembunyi, bagaimana mungkin ia yang disalahkan? Ia bukan malaikat yang bisa tahu apa saja tindak-tanduk adiknya. Ia bukan Tuhan yang bisa dua puluh empat jam penuh memperhatikan gerak-gerik adiknya. Tapi sayangnya kalimat itu hanya ada di hati saja. Ia tak berani meluapkannya. Kalimat itu justru membuat sesak penuh dadanya. Selalu begitu, setiap Adiba melakukan kesalahan, ia pasti kena imbas kemarahan Ayah.
Memang, semenjak ibu telah tiada, Ayah lebih menyibukkan diri dengan mengurus pekerjaannya yang seabrek. Sibuk mengurus tamu-tamunya yang datangnya entah dari mana. Ayah juga membagi tugas kepada anak-anaknya.
Fadhil, anak pertama, di samping mengurus peternakan bebek, ia juga meneruskan kegiatan Ayah, memikul tanggung jawab mengajari anak-anak mengaji di masjid. Meskipun ia lulusan Universitas di Kairo, namun pendidikan tinggi tak lantas membuatnya sombong.
Nahda, anak kedua mengurus butik dan memiliki tugas sepenuhnya menjaga adiknya.
Sementara Adiba bertanggung jawab pada sekolahnya, itu pun nggak benar. Itulah tanggung jawab yang diberikan Ayah pada ketiga anaknya.
Adiba mendengus. Dengan suara parau ia berkata, “Yang selalu Ayah pikirin hanyalah nama baik Ayah saja. Lalu gimana dengan perasaan Adiba? Ayah nyekolahin Adiba di tempat yang nggak Adiba sukai. Kenapa Ayah selalu mengedepankan pandangan sosial dibanding memikirkan harapan seorang anak yang nggak pernah Ayah bisa ketahui? Itu karena Ayah menutup diri, menutup cita-cita anak.”
“Diam! Tutup omong kosongmu!” Dalam hitungan detik saja, Ayah berteriak keras membahana. Membuat piring yang dilap Mbok Yem meluncur bebas terlepas dari tangan akibat kaget. Untung saja jatuh ke kursi hingga tak pecah. Mengagetkan seisi rumah besar itu. Kata-kata Adiba benar-benar telah membuat Ayah naik darah. Wajahnya merah padam.
Nahda mengkerut, ketakutan. Gugup. Fadhil buru-buru ke luar dari dalam kamar di lantai dua. Mengintip ke bawah. Diam. Namun wajahnya yang tampan menyimpan kecemasan. Sementara Adiba, gadis remaja itu tetap berdiri tegap dengan pandangan tanpa kedip. Tak ada rasa gentar.
“Bagaimana mungkin kau bisa melawan ayahmu ini?” Ayah membentak keras. Amarahnya tak terkendali.
Wajah Nahda semakin mengkerut. Gemetar. Belum pernah ia melihat Ayah semarah ini. Belum pernah ia melihat sorot mata Ayah yang tajam seperti burung hantu. Fadhil berdiri di balik tembok masih diam tak bergerak. Menyaksikan kemarahan Ayah yang baru kali ini menjadi pemandangannya. Mbok Yem berlari ke depan. Mengintip.