Setengah jam sudah berlalu.
Calon siswa-siswi lain yang berdiri di kiri dan di kananku, yang kulihat mendapat nomor antrean berdigit ratusan. Membeli waktu mereka dengan berbicara sama orang tua, wali, teman, dan kenalan-kenalan baru mereka.
Bibi dan Grisnald juga mulai bersosialiasi masing-masing dengan ibu-ibu dan anak seusia Grisnald sendiri. Beberapa waktu yang lalu mereka sempat membuat pipiku memerah karena sebelum mendapat teman mengobrol, bibi dan Grisnald cengenges-cengesan sendiri, menertawakan sesuatu yang entah apa itu, di ponsel pintar milik bibi. Dan pemandangan tersebut diperhatikan semua oleh orang-orang tua lain yang berada di dekat kami.
"Mulai pukul enam pagi?"
"Lebih awal dari itu malah, Bu Amara. Saya tadi juga dengar ada yang kehabisan nomor antrean."
"Nomor dibaginya pukul delapan, 'kan, Bu Leni? Kok bisa seperti itu?"
"Nomor antrean dibagi jam setengah tujuh, Bu Amara. Terpaksa dibagi lebih awal karena yang datang sudah banyak sekali. Orang tua murid sudah tiba di sekolah sejak pukul lima pagi. Penuh halaman depan sekolah. Nah, yang tidak kebagian ini kebanyakan yang datang jam tujuhan ke atas."
"Oh ... "
"Kasihan sekali, Bu Amara. Katanya beliau sama anaknya ini datang jauh-jauh."
"Ibu Leni juga daftar online?"
"Ah, iya kemarin. Apa itu, mengeluarkan ini-nya. Mencetak maksudnya. Tidak perlu repot-repot lagi. Sudah langsung dapat nomor. Soalnya anak juga tidak bisa di bawa pagi-pagi, jadi ya ..."
Kemudian mereka berdua tertawa.
Apa jalan-jalan sebentar saja kali, ya? Membuat malu saja di sini, tidak ada yang menemaniku mengobrol.
Oh ya, benar. Mana Erza? Sampai sekarang aku tidak kunjung menemui dia, si Elisha juga.
Heh ...