Adiknja

Willa Ahma
Chapter #14

Jadi Anak Yang Terbiasa Malas Begitu

Tak lama setelah itu, aku kemudian meminta mereka gantian bercerita. Aku meminta mereka menjelaskan seperti apa kota yang akan kutinggali saat aku bersekolah nanti, terus Bibi langsung melimpahkan tugas itu ke Grisnald untuk menjelaskan itu semua dan Grisnald menyanggupi.

Tentu saja Bibi memberikan iming-iming terlebih dahulu ke Grisnald kalau ia akan menceritakan padanya kenapa aku ngeri sama orang asing.

Rumah Bibi terletak di salah satu kompleks perumahan di pinggiran kota dan itu berlaku juga dengan posisi calon sekolah tempat aku mendaftar. Meski begitu, daerahnya mempunyai banyak pertokoan, beberapa rumah makan, toko roti, restoran cepat saji lokal, sekolah lain selain calon sekolahku yaitu, sekolah SD, SMP, SMA, taman kanak-kanak, dan rumah sakit yang jarak dari tempat-tempat yang kusebutkan tadi berdekatan satu sama lain dengan tempat tinggal bibi.

Dan ya, Grisnald tidak bisa mengutarakan itu secara terurut. Cara ia menjelaskan sama seperti anak kecil pada umumnya. Acak dan loncat-loncat. Jadi aku hanya merangkum semua dari apa yang kutanyakan satu-persatu ke dia.

Di sana ada restoran cepat saji? Dia menjawab ada.

Ada minimarket? Dia menjawab ada.

Kalau ia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaanku. Grisnald meminta bantuan pada bibi, ibunya, seperti apa yang sedang terjadi sekarang.

"Minimarketnya ada berapa?" Tanyaku.

"Berapa banyak minimarket-nya, Ma?"

"Tiga atau empat kalau tidak salah." Jawab Bibi

"Ada yang dekat dengan sama rumah bibi?" Tanyaku ke Bibi.

"Tentu. Tapi maaf, kamu tidak akan melihat itu hari ini. Kita sedang mengambil jalan memotong."

Oh, pantas saja. Dari tadi aku melihat perubahan lingkungan yang cukup drastis yang ada di luar lewat jendela mobil.

Sepanjang jalan menuju bandara tadi, berderet banyak sekali ruko serta rumah makan. Jalannya juga lebar, kemudian setelah melewati satu bundaran jalan di tengah-tengah kota, lalu bibi memilih suatu jalan di situ, kami melewati semacam kantor cabang salah satu penyedia jaringan telekomunikasi terbesar negeri ini, towernya tinggi dan gede banget, terus jalannya lalu menyempit dan bangunan-bangunan pertokoan-nya tidak banyak yang lebih tinggi dari rumah berlantai satu.

Lalu mobil bibi menaiki beberapa perbukitan, masuk ke suatu jalan kompleks perumahan, naik perbukitan lagi terus turun dengan sangat curam melewati jalan kompleks perumahan-perumahan yang lain.

Letak rumah-rumah warga di perumahan ini lumayan padat. Tipikal tata letak bangunannya banyak yang berhadapan langsung dengan badan jalan. Langsung. Tanpa dipisahkan tempat pejalan kaki atau trotoar.

Bibi juga sudah beberapa kali melakukan rem secara tiba-tiba, sebab anak-anak yang ada di komplek ini banyak yang main dan nyeberang-nyeberang sembarangan.

Mobil bibi kemudian jalan terus melewati jalanan komplek. Ada persimpangan belok, terus ada persimpangan lagi, belok lagi. Entah sudah berapa kali kami melewati persimpangan.

Tidak lama setelah itu, mobil bibi memasuki suatu kompleks perumahan yang lebih padat, terus bibi tiba-tiba mengerem mobilnya di depan rumah tak bertingkat berwarna krim.

"Sampeee ... haah." Lapor bibi agak lemas-lemas dikit nadanya kemudian ia melakukan beberapa peregangan badan.

Bibi mengatakan padaku kalau sekolah yang akan kudatangi besok, bisa di datangi dengan mengambil arah kiri lewat persimpangan tadi lalu lurus 50 meter.

Dan mana ingat aku persimpangan yang ia maksud. Banyak sekali masalahnya.

Bibi kemudian menyuruhku beserta Grisnald turun lebih dulu dari mobil untuk memandu dia memarkir alat transportasi yang baru saja kami naiki ini supaya tidak tergores ketika masuk ke carport rumah dia.

Dan proses mengarahkannya itu ya ampun cerewet sekali.

Tempat mobil di rumah milik bibi itu sempit, sangat sempit. Ketika bagian depan mobil dia sudah masuk sedikit, kami berteriak stop!-stop! Karena bagian samping bemper mobil hampir kena pagar rumah, dan ketika dia mau membanting setir ke arah sebaliknya, bemper samping yang satunya lagi yang balik terancam.

Ketika memundurkan mobil pun, kami juga harus hati-hati menuntun bibi agar pas dia memundurkan mobil, bemper mobil bagian belakang tidak kena pagar rumah orang yang berada di seberang rumah bibi, sebab jalanan komplek juga begitu rapat.

Berkali-kali kami melakukan itu, tiap kali ketika mobilnya kelihatan sudah pas dan bisa masuk ke dalam carport, ada saja bagian mobil lain yang mau kena lagi, kami berteriak-teriak stop!-stop! lagiberteriak kiri!-kiri! lagi, kanan!-kanan! lagi, mundur!-mundur! lagi kemudian setelah mobil tampak kelihatan sudah bisa masuk lagi, lalu ada lagi bagian yang mau nabrak lagi, ulang lagi. Begitu terus. Pokoknya cerewet banget. 

Badmood aku dibuatnya.

Lihat selengkapnya