"Awalnya itu, 'kan Bi. Sebelum ibu memesan tiket pesawat, aku meminta ibu untuk memesan kursi yang ada di dekat jendela."
Bibi terlihat manggut-manggut di depan sana sementara Grisnald kulihat tampak masih mencerna apa yang baru saja kujelaskan.
"Namun tempat duduk di samping jendela sudah habis semua terpesan dan hanya tersisa deretan kursi dekat lorong saja lagi yang biasa digunakan orang buat lalu-lalang itu."
"Karena kita duduk di bagian terluar, kan biasanya orang yang tempat duduknya ada di samping jendela selalu minta izin permisi pada orang yang mungkin sudah duduk duluan di tempat duduk dekat lorong saat ia mau duduk di tempat duduknya itu ya 'kan?"
Bibi dan Grisnald tampak memproses ceritaku yang mulai ku luaskan.
"Terus?" Kata bibi.
"Perjalanan ke sini menghabiskan waktu satu jam menggunakan pesawat. Mengetahui ada satu jam kosong, aku mencari cara bagaimana waktu satu jam tadi itu bisa kulewati tanpa membuatku tambah lelah, sebab aku sudah lelah sekali sedari pagi tadi itu. Jadi aku berniat untuk tidur saja, aku pinjam penutup mata yang kebetulan aku temukan di belakang kursi penumpang di depanku."
"Lalu?"
"Waktu aku mau terlelap, ada seorang pria yang suaranya terdengar berat gitu, meminta izin padaku membukakan jalan agar ia bisa ke tempat duduknya yang di dekat jendela, tempat duduk di samping tempat dudukku."
"Dan aku saat itu mempraktekkannya, bi. Aku mempersilakan dia memakai kode tangan sekenanya dan merapatkan sementara kedua kakiku saat ia lewat dalam keadaan gugup sekali sambil manggut-manggut lalu mengatakan "Y-ya, silakan." "
"Karena aku mengijinkan orang itu tanpa mengetahui bagaimana orangnya, aku membuka sedikit penutup mataku untuk melihat orang tersebut dan aku baru tahu bahwa orang itu adalah dia."
Bibi sekilas sempat kulihat mengerinyitkan dahi dari sini kemudian ia mulai mengerti apa yang coba mau aku ketengahkan di cerita ini.
"Aku tidak membuka penutup mataku lagi karena aku takut itu akan memberikan kesempatan agar orang tersebut bisa melakukan dialog denganku. Bahkan duduk di sampingnya saja aku gemetar sekali.
"Ciee!" Seru bibi, namun Grisnald kulihat tidak bereaksi apa-apa. Dia dengan polos memiringkan kepalanya ke samping, kebingungan dengan topik apa yang kugunjingkan dengan bibi.
"Menurut bibi aku kesal karena apa?"
"Dianya itu siapa dulu? Aktor film?" Tebak bibi.
"Apa itu?"
"Kau tidak tahu?"